Knowledge Is Free: HADITS

Hot

Sponsor

Tampilkan postingan dengan label HADITS. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label HADITS. Tampilkan semua postingan

Minggu, 24 Januari 2021

Makalah Hadist Di Tinjau Dari Segi Kualitas Perawi (doc)

Januari 24, 2021 0



Pengertian Hadits di tinjau dari segi kualitas perawi

Dilihat dari segi kualitasnya, hadits dapat diklasifikasi menjadi hadits sahih, hasan dan dha’if. Pembahasan tentang hadits sahih dan hasan mengkaji tentang dua jenis yang hampir sama, tidak hanya keduanya berstatus sabagai hadits maqbul, dapat diterima sebagai hujjah dan dalil agama, tetapi juga dilihat dari segi persyaratannya dan kriteria-kriterianya sama kecuali pada hadits hasan, diantara periwayatnya ada yang kurang kuat hapalannyanya, sementara pada hadits sahih diharuskan kuat hafalan. Sedang persyaratan lain, terkait dengan persambungan sanad, keadilan periwayat, keterlepasan dari syadz dan ‘illat. Sedangkan hadits dha’if adalah hadits yang tidak memenuhi sebagian atau semua persyaratan hadits hasan atau sahih.
 

Pembagian hadits dari segi Kualitas 


Hadis dari segi kualitasnya terbagi menjadi dua macam yaitu hadis maqbul dan hadis mardud adapun hadis maqbul ialah hadis yang unggul pembenaran pemberitaanya, dalam hal ini hadis maqbul ialah hadis yang mendapat dukungan bukti-bukti dan membuat unggul itu adalah dugaan pembenaran. Dan sedangkan hadis mardud ialah hadis yang ditolak atau tidak diterima, jadi hadis mardud ialah ialah hadis yang tidak unggul pembenaran dan pemberitannya. Sehubungan dengan itu, para ulama ahli hadits membagi hadits dilihat dari segi kualitasnya juga menjadi tiga bagian, yaitu hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dhaif.
Hadits shahih 


Menurut bahasa berarti “sah, benar, sempurna, tiada celanya”. Secara istilah, beberapa ahli memberikan defenisi antara lain sebagai berikut :
Menurut Ibn Al-Shalah, Hadits shahih adalah “hadits yang sanadnya bersambung (muttasil) melalui periwayatan orang yang adil dan dhabith dari orang yang adil dan dhabith, sampai akhir sanad tidak ada kejanggalan dan tidak ber’illat”. 
Menurut Imam Al-Nawawi, hadits shahih adalah “hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi dhabith, tidak syaz, dan tidak ber’illat.”
Dari defenisi diatas dapat dipahami bahwa syarat-syarat hadits shahih adalah : 

1) sanadnya bersambung, 
2) perawinya bersifat adil, 
3) perawinya bersifat dhabith,
4) matannya tidak syaz, 
5) matannya tidak mengandung ‘illat.

Hadsit Hasan

Pengertian
   Dari segi bahasa hasan dari kata al-husnu (الحسن) bermakna al-jamal (الجمال) yang berarti “keindahan”. Menurut istilah para ulama memberikan defenisi hadits hasan secara beragam. Namun, yang lebih kuat sebagaimana yang dikemukan oleh Ibnu hajar Al-Asqolani dalam An-Nukbah, yaitu :
وَخَبَرُ اْلآحَادَ بِنَقْلِ عَدْلِ تَامُّ الضَّبْطِ مُتَّصِلُ السَّنَدِ غَيْرُ مُعَلَّلٍ وَلاَ شَاذٍّ هُوَ الصَّحِيْحِ لِذَاتِهِ. فَاءِنْ خَفَّ الضَبْطُ فَلْحُسْنُ لِذَاتِهِ
    “khabar ahad yang diriwayatkan oleh orang yang adil, sempurna kedhabitannya, bersambung sanadnya, tidak ber’illat, dan tidak ada syaz dinamakan shahih lidztih. Jika kurang sedikit kedhabitannya disebut hasan Lidztih.”
Dengan kata lain hadits hasan adalah :
هُوَ مَا اتَّصَلَ سَنَدُهُ بِنَقْلِ اْلعَدْلِ الّذِي قَلَّ ضَبْطُهُ وَخَلاَّ مِنَ الشُّذُوْذِ وَاْلعِلَّهِ
“Hadits hasana adalah hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil, kurang sedikit kedhabitannya, tidak ada keganjilan (syaz) dan tidak ‘illat.”
Kriteria hadits hasan hampir sama dengan hadits shahih. Perbedaannya hanya terletak pada sisi kedhabitannya. Hadits shahih ke dhabitannya seluruh perawinya harus zamm (sempurna), sedangkan dalam hadits hasan, kurang sedikit kedhabitannya jika disbanding dengan hadits shahih.[]
Contoh hadits Hasan 
    Hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban dari Al-Hasan bin Urfah Al-Maharibi dari Muhammad bin Amr dari Abu salamah dari Abi Hurairah, bahwa Nabi SAW bersabda :

أَعْمَارُ اُمَّتِي مَا بَيْنَ السِّتِّيْنَ اِليَ السَّبْعِيْنَ وَأَقَلُّهُمْ مَنْ يَجُوْزُ ذَالِكَ
“Usia umatku antara 60 sampai 70 tahun dan sedikit sekali yang melebihi demikian itu.”

Macam-Macam Hadist Hasan
    Sebagaimana hadits shahih yang terbagi menjadi dua macam, hadits hasan pun terbagi menjadi dua macam, yaitu hasan lidzatih dan hasan lighairih.
    Hadits hasan lidzatih adalah hadits hasan dengan sendirinya, karena telah memenuhi segala kriteria dan persyaratan yang ditemukan. Hadits hasan lidzatih ebagaimana defenisi penjelasan diatas.
Sedangkan hadits hasan lighairih ada beberapa pendapat diantaranya adalah :

هُوَ اْلحَدِيْثُ الضَّعِيْفُ اِذَا رُوِيَ مِنْ طَرِيْقِ أُخْرَي مِثْلُهُ أَوْ أَقْوَي مِنْهُ
“adalah hadits dhaif jika diriwayatkan melalui jalan (sanad) lain yang sama atau lebih kuat.”
هُوَ الضَّعِيْفُ اِذَا تَعَدَّدَتْ طُرُقُهُ وَلـَمْ يَكُنْ سَبَبُ ضَعْفِهِ فِسْقَ الرَّاوِي أَوْكِذْبُهُ
“adalah hadits dhaif jika berbilangan jalan sanadnya dan sebab kedhaifan bukan karena fasik atau dustanya perawi.”
Dari dua defenisi diatas dapat dipahami bahwa hadits dhaif bias naik manjadi hasan lighairih dengan dua syarat yaitu :
Harus ditemukan periwayatan sanad lain yang seimbang atau lebih kuat. 
Sebab kedhaifan hadits tidak berat seperti dusta dan fasik, tetapi ringan seperti hafalan kurang atau terputusnya sanad atau tidak diketahui dengan jelas (majhul) identitas perawi.

Kehujjahan Hadist Hasan
    Hadits hasan dapat dijadikan hujjah walaupun kualitasnya dibawah hadits shahih. Semua fuqaha sebagian Muhadditsin dan Ushuliyyin mengamalkannya kecuali sedikit dari kalangan orang sangat ketat dalam mempersyaratkan penerimaan hadits (musyaddidin). Bahkan sebagian muhadditsin yang mempermudah dalam persyaratan shahih (mutasahilin) memasukkan kedalam hadits shahih, seperti Al-Hakim, Ibnu Hibban, dan Ibnu Khuzaimah.
    Jumhur mengatakan bahwa kehujjahan hasan seperti hadits shahih, walaupun derajatnya tidak sama. Bahkan ada segolongan ulama yang memasukkan Hadits hasan ini, baik hasan li dzatih maupun hasan li ghairih ke dalam kelompok shahih, seperti Hakim, Ibnu Hibban, Ibnu Khuzaimah meskipun tanpa memerikan penjelasan terlebih dahulu. Bahkan para fuqaha dan ulama banyak yang beramal dengan Hadits hasan  ini. Agaknya Al-Khattabi lebih teliiti tentang penerimaan mereka terhadap Hadits ini. Makanya Al-Khattabi kemudian menjelaskan bahwa yang mereka maksud dengan hasan di sini (yang bisa diterima sebagai hujjah) adalah Hadits hasan li dzatihi.[]    
    Sedangkan Hadits hasan li gharihi jika kekurangan-kekurangannya dapat diminimalisir atau tertutupi  oleh banyaknya riwayat (riwayat lain), maka sah-lah berhujjah dengannya. Bila tidak demikian, tidak sah berhujjah dengannya. Tapi pada hakikatnya hasan li gharihi pun bisa dipergunakan sebagai hujjah.
    Kitab-kitab Hadits yang banyak memuat Hadits hasan ini adalah Sunan Al-Tirmidzi, Sunan Abi Daud, dan Sunan Al-Daruquthny.
    Sementara para ulama yang membedakan kehujjahan Hadits berdasarkan perbedaan kualitas, Hadits hasan li dzatihi dengan li gharihi dan sahih li dzatihi dengan li ghairihi, maupun antara shahih dan hasan, mereka lebih jauh membedakan rutbah Hadits-Hadits tersebut berdasakan kualitas para perawinya. Pada urutan pertama mereka menempatkan hadits-hadits riwayat Muttafaq ‘alaih, dan seterusnya.
    Penempatan hadits-hadits tersebut berdasarkan urutan-urutan/tingkatan-tingkatan di atas, akan terlihat kegunaannya ketika terjadi atau terlihat adanya pertentangan (ta’arudh) antara dua hadits. Hadits-Hadits yang menempati urutan pertama dinilai lebih kuat daripada hadits-hadits yang menempati urutan kedua atau ketiga dinilai lebih kuat daripada Hadits-Hadits pada urutan keempat atau kelima.
Hadist Dhaif
Pengertian 
   Hadits Dhaif bagian dari hadits mardud. Dari segi bahasa dhaif (الضعيف) berarti lemah lawan dari Al-Qawi (القوي) yang berarti kuat. Kelemahan hadits dhaif ini karena sanad dan matannya tidak memenuhi criteria hadits kuat yang diterima sebagian hujjah. Dalam istilah hadits dhaif adalah :
هُوَ مَا لَمْ يَجْمَعْ صِفَهُ الْحَسَنِ بِفَقْدِ شَرْطٍ مِنْ شُرُوْطِهِ
“Adalah hadits yang tidak menghimpun sifat hadits hasan sebab satu dari beberapa syarat yang tidak terpenuhi.”
Atau defenisi lain yang bias diungkapkan mayoritas ulama :

هُوَ مَا لَمْ يَجْمَعْ صِفَهُ الصَّحِيْحِ وَاْلحَسَنِ

“Hadits yang tidak menghimpun sifat hadits shahih dan hasan”
    Jika hadits dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi sebagain atau semua persyaratan hadits hasan dan shahih, misalnya sanadnya tidak bersambung (muttasshil), Para perawinya tidak adil dan tidak dhabith, terjadi keganjilan baik dalam sanad aau matan (syadz) dan terjadinya cacat yang tersembunyi (‘Illat) pada sanad atau matan.[]
Contoh Hadist Dhaif

    Hadits yang diriwayatkan oleh At-Tarmidzi melalui jalan hakim Al-Atsram dari Abu Tamimah Al-Hujaimi dari Abu Hurairah dari Nabi SAW bersabda :

وَمَنْ أَتَي حَائِضَا أَوِامْرَأَهٍ مِنْ دُبُرِ أَوْ كَاهِنَا فَقَدْ كَفَرَ بِمَا اُنْزِلَ عَلَي مُحَمَّدٍ
“barang siapa yang mendatang seorang wanita menstruasi (haid) atau pada dari jalan belakang (dubur) atau pada seorang dukun, maka dia telah mengingkari apa yang diturunkan kepada Nabi MuhammadSAW.”
    Dalam sanad hadits diatas terdapat seorang dhaif yaitu Hakim Al-Atsram yang dinilai dhaif oleh para ulama. Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Thariq At- Tahzib memberikan komentar : فِيْهِ لَيِّنٌ padanya lemah.
Hukum Periwayatan Hadist Dhaif

    Hadits dhaif tidak identik dengan hadits mawdhu’ (hadits palsu). Diantara hadits dhaif terdapat kecacatan para perawinya yang tidak terlalu parah, seperti daya hapalan yang kurang kuat tetapi adil dan jujur. Sedangkan hadits mawdhu’ perawinya pendusta. Maka para ulama memperbolehkan meriwayatkan hadits dhaif sekalipun tanpa menjelaskan kedhaifannya dengan dua syarat, yaitu :

tidak berkaitan dengan akidah seperti sifat-sifat Allah
Tidak menjelaskan hokum syara’ yang berkaitan dengan halal dan haram, tetapi, berkaitan dengan masalah maui’zhah, targhib wa tarhib (hadits-hadits tentang ancaman dan janji), kisah-kisah, dan lain-lain.

    Dalam meriwayatkan hadit dhaif, jika tanpa isnad atau sanad sebaiknya tidak menggunakan bentuk kata aktif (mabni ma’lum) yang meyakinkan (jazam) kebenarannya dari Rasulullah, tetapi cukup menggunakan bentuk pasif (mabni majhul) yang meragukan (tamridh) misalnya :   رُوِيَ diriwayatkan, نُقِلَ dipindahkan, فِيْمِا يُرْوِيَ pada sesuatu yang diriwayatkan dating. Periwayatan dhaif dilakukan karena berhati-hati (ikhtiyath).

Pemgalaman Hadist Dhaif
    Para ulama berpendapat dalam pengamalan hadits dhaif. Perbedaan itu dapat dibagi menjadi 3 pendapat, yaitu :

Hadits dhaif tidak dapat diamalkan secara mutlak baik dalam keutamaan amal (Fadhail al a’mal) atau dalam hokum sebagaimana yang diberitahukan oleh Ibnu sayyid An-Nas dari Yahya bin Ma’in. pendapat pertama ini adalah pendapat Abu Bakar Ibnu Al-Arabi, Al-Bukhari, Muslim, dan Ibnu hazam. 
Hadits dhaif dapat diamalkan secara mutlak baik dalam fadhail al-a’mal atau dalam masalah hokum (ahkam), pendapat Abu Dawud dan Imam Ahmad. Mereka berpendapat bahwa hadits dhaif lebih kuat dari pendapat para ulama. 
Hadits dhaif dapat diamalkan dalam fadhail al-a’mal, mau’izhah, targhib (janji-janji yang menggemarkan), dan tarhib (ancaman yang menakutkan) jika memenuhi beberapa persyaratan sebagaimana yang dipaparkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqolani, yaitu berikut :

Tidak terlalu dhaif, seperti diantara perawinya pendusta (hadits mawdhu’) atau dituduh dusta (hadits matruk), orang yan daya iangat hapalannya sangat kurang, dan berlaku pasiq dan bid’ah baik dalam perkataan atau perbuatan (hadits mungkar). 
Masuk kedalam kategori hadits yang diamalkan (ma’mul bih) seperti hadits muhkam (hadits maqbul yang tidak terjadi pertentanga dengan hadits lain), nasikh (hadits yang membatalkan hokum pada hadits sebelumnya), dan rajah (hadits yang lebih unggul dibandingkan oposisinya).
Tidak diyakinkan secara yakin kebenaran hadits dari Nabi, tetapi karena berhati-hati semata atau ikhtiyath.

Tingkatan Hadist Dhaif
    Sebagai salah satu syarat hadits dhaif yang dapat diamalkan diatas adalah tidak terlalu dhaif atau tidak terlalu buruk kedhaifannya. Hadits yang terlalu buruk kedhaifannya tidak dapat diamalkan sekalipun dalam fadhail al-a’mal. Menurut Ibnu Hajar urutan hadits dhaif yang terburuk adalah mawdhu’’, matruk, mu’allal, mudraj, maqlub, kemudian mudhatahrib.[]

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
   Hadits di tinjau dari segi kualitasnya menjajadi hadits sahih, hasan dan dhaif. Perbedaan anatara hadits sahih dan hadits hasan terdapat pada hafalan perawinya. Sedangkan hadits dhif adalah hadits yang ditolak  (tidak dapat diterima) karena hadits ini tidak terdapat syarat-syarat hadits sahih dan hasan.
    Dalam menanggapi masalah apakah hadis shahih itu dapat dijadikan sebagai hujjah dalam menetapkan hukum secara umum maka dalam hal ini para muhaddisin, sebagian ahli ushul dan ahli fiqh bersepakat untuk menyatakan bahwa hadis shahih dapat dijadikan hujjah dan wajib diamalkan.
    Adapun kehujjahan hadits hasan, para ulama’ bersepakat untuk mengatakan bahwa hadits hasan sama dengan hadits shahih sekalipun tingkatannya tidak sama, bahkan ada sebagian ulama yang memasukkan hadits hasan kedalam kelompok hadits shahih baik hasan li dzatihi maupun hasan li ghairihi.
     dalam satu hadis telah hilang satu syarat saja dari sekian syara-syarat hadis hasan, maka hadis tersebut dinyatakan sebagai hadis dha’if. Apalagi yang hilang itu sambai dua atau tiga syarat maka inilah yang dikatakan sebagai hadis dha’if dan status semua hadis dha’if adalah mardud (tertolak) dan tidak bias dijadikan hujjah.

Saran
    Dalam penyusunan makalah ini maupun dalam penyajiannya kami selaku manusia biasa menyadari adanya beberapa kesalahan oleh karena itu kami mnegharapkan kritik maupun saran khususnya dari Dosen Pembimbing Bapak Burhanuddin, MA yang bersifat membantu dan membangun agar kami tidak melakukan kesalahan yang sama dalam penyusunan makalah yang akan datang.


DAFTAR PUSTAKA

[] M. Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits, Jakarta, Gaung Persda Pres, 2008. hlm. 86.
[2] Loc.cit. Abdul Majid Khon, hlm. 159.
[3] Suparta, Munzier. Ilmu Hadits. Jakarta: PT RayaGrasindo Persada, 2002, hlm. 148
[4] Ibid. hlm. 164
[5] Ibid. Hlm. 91
http:/ /musicflashbqs .blogspot.com/2017/11/makalah-hadits-menurut-segi-kuanlitas.html
https://makalahnih.blogspot.com/2014/06/pembagian-hadits-ulumul-hadits.html?m=1
Read More

Minggu, 29 November 2020

Makalah Hadits Keutamaan Orang Yang Berilmu (doc)

November 29, 2020 0


 

Pengertian Ilmu Pengetahuan

Menurut Wikipedia Bahasa Indonesia Ilmu, sains, atau ilmu pengetahuan adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia. Segi-segi ini dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti.Ilmu memberikan kepastian dengan membatasi lingkup pandangannya, dan kepastian ilmu-ilmu diperoleh dari keterbatasannya.
Sejalan dengan itu ilmu bukan sekadar pengetahuan (knowledge), tetapi merangkum sekumpulan pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati dan dapat secara sistematik diuji dengan seperangkat metode yang diakui dalam bidang ilmu tertentu.Dipandang dari sudut filsafat, ilmu terbentuk karena manusia berusaha berpikir lebih jauh mengenai pengetahuan yang dimilikinya.Ilmu pengetahuan adalah produk dari epistemology.

Mengingat begitu banyaknya informasi yang menjelaskan mengenai ilmu pengetahuan,maka berikut ini kami berikan beberapa sumber yang menjelaskan  Pengertian Ilmu Pengetahuan Menurut Para Ahli, Selain pengertian ilmu pengetahuan secara umum, terdapat beberapa pendapat para ahli yang mengemukakan pendapatnya mengenai pengertian ilmu pengetahuan yaitu sebagai berikut, yaitu: 7 Pengertian Ilmu Pengetahuan Menurut Para Ahli Dalam Negeri :
a. Hatta:Pengertian ilmu pengetahuan menurut Moh. Hatta bahwa ilmu pengetahuan adalah pengetahuan atau studi yang teratur tentang pekerjaan hokum umum, sebab akibat dalam suatu kelompok masalah yang sifatnya sama baik dilihat dari kedudukannya maupun hubungannya.
b. Soerjono Soekanto: Pengertian ilmu pengetahuan menurut Soerjono                 Soekanto adalah pengetahuan yang tersusun sistematis dengan menggunakan kekuatan pemikiran, pengetahuan dimana selalu dapat diperiksa dan ditelaah (dikontrol) dengan kritis oleh setiap orang lain yang mengetahuinya.
c. Dadang Ahmad S: Pengertian ilmu pengetahuan menurut Dadang Ahmad S, adalah suatu proses pembentukan pengetahuan yang terus menerus hingga dapat menjelaskan fenomena dan keberadaan alam itu sendiri.
d. Helmy A. Kotto: Pengertian ilmu pengetahuan menurut Helmy. A. Kotto bahwasanya ilmu pengetahuan adalah suatu proses pembentukan pengetahuan yang terus menerus sampai menjelaskan fenomena dan keberadaan alam itu sendiri.
e. Mappadjantji Amien: Menurutnya, pengertian ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang berawal dari pengetahuan, bersumber dari wahyu, hati dan semesta yang memiliki paradigma, objek pengamatan, metode, dan media komunikasi membentuk sains baru dengan tujuan untuk memahami semesta untuk memanfaatkannya dan menemukan diri untuk menggali potensi fitrawi guna mengenal Allah.
f. Syahruddin Kasim: Menurut Syahruddin Kasim, bahwa pengertian ilmu pengetahuan adalah pancaran hasil metabolisme ragawi sebagai hidayah sang pencipta yang berasal dari proses interaksi fenomena fitrawimelalui dimensi hati, akal, nafsu yang rasional empirik dan hakiki dalam menjelaskan hasanah alam semesta demi untuk menyempurnakan tanggung jawab kekhalifaan.
g. Sondang Siagian: Menurut Sondang Siagian bahwa ilmu pengetahuan adalah suatu objek, ilmiah yang memiliki sekelompok prinsipol, dalil, rumus, yang melalui percobaan yang sistematis dilakukan berulang kali telah teruji kebenarannya, dalil-dalil, prinsip-prinsip dan rumus-rumus mana yang dapat diajarkan dan dipelajari. 

Keutamaan Orang Yang Berilmu

Perlu diketahui bahwa setiap dari kita adalah penuntut ilmu, baik itu yang tua ataupun yang muda, baik laki-laki maupun perempuan, semuanya wajib menuntut ilmu. Dan perlu diketahui pula, bahwa menuntut ilmu agama tidak harus di pondok pesantren, namun bisa juga di masjid dan tempat lainnya yang di sana ada majelis ilmu yang mengajarkan Al-Quran dan As-Sunnah dengan benar.
Agar lebih termotivasi dan lebih semangat dalam belajar ilmu agama, ada baiknya kita mengetahui beberapa keutamaan yang akan diberikan kepada orang-orang yang menempuh jalan atau pergi menuntut ilmu. Di antara keutamaan tersebut adalah sebagai berikut.
a) Dimudahkan jalannya menuju surga
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

وعن ابي هر يرة رضى الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : َمَنْسَلَكَطَرِيقًايَلْتَمِسُفِيهِعِلْمًاسَهَّلَاللهُلَهُبِهِطَرِيقًاإِلَىالْجَنَّةِ
Artinya:”Dan barangsiapa yang menempuh suatu jalan dalam rangka menuntut ilmu, Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.” 
Derajat hadits yang pertama tentang balasan bagi orang yang menuntut ilmu, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yaitu:  (HR Muslim dan yang lainnya. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Shahih At-Targhib wa At-Tarhib no. 84.)
b) Para malaikat ridha apa yang dikerjakannya,dari Zir bin Hubaisy, dia berkata, aku datang kepada Shafwan bin Assal al-Muradi, dia bertanya,”Apa yang membuatmu datang?” Aku menjawab, “Mencari ilmu.” Dia berkata,”Aku telah mengdengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَامِنْخَارِجٍيَخْرُجُمِنْبَيْتِهِيَطْلُبُالْعِلْمَإِلَّاوَضَعَتْلَهُالْمَلائِكَةُأَجْنِحَتَهَا،رِضًابِمَايَصْنَعُ
Artinya:“Tidaklah seseorang itu keluar dari rumahnya untuk menuntut ilmu, kecuali malaikat pasti meletakkan (mengepakkan) sayap-sayapnya karena ridha dengan apa yang dilakukannya.” (HR At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban) 
Hadits yang kedua mengenai tugas para malaikat yang ridha dengan apa dikerjakan orang yang menuntut ilmu yaitu (HR At-Tirmidzi dan dishahihkannya, Ibnu Majah dan lafaz hadits ini adalah lafaznya, dan Ibnu Hibban dalam shahihnya dan al-Hakim dia berkata, “Sanadnya shahih”. Oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib wa At-Tarhib no. 85.)
c) Mendapatkan pahala haji secara sempurna, dari Abu Umamah dari  Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْغَدَاإِلَىالْمَسْجِدِلَايُرِيدُإِلَّاأَنْيَتَعَلَّمَخَيْرًاأَوْيُعَلِّمَهُكَانَكَأَجْرِحَاجٍّتَامًّاحَجَّتُهُ
Artinya:“Barangsiapa yang pergi menuju masjid, dia tidak bermaksud kecuali untuk belajar kebaikan atau untuk mengajarkannya, maka baginya pahala seperti berhaji secara sempurna.” (HR Ath-Thabrani)
Derajat hadits keutamaan orang yang menuntut ilmu selanjutnya seperti mendapatkan pahala haji secara sempurna.Yaitu (HR Ath-Thabrani dan diriwayatkannya al-Mu’jam al-Kabir dengan sanad tidak mengapa.Al-Hafizh al-Iraqi berkata 2/317,”Sanadnya baik (Jayid)”. Pada sanadnya terdapat Hisyam bin Ammar. Saya berkata,”Diriwayatkan pula oleh al-Hakim 1/19 dengan lafazh, ”…Pahala orang yang berumrah yang umrahnya sempurna.” Dia menambahkan,”Barangsiapa pergi sore heri ke masjid dia tidak ingin kecuali untuk belajar kebaikan atau mengajarkannya maka dia meraih pahala orang yang berhaji yang hajinya sempurna.Dia menshahihkannya di atas syarat al-Bukhari dan disetujui oleh adz-Dzahabi, hadits ini dinilai hasan shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib wa At-Tarhib no. 86.) 
d) Kedudukannya seperti orang-orang yang berjihad di jalan Allah, dari Abu Hurairah ia berkata, aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْجَاءَمَسْجِدِيهَذَالَمْيَأْتِهِإِلَّالِخَيْرٍيَتَعَلَّمُهُأَوْيُعَلِّمُهُ،فَهُوَبِمَنْزِلَةِالْمُجَاهِدِيْنَفِيسَبِيلِاللهِ،وَمَنْجَاءَبِغَيْرِذَلِكَفَهُوَبِمَنْزِلَةِالرَّجُلِيَنْظُرُإِلَىمَتَاعِغَيْرِهِ
Artinya:“Barangsiapa yang mendatangi masjidku ini (yaitu Masjid An-Nabawi) tidaklah ia datang kecuali untuk kebaikan yang akan dipelajari atau diajarkannya, maka ia berada di kedudukan seperti orang-orang yang berjihad di jalan Allah. Dan barangsiapa yang datang dengan niat selain itu, maka kedudukannya laksana seorang laki-laki yang hanya memandang-mandang barang (perbekalan) saudaranya.” (HR Ibnu Majah dan Al-Baihaqi)
Derajat hadits selanjutnya yaitu kedudukannya seperti orang-orang yang berjihad di jalan Allah.(HR Ibnu Majah dan Al-Baihaqi.Pada sanadnya tidak terdapat rawi yang ditinggalkan dan tidak pula disepakati kelemahannya.Bahkan sanadnya Ibnu Majah shahih di atas syarat Muslim sebagaimana dikatakan oleh al-Bushairi di az-Zawaid.Hadits ini diriwayatkan oleh al-Hakim juga, dia menshahihkannya di atas syarat asy-Saikhain dan disetujui oleh adz-Dzahabi. Sebenarnya ia hanya di atas syarat Muslim dan membuka hadits dengan ‘Diriwayatkan’ yang menunjukkan bahwa ia dhaif tidaklah bagus. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib wa At-Tarhib no. 87.) 
Di dalam hadits yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْخَرَجَفِيطَلَبِالْعِلْمِفَهُوَفِيسَبِيلِاللهِحَتَّىيَرْجِعَ
Artinya:“Barangsiapa keluar (dari rumahnya) dalam rangka menuntut ilmu, maka ia berada di jalan Allah hingga ia pulang.” (HR At-Tirmidzi) 
Di dalam hadits yang lain, derajat haditsnya (HR At-Tirmidzi, hadits ini dinilai hasan li ghairihi oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib wa At-Tarhib no. 88.)
e) Ilmu lebih utama dari ibadah, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

فضلالعلمأحبإليمنفضلالعبادةوخيردينكمالورع
Artinya:“Keutamaan ilmu lebih aku sukai dari keutamaan ibadah, dan sebaik-baik agama kalian adalah bersikap wara”(HR.Al-Hakim)
Derajat pembahasan hadits tentang ilmu lebih utama dari ibadah, yaitu (HR.Al-Hakim, Al-Bazzar, At-Thayalisi, dari Hudzaifah bin Yaman Radhiallahu Anhu. Disahihkan Al-Albani dalam sahih al-jami’: 4214)
Demikianlah beberapa hadits yang menunjukkan dengan jelas tentang keutamaan yang akan diberikan kepada orang-orang yang pergi atau menempuh suatu jalan dalam rangka belajar ilmu agama.

Hadits Tentang Ilmu Pengetahuan dan Keutamaan Orang Yang Berilmu

Allah subhanallahuta’allah berfirman dalam surah al-Mujadilah ayat 11:
يَرۡفَعِ ٱللَّهُٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنكُمۡ وَٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡعِلۡمَ دَرَجَٰتٖۚ وَٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِيرٞ ١…
Artinya:”Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat dan Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan”.(Q.S. al-Mujadalah: 11)
Yaitu dengan ilmu Allah, akan mengangkat derajar orang-orang yang berilmu beberapa derajat. Dengan begitu tentulah Allah sangat menyerukan hamba-Nya untuk menuntut ilmu sebab manusia yang hanya pandai beribadah namun tidak memiliki ilmu tentulah tak diperkenankan. Kemudian Allah tentunya akan memberi berbagai macam kenikmatan apabila seseorang itu berilmu dan taat pada perintahnya dan tak boleh saling mendeki kecuali dengan ilmu dan menjaga ilmu, antara lain:
a) Fadhilah Ilmu
Tekun dalam mencari ilmu dan hikmah
حَدَّثَنَاالْحُمَيْدِيُّقَالَحَدَّثَنَاسُفْيَانُقَالَحَدَّثَنِيإِسْمَاعِيلُبْنُأَبِيخَالِدٍعَلَىغَيْرِمَاحَدَّثَنَاهُالزُّهْرِيُّقَالَسَمِعْتُقَيْسَبْنَأَبِيحَازِمٍقَالَسَمِعْتُعَبْدَاللَّهِبْنَمَسْعُودٍقَالَقَالَالنَّبِيُّصَلَّىاللَّهُعَلَيْهِوَسَلَّمَلاحسدإلافياثنتينرجلآتاهاللهمالافسلطهعلىهلكتهفيالحقرجلآتاهاللهحكمةفهويقضيبهاويعلمها
Artinya:“Telah menceritakan kepada kami Al Humaidi berkata, telah menceritakan kepada kami Sufyan berkata, telah menceritakan kepadaku Isma'il bin Abu Khalid -dengan lafazh hadits yang lain dari yang dia ceritakan kepada kami dari Az Zuhri- berkata; aku mendengar Qais bin Abu Hazim berkata; aku mendengar Abdullah bin Mas'ud berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak boleh mendengki kecuali terhadap dua hal; (terhadap) seorang yang Allah berikan harta lalu dia pergunakan harta tersebut di jalan kebenaran dan seseorang yang Allah berikan hikmah lalu dia mengamalkan dan mengajarkannya kepada orang lain".(H.R. Bukhori)
Derajat hadits yang selanjutnya adalah tentang anjuran untuk Menuntut Ilmu yakni H.R. Tirmidzi, hadits ini dinilai hasan. Di kumpulkan oleh tirmidzi dandisyarahkan oleh Tuhfa al-Ahwazi dalam bab keutamaan ilmu 7/405, hadits no 2784) 
b) Diangkatnya ilmu dan munculnya kebodohan
حَدَّثَنَاعِمْرَانُبْنُمَيْسَرَةَقَالَحَدَّثَنَاعَبْدُالْوَارِثِعَنْأَبِيالتَّيَّاحِعَنْأَنَسِبْنِمَالِكٍقَالَقَالَرَسُولُاللَّهِصَلَّىاللَّهُعَلَيْهِوَسَلَّمَإِنَّمِنْأَشْرَاطِالسَّاعَةِأَنْيُرْفَعَالْعِلْمُوَيَثْبُتَالْجَهْلُوَيُشْرَبَالْخَمْرُوَيَظْهَرَالزِّنَا
Artinya:”Telah menceritakan kepada kami 'Imran bin Maisarah berkata, telah menceritakan kepada kami Abdul Warits dari Abu At Tayyah dari Anas bin Malik berkata, telah bersabda Rasul shallallahu 'alaihi wasallam: "Sesungguhnya diantara tanda-tanda kiamat adalah diangkatnya ilmu dan merebaknya kebodohan dan diminumnya khamer serta praktek perzinahan secara terang-terangan".(H.R. Bukhori)
Fadhilah Ilmu dalam ketekunan untuk mencari ilmu dan hikmah, (H.R. Bukhori, shahih dalam Kitab: “Ilmu” Bab: Ilmu diangkat dan tampaknya kebodohan hadits ke 1709) 
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang utama, mulia dan penting.Oleh sebab itu semua harus menyadari tentang hal ini, untuk membentuk keshalehan individu dan keshalehan dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Paling tidak setiap pendidik pada lembaga pendidikan manapun harus mampu menyadari akan keutamaan dan pentingnya ilmu, lalu menyalurkannnya kepada peserta didik, sehingga manfaat dan fungsi ilmu pengetahuan dapat dirasakan secara menyeluruh, bukan sekadar formalitas belaka.
Firman Allah dalam al-Qur’an, hadits-hadits Rasulullah serta pandangan ulama, sebagaimana dipaparkan di atas adalah bukti kongkrit akan keutamaan, kemulian dan pentingnya ilmu bagi seluruh sendi kehidupan. Ia adalah kunci bagi kebahagiaan dan keselamatan di dunia dan akhirat.

B.     Saran-Saran
Seperti yang telah disampaikan dimuka bahwa semua orang harus menyadari dan meyakini akan keutamaan dan pentingnya ilmu, terutama bagi kalangan pendidik. Untuk selanjutnya penulis merumuskan saran-saran sebagai berikut:
1.   Hendaknya kita lebih mendalam di dalam mempelajari keutamaan dan pentingnya ilmu, baik yang bersumber dari al-Qur’an, hadits, kitab-kitab para ulama islam, maupun para cendekiawan yang lain.
2.   Hendaknya kita mengembangkan sikap bangga akan ilmu yang telah kita raih, agar keutamaannya tampak menghiasi diri kita dan orang-orang di sekitar kita.
3.   Karena begitu besar keutamaan dan pentingnya ilmu, maka hendaknya kita tidak berhenti begitu saja dalam menuntut ilmu. Sesuai dengan sabda Rasulullah bahwa menuntut ilmu tetap diharuskan sampai tubuh kita terkubur dalam liang lahat.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran al-Karim
Abdil Muhsin, Abdullah. 2014.  Silsilah Ta’lim al-Lughoh al-Arobi al-Hadits. Jakarta: Jami’ah Imam Muhammad bin Suud al-Islami,
Fuad Abdul Baqi, Muhammad.2013. Al-Lu’lu’ Wal Marjan. Jakarta: Ummul Qura
Imam Nawawi.Terjemah Riyadhus Shalihin. Jakarta: Pustaka Imani
Syafiie, Inu kencana.2005. Pengantar Ilmu Pemerintahan. Bandung: PT Refika Aditama
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani.2007.Shahih At-Targhib wa At-Tarhib Jilid I. Jakarta: Pustaka Sahifa 
Read More

Sabtu, 28 November 2020

Makalah Hadits Tentang Riba (doc)

November 28, 2020 0


 

Hadits tentang Riba

Dari Jabir, r.a., ia berkata: “Rasulullah saw.  Mengutuk orang yang makan riba, yang mewakilinya, penulisnya, kedua saksinya. Dan beliau bersabda: “semua itu sama saja”. (Hadits di riwayatkan oleh Imam Muslim)
Biografi Sanad Hadits
Jabir bin Abdullah
Jabir bin Abdullah meriwayatkan 1.540 hadist, Ayahnya bernama Abdullah bin Amr bin Hamran Al-Anshari as-Salami. Ia bersama ayahnya dan seorang pamannya mengikuti Bai’at al-‘Aqabah kedua di antara 70 sahabat anshar yang berikrar akan membantu menguatkan dan menyiarkan agama Islam, Jabir juga mendapat kesempatan ikut dalam peperangan yang dilakukan pleh Nabi, kecuali perang Badar dan Perang Uhud, karena dilarang oleh ayahnya. Setelah Ayahnya terbunuh, ia selalu ikut berperang bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam.

Ia wafat di Madinah pada tahun 74 H. Abbas bin Utsman penguasa madinah pada waktu itu ikut mensholatkannya. Sanad terkenal dan paling Shahih darinya adalah yang diriwayatkan oleh penduduk Makkah melalui jalur Sufyan bin Uyainah, dari Amr bin Dinar, dari Jabir bin Abdullah.

Penjelasan Hadits Tentang Riba
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat orang yang memakan riba dan yang memberi makan dengannya, beliau bersabda:

لَعَنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْوَاشِمَةَ وَالْمُسْتَوْشِمَةَ وَآكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat wanita yang mentato dan yang minta ditato, dan pemakan riba dan yang memberi makan dengan riba”. (HR Bukhari dari Abu juhaifah).

Dan terlaknat juga orang yang menulisnya, saksinya dan semua pihak yang membantu riba. Dan Allah telah telah mengumumkan perang dengan pelaku riba, Allah Ta’ala berfirman:

                                     

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”. (Al Baqarah: 278-279).

Pengertian Hadits tentang Riba
Riba adalah penetapan bunga atau melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok yang dibebankan kepada peminjam. Riba secara bahasa bermakna ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar. Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil. Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, tetapi secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam.
Dalam Islam, memungut riba atau mendapatkan keuntungan berupa riba pinjaman adalah haram. Ini dipertegas dalam Alquran Surah Al-Baqarah ayat 275 : ...padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.... Pandangan ini juga yang mendorong maraknya perbankan syariah yang konsep keuntungan bagi penabung didapat dari sistem bagi hasil bukan dengan bunga seperti pada bank konvensional, karena menurut sebagian pendapat (termasuk Majelis Ulama Indonesia), bunga bank termasuk ke dalam riba.
Macam-macam Riba
Imam ‘Ali bin Husain bin Muhammad atau yang lebih dikenal dengan sebutan as-Saghadi, menyebutkan dalam kitab an-Nutf bahwa riba menjadi tiga bentuk yaitu:
Riba dalam Hutang Piutang
Riba hutang-piutang adalah tindakan mengambil manfaat tambahan dari suatu hutang. Riba hutang-piutang dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
Riba Qard, yaitu mengambil manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang diisyaratkan kepada penerima hutang (muqtaridh).
Riba Jahiliyah, yaitu penambahan hutang lebih dari nilai pokok karena penerima hutang tidak mampu membayar hutangnya tepat waktu.

Riba dalam Jual Beli
Riba jual-beli terjadi saat transaksi jual beli secara kredit atau pembayaran dengan cara mencicil. Penjual menetapkan penambahan nilai barang karena konsumen membelinya dengan mencicil.
Riba dalam jual-beli dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
Riba Fadhl, yaitu praktik pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan tersebut masih termasuk dalam jenis barang ribawi.
Riba Nasi’ah, yaitu penangguhan penyerahan/ penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba nasi’ah terjadi karena adanya perbedaan, perubahan, atau penambahan antara barang yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian.
Ayat Al-Qur’an tentang larangan Riba
Ali-imran : 130
                
130. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.
An-Nisa’ : 160-161
                                   
160. Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) Dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah,
161. dan disebabkan mereka memakan riba, Padahal Sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.
Ar-Rum : 39
                          
39. dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia bertambah pada harta manusia, Maka Riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).

Penyebab di Haramkannya Riba
Ada beberapa alasan mengapa Islam melarang keras riba, antara lain :
1)  Bahwa kehormatan harta manusia sama dengan kehormatan darahnya. Oleh karena itu, mengambil harta kawannya tanpa ganti sudah pasti haram.
2)  Riba menghendaki penngambilan harta orang lain dengan tidak ada imbangannya, seperti seseorang menukarkan uang kertas Rp. 1.000,00 dengan uang recehan senilai Rp. 950,00. Maka uang senilai Rp. 50,00 tidak ada imbangannya, sehingga uang senilai Rp. 50,00 tersebut adalah riba.
4)  Riba menyebabkan putusnya perbuatan baik terhadap sesama manusia dengan cara utang piutang atau menghilangkan manfaat utang piutang sehingga riba lebih cenderung memeras orang miskin dari pada menolong orang miskin.
Sedangkan sebab-sebab riba diharamkan menurut firman Allah SWT dan Rasul-Nya antara lain :
QS. Al-Baqarah: 275 “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
Dan sabda Rasulullah saw:
1).  Rasulullah SAW bersabda “Rasulullah SAW meletakkan pemakan riba, dua saksinya, dua penulisnya, jika mereka tahu yang demikian, mereka dilaknat pada hari kiamat.” (Riwayat Nasa’i)
2).  Rasulullah SAW bersabda “Emas dengan emas sama berat sebanding dan perak dengan perak sama berat dan sebanding. Makanan dengan makanan yang sebanding.” (Riwayat Ahmad)
3)  Rasulullah SAW bersabda “Ibnu Abbas berkata: tak ada riba sesuatu yang dibayar tunai.” (Riwayat Ahmad)

Hikmah larangan riba 
Allah SWT tidak mengharamkan sesuatu yang baik dan bermanfaat bagi manusia, tetapi hanya mengharamkan apa yang sekiranya dapat membawa kerusakan baik individu maupun masyarakat. Riba juga dapat menimbulkan kemalasan bekerja, hidup dari mengambil harta orang lain yang lemah. Cukup duduk di atas meja, orang lain yang memeras keringatnya. Dan Riba dapat mengakibatkan kehancuran, banyak orang-orang yang kehilangan harta benda dan akhirnya menjadi fakir miskin.
Adapun Hikmah di balik larangan riba yaitu sebagai berikut:
Meningkatkan rasa syukur kepada Allah Swt.
Menghindari kemudhoratan
Menumbuhkan etos kerja seorang muslim demi mendapatkan sesuatu hal dari jalan yang benar
Melindungi harta orang muslim agar tidak termakan dengan bathil
Memotivasi orang muslim untuk menginvestasikan harta nya pada usaha-usaha yang bersih dari penipuan, jauh dari apa saja yang menimbulkan kesulitan dan kemarahan di antara kaum muslimin, misalnya dengan bercocok tanam, industri, bisnis yang benar dan lain sebagainya.
Dan menjauhkan orang muslim dari sesuatu yang menyebabkan kebinasaannya, karna pemakan riba adalah orang yang dzolim dan akibat kedzolimannya adalah kesusahan. Allah Swt berfirman: “hai manusia, sesungguhnya (bencana) ke-dzaliman kalian akan menimpa diri kalian sendiri”. (QS. Yunus : 23)


BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Ditinjau dari berbagai penjelasan yang kami paparkan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
Riba berarti menetapkan bunga atau melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok, yang dibebankan kepada peminjam. Riba secara bahasa bermakna: ziyadah (tambahan). Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. 
Allah SWT secara tegas melarang riba yang terdapat di dalam Al Qur’an di antaranya pada:
QS. Ali Imran (3) : 130
QS.  an-Nisa' (4) : 160-161
QS. ar-Rum (30) : 39
Macam-macam riba yaitu: Riba Yad, Riba Jahiliyah, Riba Qardhi, Riba Fadli, dan Riba Nasi’ah. dan salah satu hikmah dari di larangnya riba yaitu Meningkatkan rasa syukur kepada Allah Swt. Dan menjauhkan orang muslim dari sesuatu yang menyebabkan kebinasaannya, karna pemakan riba adalah orang yang dzolim dan akibat kedzolimannya adalah kesusahan. Allah Swt berfirman: “hai manusia, sesungguhnya (bencana) ke-dzaliman kalian akan menimpa diri kalian sendiri”. (QS. Yunus : 23)

SARAN
Semoga dengan selesainya makalah ini, kami  sangat mengharapkan respon dari para teman-teman mahasiswa ataupun dari Dosen dan saran konstruktif dari siapapun datangnya, demi perbaikan makalah ini, dan dapat bermanfaat adanya, khususnya bagi kami sebagai penyusun, dan umumnya para pembaca lainnya.

Read More

Senin, 15 Februari 2016

MAKALAH TAKHRIJUL HADIST OLEH IMAM AHMAD BIN HAMBAL DAN IMAM MALIK

Februari 15, 2016 0



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah

Kitab-kitab Hadis dalam bentuk subjek-subjek khusus atau minat tertentu telah muncul sejak abad pertama Hijrah. Kodifikasi-kodifikasi yang muncul berbeda-beda, baik secara kuantitas dan kualitasnya, sesuai dengan kapasitas masing-masing penyusunannya. Bahkan banyak pula karya-karya yang muncul pada paruh pertama abad kedua Hijrah.

Abad ketiga hijriyah dinyatakan sebagai masa pemurnian dan penyempurnaan penulisan kitab-kitab hadis. Periode ini berlangsung sejak masa pemerintahan Khalifah al-Makmun (198-218 H) sampai kepada awal pemerintahan Khalifah al-Muqtadir (295-320 H) dari Dinasti Abbasiyah. Pada periode ini para Ulama Hadis memusatkan perhatian mereka kepada pemeliharaan keberadaan dan terutama kemurnian Hadis-hadis Nabi s.a.w. hal tersebut mereka lakukan, selain sebagai pemeliharaan terhadap Hadis Nabi, juga dalam rangka antisipasi terhadap kegiatan pemalsuan Hadis yang semakin marak pada masa itu.

Diantara kegiatan yang dilakukan oleh para Ulama Hadis dalam rangka pemeliharaan kemurnian Hadis Nabi s.a.w pada masa ini adalah: perlawatan ke daerah-daerah, pengklasifikasian Hadis kepada Marfu, Mawquf dan Maqthu’, serta penyeleksian kualitas hadis dan pengklasifikasiannya kepada Shahih, Hasan, dan Daíf.

Hasil dari usaha pemisahan Hadis Rasulullah dari fatwa Sahabat dan Tabiín saat itu adalah disusunnya kitab-kitab Hadis dalam corak baru yan disebut Kitab shahih, kitab Sunan, dan Kitab Musnad. Kitab shahih adalah kitab yang menghimpun Hadis-hadis Shahih saja, sedangkan yang tidak sahih tidak dimasukkan ke dalamnya dan bentuk penyusunannya adalah berbentuk mushannaf, yaitu penyajian berdasarkan bab-bab masalah tertentu sebagaimana metode-metode kitab fikih. Kitab Sunan adalah kitab yang memuat selain Hadis Sahih, juga didapati Hadis yang berkualitas daíf, namun dengan syarat tidak terlalu lemah dan tidak munkar. Sedangkan kitab Musnad adalah kitab yang disusun berdasarkan nama perawi pertama, yaitu sahabat. Urutan nama perawi pertama itu ada berdasarkan urutan kabilah, seperti mendahulukan Bani Hasyim dari yang lainnya, ada yang menurut urutan waktu memeluk agama Islam, da nada yang menurut urutan lainnya, seperti urutan huruf hijaiyyah (abjad), atau lainnya. Pada umumnya di dalam kitab musnad ini tidak dijelaskan kualitas hadis-hadisnya.

Diantara kitab sahih adalah kitab yang disusun oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim. Sedangkan kitab sunan adalah Sunan Abu Dauwd, Sunan al-Turmudzi, Sunan Al-Nasaí, Sunan Ibn majah dan Sunan al-Darimi. Adapun yang termasuk kitab Musnad adalah kitab Musnad Imam Ahmad Ibn Hambal, Musnad Abu al-Qasim al-Baghawi, dan Musnad Utsman ibn Abi Syaibah.
B.     Rumusan Masalah
1.      Musnad Imam Ahmad bin Hambal
2.      Al Muwathta’ Imam Malik
3.      Sunan Ad Darimi










BAB II
PEMBAHASAN
A.    Musnad Imam Ahmad bin Hambal
Imam Ahmad ibn Hanbal merupakan seorang ulama besar, ahli dalam bidang fikih maupun hadis ini memiliki nama lengkap Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilalasy-syaibani al-Marwazi al-Baghdadi. Dalam sumber lain menyebutkan nama lengkap beliau adalah Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal ibn Hilal ibn Asad ibn Idris ibn ‘Abdillah bin Hayyan ibn ‘Abdillah bin Annas ibn ‘Awf ibn Qasit ibn Mazin ibn Syaiban ibn Zulal ibn Ismail ibn Ibrahim. Dari nama tersebut bisa diketahui bahwa beliau adalah keturunan Arab dari suku bani Syaiban, sehingga diberi laqab al-Syaibany. Ahmad ibn Hanbal dilahirkan di Baghdad, kota Meru/Merv pada bulan Rabi’ul Awwal tahun 164 H atau Nopember 780 M. Bapak beliau, Muhammad telah meninggal dunia sejak beliau masih kecil sehingga beliau hanya diasuh oleh ibunya yang bernama Safiyyah binti Maimunah binti Abdul Malik Asy-Syaibani.
Kitab Musnad adalah sebuah kitab yang disusun dengan tanpa menyaring dan menerangkan derajat hadis-hadis tersebut. Atau dalam pengertian yang lain disebutkan bahwa yang dinamakan kitab Musnad adalah kitab yang disusun berdasarkan nama sahabat.
Dalam Musnad imam Ahmad ini terdapat 40.000 hadis, kurang lebih 10.000 diantaranya dengan berulang-ulang. Tambahan dari Abdullah, putra beliau sekitar 10.000 hadis dan diantaranya ada beberapa tambahan pula dari Ahmad bin Ja’far al-Qatili. Sayyid Ahmad bin Ja’far Al-Qatili berkata : “Satu satunya kitab Musnad yang menghidupkan sunnah adalah yang disusun oleh Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal Al-Syaibani yang meninggal di Baghdad pada tahun 241 H.”
Musnad tersebut mencakup beberapa bab yang dimulai dari : musnad sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga (Musnad Abu Bakr As Siddik , musnad Umar bin Al Khatthab Radliyallahu 'anhu , Musnad Utsman bin 'Affan Radliyallahu 'anhu , Musnad Ali bin Abu Thalib Radliyallahu 'anhu , Musnad Muhammad Thalhah bin 'Ubaidillah Radliyallahu ta'ala 'anhu, Musnad Az Zubair bin Al 'Awwam Radliyallahu 'anhu , Musnad Abu Ishaq Sa'd bin Abu Waqqash Radliyallahu 'anhu , Musnad Sa'id bin Zaid bin 'Amru bin Nufail Radliyallahu 'anhu, Hadits Abdurrahman bin 'Auf Az Zuhri Radliyallahu 'anhu , Hadits Abu 'Ubaidah bin Al Jarrah atau namanya adalah 'Amir bin Abdullah Radliyallahu 'anhu), musnad sahabat setelah sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga, musnad ahli bait,  musnad Bani Hasyim, musnad  sahabat yang banyak meriwayatkan hadits , sisa musnad sahabat yang banyak meriwayatkan hadits, musnad penduduk Makkah, musnad penduduk Madinah, musnad penduduk Syam, musnad penduduk Kufah, musnad  penduduk Bashrah, musnad sahabat Anshar, dan sisa musnad sahabat Anshar.
Mengenai derajat hadis musnad ahmad terdapat tiga penilaian ulama yang berbeda, diantaranya adalah :
1.      Seluruh hadis yang terdapat di dalamnya dapat dijadikan sebagai hujjah. Hal ini berdasarkan perkataan beliau, Imam Ahmad bahwa : jika umat islam berselisih tentang suatu hadis maka merujuklah pada kitab musnad ini namun jika tidak menemukan hadis dalam  musnad ini maka tidak dapat dijadikan hujjah.
2.       Di dalam musnad ahmad terdapat hadis shahih, dhaif, bahkan yang maudhu’. Ibnu Al-Jauzy mengatakan bahwa musnad ahmad terdapat 29 hadis maudhu’.
3.      Di dalam musnad ahmad terdapat hadis yang shahih dan dhaif yang mendekati derajat hasan. Yang berpendapat demikian adalah al-Zahabi, ibn Hajar al-asqalani, ibn Taimiyah, dan al-Suyuthi.
Adapun berdasarkan sumbernya, musnad Ahmad dibagi menjadi enam macam, yaitu :
1.                  Hadis yang diriwayatkan Abdullah dari ayahnya dengan mendengar langsung.
2.                  Hadis yang didengar Abdullah dari ayahnya dan dari orang lain. Hadis ini jumlahnya sedikit.
3.                  Hadis yang diriwayatkan Abdullah dari selain ayahnya. Hadis ini dinamakan hadis zawaid Abdullah (tambahan).
4.                  Hadis yang  tidak didengar Abdullah dari ayahnya, melainkan dibacakan kepada sang ayah.
5.                  Hadis yang tidak didengar dan tidak pula dibacakan kepada ayahnya, tetapi Abdullah menemukannya dalam kitab sang ayah yang ditulis dengan tangan.
6.                  Hadis yang diriwayatkan oleh Al-hafidz Abu Bakar Al-Qath’i yang meriwayatkan dari Abdullah.
Terkait dengan terdapatnya tambahan Hadis selain riwayat Ahmad ibn Hanbal, ulama berbeda pendapat dalam hal status dan kualitas Hadis-hadis yang terdapat di dalam kitab Musnad tersebut. Menurut Nawir Yuslem, setidaknya ada tiga pendapat yang berbeda dalam menentukan kualitas Hadis-hadis yaitu :
Pertama, bahwa Hadis-hadis yang terdapat dalam Musnad tersebut dapat dijadikan hujjah, pendapat ini didukung oleh Abu Musa al Madani, ia menyatakan bahwa Ahmad ibn Hanbal sangat hati-hati dalam menerima kebenaran sanad dan matan Hadis.
Kedua, bahwa di dalam kitab Musnad tersebut terdapat Hadis sahih, hasan dan maudhu’. Di dalam al Mawdhuat, Ibn al Jauwzi menyatakan terdapat 19 Hadis maudhu’, sedangkan al Hafidz al Iraqi menambahkan 9 Hadis maudhu’.
Ketiga, bahwa di dalam Musnad tersebut terdapat Hadis sahih dan Hadis dhaif yang dekat pada derajat Hadis hasan. Pendapat ini dianut oleh Abu Abdullah al Dzahabi, Ibn Hajar al Asqalani, Ibn Taymiyah dan al Suyuthi.
Namun demikian kedudukan Musnad Ahmad ibn Hanbal termasuk kedalam kelompok kitab Hadis yang diakui kehujjahannya sebagai sumber ajaran Islam. Jika dilihat dari segi peringkatnya, Musnad Ahmad Ibn Hanbal menempati peringkat kedua, disederajatkan dengan kitab Sunan yang empat, yaitu Sunan Abu dawud, Sunan an Nasa’I, Sunan at Turmudzi dan Sunan Ibn Majjah, Sedangkan peringkat pertama ditempati Shahih al Bukhari dan Shahih al Muslim serta kitab al Muwaththa’ Ibn Malik

B.     Al Muwaththa’ Ibn Malik
Nama lengkap dari Imam Malik adalah Malik ibn Anas ibn Malik ibn Abi ‘Amir ibn al Harist ibn Ustman ibn Jutsail ibn Amr ibn al Harist al Asyabiyal Himyari Abu Abd Allah al Madaniy. Beliau lahir mungkin pada tahun 93 H di kota Madinah, keluarganya asli Yaman. Dan di masa Nabi, keluarganya berdiam di kota Madinah. Kakek beliau adalah seorang tabi’in dan buyutnya adalah sahabat Nabi SAW, isterinya bernama Fatimah dan dikaruniai tiga orang putera yaitu : Yahya, Muhammad dan Hammad. Beliau wafat pada tahun 179 H dalam usia delapan puluh tujuh tahun.
Kitab ini adalah karya termashur Imam Malik di antara sejumlah karyanya yang ada. Disusunnya kitab ini adalah atas anjuran khalifah Abu Ja’far al Mansyur dari Dinasti Abbasiyah yang bertujuan untuk disebarluaskan di tengah-tengah masyarakat Muslim dan selanjutnya dijadikan sebagai pedoman hukum negara di seluruh dunia Islam dan juga akan digunakan sebagai acuan bagi para hakim untuk mengadili perkara-perkara yang diajukan kepada mereka serta menjadi pedoman bagi para pejabat pemerintah. Namun Imam Malik menolak tujuan yang diinginkan oleh khalifah tersebut, bahwa agar Al Muwaththa’ digunakan satu rujukan atau satu sumber saja dalam bidang hukum.

Kitab al Muwaththa’ mencatat Hadis Nabi SAW dan fatwa ulama awal di Madinah. Disusun berdasarkan pola yang diawali dengan atsar baru kemudian fatwa, sehingga al Muwaththa’ bukanlah murni kitab Hadis tetapi juga mengandung pendapat hukum para sahabat Nabi, tabi’in dan beberapa pakar sesudah itu. Hal ini dapat kita ketahui bahwa Imam Malik sering merujuk kepada pendapat ulama Madinah dalam masalah yang tidak ada dalam Hadis Nabi tentangnya, bahkan juga dalam hal memahami Hadis Nabi serta penerapannya.

Dipakainya istilah al Muwaththa’ pada kitab Imam Malik ini adalah karena kitab tersebut telah diajukan Imam Malik kepada tujuh puluh ahli fikih di Madinah dan ternyata mereka seluruhnya menyetujui dan menyepakatinya. Al Muwaththa’ berarti memudahkan dan membetulkan, maksudnya adalah al Muwaththa’ itu memudahkan bagi penelusuran Hadis dan membetulkan atas berbagai kesalahan yang terjadi, baik pada sisi sanad maupun pada sisi matan.
Menurut ibn al Hibah, Hadis yang diriwayatkan Imam Malik berjumlah seratus ribu Hadis, kemudia Hadis-hadis tersebut beliau seleksi dengan merujuk kesesuaian dengan alquran dan sunnah sehingga tinggal sepuluh ribu Hadis.Dari jumlah itu beliau lakukan seleksi kembali sehingga akhirnya yang dianggap mu’tamad berjumlah lima ratus Hadis. Beberapa kali dilakkukan revisi oleh Imam Malik atas Hadis yang dikumpulkan mengakibatkan kitab ini memiliki lebih dari delapan puluh naskah (versi), lima belas diantaranya yang terkenal adalah
  • Naskah Yahya ibn Yahya al Laytsi al Andalusi, yang mendengar al Muwaththa’ pertama kali dari Abd al Rahman dan selanjutnya Yahya pergi menemui Imam Malik secara langsung sebanyak dua kali tanpa perantara.
  • Naskah Abi Mus’ab Ahmad ibn Abi Bakr al Qasim, seorang hakim di Madinah.
  • Naskah Muhammad ibn al Hasan al Syaibani, seorang murid Abu Hanifah dan murid Imam Malik.
Ada beberapa ulama yang memberikan penilaian dan kritik terhadap penyeleksian Hadis yang dilakukan Imam Malik dalam kitab al Muwaththa’, diantaranya adalah :
Al Hafidz ibn Abd al Bar, seorang ulama abad ke 5 H, dalam penelitiannya terhadap kitab al Muwaththa’ berkesimpulan bahwa semua Hadis yang menggunakan ungkapan balaghani dan perkataannya “ dari al tsiqah “ yang tidak disandarkannya pada seseorang dan terdapat enam puluh Hadis semuanya musnad tanpa melalui jalur Malik. Kemudian terdapat empat Hadis yang tidak dikenal yaitu, pertama, dalam bab al ‘Ama fi al Sahwi (perbuatan ketika kelupaan), kedua, dalam bab Maja’a fi Laylat al Qadr (sesuatu yang dating pada saat malam al Qadr), ketiga, dalam bab al Jami’ dan keempat dalam bab Istimthar bi al Nujum ( meminta hujan dengan bintang) pada bagian terakhir dalam bab Salat.
Ibn Ashir berpendapat bahwa kitab al Muwaththa’ adalah kitab yang bermanfaat, dimana pembagian babnya sebagaimana dalam kitab fikih namun di dalamnya terdapat Hadis yang lemah sekali bahkan munkar. Oleh karena itu al Muwaththa’ tidak diletakkan dalam jajaran kitab al Khamsah akan tetapi posisinya menduduki tangga keenam.
Beberapa tokoh ulama modern berpendapat bahwa Imam Malik bukan ahli Hadis dan kitabnya al Muwaththa’ bukan kitab Hadis akan tetapi adalah kitab fikih serta sekaligus karyanya sebagai kitab fikih. Ulama yang berpendapat itu adalah ustadz Ali Hasan Abd al Qadir dalam kitabnya Nazratun ‘Amatun fi Tarikh al Fiqh. Pendapat tersebut telah dibantah oleh Muhammad Abu Zahwu dalam kitabnya al Hadist wa al Muhadditsun. Adapun inti bantahan abu zahwu adalah :
Memang benar al Muwaththa’ karya Imam Malik memuat fikih dan undang-undang, akan tetapi tidak menutup tujuan lain yaitu mengumpulkan Hadis-hadis sahih. Oleh karena itu kitabnya mencakup Hadis Nabawi dan fikih Islami.
Bercampurnya di dalam kitab al Muwaththa’ kandungan yang mencakup sabda nabi SAW, pendapat sahabat dan fatwa tabi’in dan sebagian pendapat Imam Malik tidak dapat dijadikan alasan bahwa itu bukan kitab Hadis, karena muhaddisin yang lain juga menempuh cara yang demikian.

C.    Sunan Ad-Darimi
Beliau adalah  al-Hâfîzh al-Kabîr dalam ilmu Hadis dan Ilmu-ilmunya adalah ‘Abdullah bin ‘Abdurrahmân bin al-Fadhîl bin Bahram bin ‘Abdusshamad at-Tamîmî as-Samarkandî ad-Dârimî. Beliau lebih dikenal dengan panggilan Imam ad-Dârimî, nama daerah yang dinisbahkan kepada beliau yaitu Dârimî. Kuniyah beliau adalah Abu Muhammad. Beliau dilahirkan pada tahun 181 Hijriah bertepatan dengan tahun wafatnya ulama Hadis di abad ke 2 yang bernama ‘Abdullah bin Mubaraq bin Wâdih al-Hanzholi at-Tamîmî. Berkata Ishâq bi Ibrâhim Al-Warrâq: Aku mendengar ‘Abdullah bin ‘Abdurrahmân berkata: Aku dilahirkan pada tahun dimana wafatnya Ibnu Mubâraq yaitu pada tahun 181 H.
Namun diantara karya-karya beliau yang sangat berharga dan sampai kepada kita adalah buku Sunan (Al-Musnad). Perlu kita ketahui bahwa sebahagian ulama bahwa Sunan ad-Dârimî lebih pantas disebut dengan nama musnad. Kalau yang dimaksud musnad adalah bahwa Hadis-hadis dalam buku itu semua bersandar kepada Nabi Saw. tidak jadi masalah, akan tetapi kalau dimaksudkan bahwa buku Sunan disusun menurut abjad nama Sahabat tidak menurtu bab-bab fiqih tentu itu tidak tepat karena buku Sunan disusun sesuai dengan bab-bab fiqih.
Penilaian ini terjadi mungkin karena Hadis-hadis di dalam kitab Sunan semuanya ada sandarannya (musnadatun), namun kalau seperti ini penilaiannya tidak jadi masalah. Karena Shahîh Bukhâri juga dinamakan musnad jâmi’, karena hadis-hadisnya ada sandarannya bukan karena disusun menurut metode kitab-kitab musnad.
Adapun status Hadis di dalam Sunan ad-Dârimî adalah bermacam-macam, yaitu:
1.      Hadis Shahîh yang disepakati oleh Imam Bukhari Muslim.
2.      Hadis Shahîh yang disepakati oleh salah satu keduanya.
3.      Hadis Shahîh di atas syarat keduanya.
4.      Hadis Shahîh di atas syarat salah satu keduanya.
5.      Hadis Hasan.
6.       Hadis Sadz-dzah.
7.      Hadis Mungkar, akan tetapi itu hanya sedikit.
Hadis Mursal dan Mauquf, akan tetapi ada thuruq lain yang menguatkannya .
Berkata Syekh ‘Abdul Haq ad-Dahlâwî: berkata sebahagian para ulama bahwa kitab ad-Dârimî lebih pantas dan cocok untuk dimasukkan dalam katagori kutubussittah menggantikan posisi Sunan Ibnu Mâjah, dengan alasan:
1.      Karena rijâlul hadisnya lebih kuat.
2.      Keberadaan Hadis Sadz-dzah dan Munkar hanya sedikit.
3.      Sanadnya termasuk sanad yang âliyah.
4.      Rijâlul hadisnya tiga orang lebih banyak dalam kitab Sunan ad-Dârimî dari pada dalam Shâhih Bukhâri .
Sunan ad-Dârimî terdiri dari dua jilid, 23 kitâb dan di dalamnya terdapat 3503 Hadis. Diawali dengan Muqaddimah yang isinya tentang sejarah Nabi Muhammad Saw., ittibâ’ sunnah, ilmu dan hal-hal lain yang berhubungan dengannya.
Dari hitungan Dr. Mushthafa Diib al-Bugha: “terdapat sebanyak 3375 hadits dalam sunan darimi termasuk hadits-hadits yang termaktub dalam muqaddimah.















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Imam Ahmad ibn Hanbal merupakan seorang ulama besar, ahli dalam bidang fikih maupun hadis ini memiliki nama lengkap Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilalasy-syaibani al-Marwazi al-Baghdadi.
Ahmad ibn Hanbal dilahirkan di Baghdad, kota Meru/Merv pada bulan Rabi’ul Awwal tahun 164 H atau Nopember 780 M. Bapak beliau, Muhammad telah meninggal dunia sejak beliau masih kecil sehingga beliau hanya diasuh oleh ibunya yang bernama Safiyyah binti Maimunah binti Abdul Malik Asy-Syaibani.
Nama lengkap dari Imam Malik adalah Malik ibn Anas ibn Malik ibn Abi ‘Amir ibn al Harist ibn Ustman ibn Jutsail ibn Amr ibn al Harist al Asyabiyal Himyari Abu Abd Allah al Madaniy. Beliau lahir mungkin pada tahun 93 H di kota Madinah, keluarganya asli Yaman.
Ad-Darimi adalah  al-Hâfîzh al-Kabîr dalam ilmu Hadis dan Ilmu-ilmunya adalah ‘Abdullah bin ‘Abdurrahmân bin al-Fadhîl bin Bahram bin ‘Abdusshamad at-Tamîmî as-Samarkandî ad-Dârimî. Beliau lebih dikenal dengan panggilan Imam ad-Dârimî, nama daerah yang dinisbahkan kepada beliau yaitu Dârimî. Kuniyah beliau adalah Abu Muhammad. Beliau dilahirkan pada tahun 181 Hijriah bertepatan dengan tahun wafatnya ulama Hadis di abad ke 2 yang bernama ‘Abdullah bin Mubaraq bin Wâdih al-Hanzholi at-Tamîmî. Berkata Ishâq bi Ibrâhim Al-Warrâq: Aku mendengar ‘Abdullah bin ‘Abdurrahmân berkata: Aku dilahirkan pada tahun dimana wafatnya Ibnu Mubâraq yaitu pada tahun 181 H.
B.     Saran
Demikian yang dapat kami jelaskan semonga bemanfaat bagi pembaca dan dalam makalah ini masih terdapat banyak kekurangan-kekurangan, oleh karena itu kami senantiasa menerima saran dan kritik yang sifatnya membangun.
DAFTAR PUSTAKA

Rohmaniyah,Inayah, Studi Kitab Hadis, Yogyakarta : Teras, 2009.

Asy-Syarqawi,Abdurrahman, Kehidupan, Pemikiran dan Perjuangan 5 Imam Madzhab Terkemuka, Bandung : Al Bayan.

Asy-Syubasi,Ahmad, Sejarah dan Biografi Empat Imam Madzhab ( Hanafi,Maliki, Syafi’i, Hanbali ), Amzah, 2004.

Al-Maliki, Muhammad Alawi, Ilmu Ushul Hadis, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009.

As-Shalih,Subhi, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, Jakarta : Pustaka Firdaus, 2009.

Katsîr, Ibnu. Bidâyah wan Nihâyah, Dâr Hadis Cairo Mesir, Cetakan 5 Tahun 2003 M
Read More

Post Top Ad

Your Ad Spot