Knowledge Is Free: APS

Hot

Sponsor

Tampilkan postingan dengan label APS. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label APS. Tampilkan semua postingan

Jumat, 16 Oktober 2015

MAKALAH LANDASAN HUKUM ALTERNATIVE PENYELESAIAN SENGKETA.

Oktober 16, 2015




Aps telah diakui oleh undang-undang No. 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman pasal 3: “tidak terdapat keharusan bagi masyarakat untuk menyelesaikan suatu sengketa melalui pengadilan, tetapi para pihak dapat memilih menyelesaikan suatu sengketa melalui pengadilan, tetapi para pihak dapat memilih menyelesaikan sengketa yang terjadi dengan cara perdamaian dan arbitrase”.[1] Dan Undang-Undang no. 48 tahun 2009 tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman yaitu: Pasal 58:

Upaya penyelesaian sengketa perdata dapat dilakukan di luar pengadilan negara melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa”. Pasal 59: “(1) Arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. (2) Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. (3) Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah ketua pengadilan negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketan. Pasal 60: “(1) Alternatif penyelesaian sengketa merupakan lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi,  konsiliasi, atau penilaian ahli. (2) Penyelesaian sengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hasilnya dituangkan dalam kesepakatan tertulis. (3) Kesepakatan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bersifat final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik. Pasal 61:  “Ketentuan mengenai arbitrase dan   sengketa diluar pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58, Pasal b 59, dan Pasal 60 diatur dalam undang-undang.”[2].
Setelah sekian lama bergulat mengenai perlunya perubahan mengenai pedoman arbitrase yang sesuai dan dapat diterima, baik nasional aupun internasional, serta perlunya perlembagaan Alternative Dispute Resolution (ADR) melalui perangkat perundang-undangan, pada tanggal 12 Agustus 1999 pemerintah mengesahkan Undang-Undang Republik Indonesia  Nomor 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelsaian sengketa. Model arbitrase yang diatur dalam undang-undang Nomor 30 tahun 1999 adalah cara penyelesaian suatu sengketa  di luar  pengadilan umum yang didasarkan atas perjanjian tertulis dari pihak yang bersengketa. Akan tetapi, tidak semua sengketa dapat diselesaikan melalui arbitrase, hanya sengketa mengenai hak yang menurut hukum dikuasai sepenuhnya oleh para pihak yang bersengketa atas dasar kesepakatan mereka. Sebelumnya Arbitrase  juga diatur dalam keppres no 34 tahun 1981 yang meratifikasi New York  Convention on the recognation and enforcement of foreign arbital award mengatur: “setiap perjanjian yang diadakan oleh para pihak yang mencantumkan klausul arbitrase, akan meniadakan hak dari pengadilan untuk memeriksa sengketa yang terjadi berdasarkan perjanjian tersebut”.[3]





[1]http://www.kontras.org/uu_ri_ham/UU%20Nomor%204%20Tahun%202004%20tentang%20Kekuasaan%20Kehakiman.pdf.
[2] http://junaidioke.files.wordpress.com/2011/05/uu_48_2009_kekuasaan_kehakiman_by_junaidi.pdf
[3] Nevi Hasnita,. “Alternative Dispute Resolution”, Makalah (Banda Aceh: 2013) Hlm: 4
Read More

MAKALAH PENGERTIAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

Oktober 16, 2015




 PENGERTIAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA
Alternatif Penyelesaian Sengketa atau Alternative Dispute Resolution adalah sebuah istilah asing yang memiliki berbagai arti dalam bahasa indonesia seperti pilihan penyelesaian sengketa (PPS), Mekanisme alternatif penyelesaian sengketa (MAPS) ,pilihan penyelesaian  sengketa diluar pengadilan, dan mekanisme penyeselaian sengketa secara kooperatif[1]

Pengertian alternatif penyelesaian sengketa (APS) menurut para pakar:
a.             Menurut Gary Goodpaster dalam “tinjauan terhadap penyelesain sengketa” dalam buku Arbitrase di indonesia, setiap masyarakat memiliki berbagai macam cara untuk memperoleh kesempatan dalam proses perkara atau untuk menyelesaian sengketa dan konflik.[2]
b.            Menurut Priyatna Abdurrasyid[3], alternatif penyelesaian sengketa adalah sekumpulan prosedur atau mekanisme yang berfungsi memberi alternative atau pilihan suatu tata cara penyelesaian sengketa melalui bentuk APS/ Arbitrase (negosiasi dan mediasi) agar memperoleh putusan akhir dan mengikat para pihak secara umum, tidak selalu dengan melibatkan intervensi dan bantuan pihak ketiga yang independen yang diminta membantu memudahkan penyelesaian sengketa tersebut.
c.             Philip D. Bostwick yang menyatakan bahwa ADR merupakan serangkaian praktek dan teknik-teknik hukum yang ditujukan untuk :
·         Memungkinkan sengketa-sengketa hukum diselesaiakan diluar pengadilan untuk keuntungan atau kebaikan para pihak yang bersengketa
·         Mengurangi biaya atau keterlambatan kalau sengketa tersebut diselesaikan melalui litigasi konvensional
·         Mencegah agar sengketa-sengketa hukum tidak di bawa ke pengadilan
d.            Menurut M. Husseyn Umar, penyelesaian yang tidak melalui pengadilan ini disebut sebagai Alternative Dispute Resolution atau penyelesaian sengketa alternatif.[4]
e.             Menurut H. Hartono Maridjono, SH Arbtrase atau APS adalah salah satu alternatif penyelesaian sengketa diluar pengadilan. Para pihak memilih arbitrase antara lain karena mereka menganggap penyelesaian sengketa akan dapat diselesaikan dengan cepat dan tidak terbuka untuk umum, suatu yang selalu dijaga oleh kalangan bisnis[5]
Sedangkan pengertian APS dalam kamus Bahasa ingris – Bahasa Indonesia dengan mempertimbangkan kata alternatif diartikan “pilihan antara dua hal, alternatif jalan lain, dengan demikian kata alternatif selain bisa diartikan sebagai pilihan antara dua hal dapat juga diterapkan langsung melalui penyerapan bahasa menjadi alternatif.
Pada tanggal 12 Agustus 1999 telah di undangkan dan sekaligus di lakukan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Jika kita baca judul dan tentunya isi dari undang-undang No. 30 tahun 1999  tersebut lebih lanjut, dapat kita ketahui bahwa undang-undang ini tidak hanya mengatur mengenai arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa, yang telah cukup di kenal di Indonesia saat ini, melainkan juga alternatif penenyelesaian sengketa lainnya. Jika kita baca rumusan yang di berikan dalam pasal 1 angka 10 dan alinea ke-9 dari PENJELASAN UMUM Undang-Undang No. 30 tahun 1999, I katakan bahwa alternatif penyelesaian sengketa dapat di lakukan dengan cara konsultasi, negisiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli.
Kalau kita telusuri seluruh ketentuan yang ada dan di atur dalam Undang-Undang No. 30 tahun 1999, maka dapat kita lihat bahwa ketentuan-ketentuan  mengenai alternatif penyelesaian sengketa dalam undang-undang No. 30 tahun 1999 tersebut di atur dalam BAB II yang ternyata hanya terdiiri dari satu pasal yaitu pasa  6. Dari pengertian yang di muat dalam pasal 1 angka 10 dan rumusan pasal 6 ayat (1), secara jelas dapat kita ketahui bahwa yang di maksud  dengan alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan, atau dengan cara mengesampingkan penyelesaian secara ligitasi di pengadilan negeri.




[1] Suyud Margono, S.H., ADR(alternative dispute resolution) & Arbitrase, cet II(Bogor :Ghalia Indonasia, 2004) hlm 36-37
[2] Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase, (Jakarta :Rajawali Pers,2003) hlm.15
[3] Mantan Wakil Jaksa Agung Era President Suharto
[4] M. Husseyn Umar, “ Beberapa Masalah Dalam Penerapan ADR”, Makalah disampaikan pada Lokarnya Nasional Menyonsong Pembangunan Hukum Tahun 2000, diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran dengan BAPENAS tanggal 2-3 desember 1996, (Bandung, 1996), hlm.1
[5] Ketua Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI)
Read More

Latar Belakang Alternatif Penyelesaian Sengketa

Oktober 16, 2015

 


Latar Belakang Alternatif Penyelesaian Sengketa
Pada saat berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa(UU No. 30/1999), ketentuan-ketentuan mengenai arbitrase sebagaimana yang diatur dalam Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Rv, Pasal 377 HIR, dan Pasal 705 Rbg, dinyatakan tidak berlaku lagi. UU No. 30/1999 berusaha mengatur semua aspek baik hukum acara maupun substansinya, serta ruang lingkupnya yang meliputi aspek arbitrase nasional dan internasional.


Di Indonesia minat untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase mulai meningkat sejak diundangkannya UU No. 30/1999. Arbitrase sendiri adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa (Pasal 1 angka 1 UU Arbitrase dan APS).
Rachmadi Usman, mengatakan dengan diberlakukannya Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, sebagai pengganti Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, maka setiap perkara perdata tertentu yang akan diadili oleh hakim pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan peradilan agama diwajibkan terlebih dahulu untuk menempuh prosedur mediasi di pengadilan.
Lebih lanjut, Rachmadi Usman, sebagaimana ia kutip dari naskah akademis yang dibuat oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung Republik Indonesia, mengatakan bahwa sebenarnya lembaga mediasi bukanlah merupakan bagian dari lembaga litigasi, dimana pada mulanya lembaga mediasi berada di luar pengadilan. Namun sekarang ini lembaga mediasi sudah menyeberang memasuki wilayah pengadilan. Negara-negara maju pada umumnya antara lain Amerika, Jepang, Australia, Singapore mempunyai lembaga mediasi, baik yang berada di luar maupun di dalam pengadilan dengan berbagai istilah antara lain: Court Integrated Mediation, Court Annexed Mediation, Court Dispute Resolution, Court Connected ADR, Court Based ADR, dan lain-lain.
Read More

MAKALAH PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI ARBITRASE

Oktober 16, 2015





A.   
PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI ARBITRASE
1)      Pengertian Arbitrase
Berdasarkan definisi yang diberikan dalam pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 30 Tahun 1999, arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada Perjanjian Arbitase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

Arbitrase merupakan suatu tindakan hukum dimana terdapat pihak yang menyerahkan sengketa atau selisih pendapat antara dua orang (atau lebih) maupun dua kelompok (atau lebih) kepada seorang atau beberapa ahli yang disepakati bersama dengan tujuan memperoleh suatu keputusan final dan mengikat.
Subekti mengatakan bahwa Arbitrase itu adalah penyelesaian suatu persilisihan (perkara) oleh seorang atau beberapa orang wasit (arbiter) yang bersama-sama ditunjuk oleh para pihak yang berperkara dengan tidak diselesaikan lewat pengadilan.
unsur-unsur dari arbitrase adalah:
a)                  adanya kesepakatan untuk menyerahkan penyelesaian sengketa-sengketa, baik yang akan terjadi maupun yang telah terjadi,  kepada seorang atau beberapa orang pihak ketiga di luar pengadilan umum untuk diputuskan;
b)      penyelesaian sengketa yang bisa diselesaikan adalah sengketa yang menyangkut hak pribadi yang dapat dikuasai sepenuhnya, khususnya disini dalam bidang perdagangan, industri dan keuangan; dan putusan tersebut akan merupakan akhir dan mengikat (final and binding).
1.      Dasar Hukum Arbitase
Arbitrase dalam pelaksanaannya memiliki dasar hukum, Arbitrase sudah ada sejak zaman Belanda. Dasar Hukum pembentukan arbitrase pada saat itu adalah pasal 377HIR yang mengatur “jika orang indonesia atau orang timur asing menghendaki perselisihan mereka diputuskan oleh juru pisah, maka mereka wajib menuruti peraturan pengadilan perkara yang berlaku bagi bangsa Eropa”
Dasar hukum arbitase dalam RV adalah “Adalah diperkenan bagi siapa saja, yang terlibat didalam suatu sengketa yang mengenai hak-hak yang berada dalam kekuasaannya untuk melepaskannya, untuk menyerahkan pemutusan sengketa tersebut kepada seorang atau beberapa orang wasit”.
Arbitrase di Indonesia diatur didalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dasar hukum dibuatnya undang-undang ini adalah UU No. 46 Tahun 2009 Tentang Ketentuan Pokok-pokok Kehakiman, disebutkan bahwa penyelesaian perkara diluar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetap dibolehkan, tetapi putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial apabila memperoleh izin atau perintah untuk dieksekusi dari pengadilan.

2)      Asas dan Tujuan Arbitrase
Asas-asas yang dapat dirumuskan dari beberapa definisi tersebut di atas adalah:
a)                  Asas Kesepakatan. Artinya kesepakatan para pihak untuk menyelesaikan perselisihan secara damai, seia-sekata dan sepaham untuk menunjuk seorang atau beberapa orang arbiter.
b)                  Asas Musyawarah, yaitu setiap perselisihan diupayakan untuk diselesaikan secara musyawarah, baik antara arbiter dengan para pihak maupun antara para arbiter itu sendiri.
c)                  Asas Limitatif, yaitu adanya pembatasan dalam penyelesaian perseliisihan melalui arbitrase terbatas pada perselisihan-perselisihan perdagangan/ bisnis dan industri.
d)                 Asas Final dan Binding, yaitu suatu putusan arbitrase bersifat putusan akhir yang tidak dapat dilanjutkan dengan upaya hukum lain, seperti banding atau kasasi.
Arbitrase memiliki beberapa keuntungan sebagai sarana mengatasi sengketa dengan damai, non-konfrontatif dan kooperatif dengan tujuan hasil tertentu. Hasil ini dapat merupakan suatu penyelesaian hukum yang bersifat final dan mengikat sama dengan pelaksanaan yang dimungkinkan melalui pengadilan.
Keuntungan arbitrase lainnya ialah dimana para pihak masing-masing dapat menunjuk seorang arbiter pilihan mereka yang akan mempertimbangkan bukti yang diajukan sebagai dasar keputusannya. Hal ini berarti memberi kemungkinan untuk menujuk seorang ahli yang mengerti tentang sengketanya dan juga dapat membebaskan para pihak dari kewajiban menghadirkan ahli untuk minta pendapat tanpa biaya tambahan apapun.
Pada dasarnya perjanjian arbitrase dapat terwujud dalam bentuk suatu kesepakatan berupa (a) klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau (b) suatu perjanjian arbitrase sendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.
Sebagai salah satu bentuk perjanjian, sah tidaknya perjanjian arbitrase digantungkan pada syarat-syarat sebagaimana ditentukan dalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
a.       syarat subyektif
syarat subjektif yang dimaksudkan bahwa arbitrase merupakan suatu cara alternatif penyelesaian sengketa, maka dalam perjanjian arbitrase melibatkan dua pihak yang saling bersengketa di luar pengadilan dengan telah memenuhi beberapa syarat bagi mereka yang demi hukum cakap untuk bertindak dalam hukum, perjanjian arbitrase dibuat oleh mereka yang dianggap memiliki kewenangan untuk melakukan hal-hal demikian.
b.      syarat objektif
Didalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 30 tahun 1999 dicantumkan objek dari perjanjian arbitrase atau dalam hal ini adalah sengketa yang akan diselesaikan di luar pengadilan melalui lembaga arbitrase hanyalah sengketa dibidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Dan yang dimaksud dengan ruang lingkup hukum perdagangan adalah kegiatan-kegiatan antara lain di bidang perniagaan; perbankan; keuangan; penanaman modal; industry dan hak kekayaan intelektual.
Dalam pasal 6 ayat (9) Undang-undang No. 30 Tahun 1999 dalam hal usaha-usaha alternatif penyelesaian sengketa melalui konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, pemberian pendapat (hukum) yang mengikat maupun perdamaian tidak dapat dicapai, maka para pihak berdasarkan kesepakatan secara tertulis dapat mengajukan usaha penyelesaiannya melalui lembaga arbitrase atau arbitrase ad-hoc. Ini berarti arbitrase merupakan pranata alternatif penyelesaian sengketa terakhir dan final bagi para pihak.
Secara umum dikatakan bahwa lembaga arbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan dengan lembaga peradilan. Kelebihan tersebut antara lain:
i.        dijamin kerahasian sengketa para pihak;
ii.      dapat dihindarkan kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedur dan administratif;
iii.    para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman, serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil;
iv.    para pihak dapat menentukan pilihan hukum yang menyelesaikan masalah serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan
v.      putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.
(Alinea keempat Penjelasan Umum Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Umum)
Sifat pribadi dari arbitrase memberikan keuntungan melebihi ajudikasi melalui peradilan, arbitrase pada dasarnya menghindari peradilan. Arbitrase lebih memberikan kebebasan, pilihan otonomi, kerahasiaan kepada para pihak yang bersengketa.
Dalam arbitrase, para pihak dapat memilih hakim yang mereka inginkan, berbeda dengan system pengadilan yang telah menetapkan hakim yang akan berperan, dengan demikian dapat menjamin baik kenetralan maupun keahlian, yang mereka anggap perlu dalam sengketa mereka.
3)      Kewenangan Arbitrase
Ditinjau dari segi penunjukan arbiter yang akan duduk menjalankan fungsi dan kewenangan arbitrase, memperlihatkan kedudukan dan keberadaannya pada badan swasta atau privat. Arbitrase bukan badan kekuasaan peradilan (judicial power) resmi yang sengaja didirikan oleh kekuasaan negara berdasarkan konstitussi kenegaraan dari Negara yang bersangkutan, hal ini menyebabkan kelaziman sebutan popular kepada arbitrase dengan “juru pisah persengketaan”. seolah-olah dalam menjalankan fungsi dan kewenagan memutus sengketa, bukan “mengadili” tapi lebih mirip menyelesaikan persengketaan/ perselisihan.
Putusan arbirase umumnya mengikat para pihak. Penaatan terhadapnya dipandang tinggi. Biasanya putusannya bersifat final dan mengikat.  Itu karena arbitrase dilaksanakan antara para pihak sendiri atas kesadaran akan penyelesaian sengketa.
Putusan arbitrase merupakan suatu putusan yang diberikan oleh arbitrase ad-hoc maupun lembaga arbitrase atas suatu perbedaan pendapat, perselisihan paham maupun persengketaan mengenai suatu pokok persoalan yang lahir dari suatu perjanjian dasar (yang memuat klausula arbitrase) yang diajukan pada arbitrase ad-hoc, maupun lembaga arbitrase untuk diputuskan olehnya. Berdasarkan pada “tempat di mana arbitrase tersebut diputuskan,
2.      Jenis-Jenis Arbitrase
Yang dimaksud dengan jenis arbitrase adalah macam-macam arbitrase yang diakui eksistensinya dan kewenangannya dalam memeriksa dan memutus perselisihan yang terjadi antara para pihak yang mengadakan perjanjian.
a.       Arbitrase Ad Hoc (Ad hoc Arbitration)
Yaitu arbitrase yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan atau memutus perselisihan tertentu, sehingga kehadiran dan keberadaan arbitrase ini bersifat insidentil. Kedudukan dan keberadaannya hanya untuk melayani dan memutus kasus perselisihan tertentu, selesai sengketa diputus, keberadaan dan fungsi arbitrase ad hoc lenyap dan berakhir dengan sendirinya.
Untuk mengetahui dan menentukan apakah arbitrase yang disepakati adalah dengan ad hoc, dapat dilihat dari rumusan klausula. Apabila klausula pactum de compromittendo atau akta kompromis menyatakan perselisihan akan diselesaikan oleh arbitrase yang berdiri sendiri diluar arbitrase institusional. Artinya apabila klausula menyebut arbitrase yang akan menyelesaikan perselisihan terdiri dari “arbitrase perseorangan” maka arbitrase yang disepakati adalah jenis ad hoc. Ciri pokoknya penunjukan para arbiter adalah secara perseorangan.
Mengenai cara penunjukan arbiter dalam arbitrase ad hoc dapat dilakukan sendiri atas kesepakatan para pihak. Jika arbiternya tunggal, pengangkatannya atas persetujuan bersama. Apabila arbiternya lebih dari seorang, masing-masing pihak menunjuk seorang anggota, dan penunjukan arbiter ketiga dapat dilakukan atas kesepakatan atau menyerahkan pada kesepakatan arbiter yang telah ditunjuk para pihak.
b.      Arbitrase Institusional (Institutional Arbitration)
i.      Sengaja didirikan
Arbitrase institusional adalah arbitrase yang sengaja didirikan. pembentukannya ditujukan untuk menangani sengketa yang timbul bagi mereka yang menghendaki penyelesaian di luar pengadilan. Ia merupakan wadah yang sengaja didirikan untuk menampung persilihan yang timbul dari perjanjian.
Faktor kesengajaan dan sifat permanent pada arbitrase institusional merupakan ciri pembeda badan ini dengan arbitrase ad hoc, selain itu juga bahwa arbitrase ini sudah ada berdiri sebelum sengketa timbul sedangkan ad hoc selain sifatnya insidentil untuk menangani suatu kasus tertentu, dan baru dibentuk setelah perselisihan timbul.
Perbedaan lain bahwa arbitrase intitusional tetap berdiri untuk selamanya, dan tidak bubar meskipun perselisihan yang ditangani telah selesai diputus, sebaliknya arbitrase ad hoc bubar dan berakhir keberadaannya setelah sengketa dan perselisihan yang ditangani selesai diputus. Badan arbitrase yang ada di Indonesia adalah BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia)
ii.    Arbitrase Institusional yang Bersifat Internasional
Selain bersifat nasional. arbitrase juga ada yang bersifat internasional. Bahkan badan-badan arbitrase internasional tertua didirikan pada tahun 1919 di Paris yaitu Court of Arbitration of the International Chamber of Commerce yang disingkat dengan ICC. Arbitrase yang bersifat international merupakan “pusat” perwasitan penyelesaian sengketa di bidang masalah tertentu antara para pihak yang berlainan kewarganegaraan di bidang perdagangan pada umumnya. Selain ICC ada pula badan arbitrase lain, seperti: The International Center for Settlement of Investment Disputes (ICSID) yang khusus menyelesaikan sengketa permasalahan penanaman modal antara suatu Negara dengan warga Negara asing. ICSID di dirikan pada 16 Februari 1968.; UNCITRAL Arbitration Rules (United Nations Commision on International Trade Law) disingkat dengan UAR. UAR didirikan pada 15 Desember 1976 berdasarkan resolusi siding umum PBB. Resolusi ini berisi anjuran kepada dunia arbitrase agar dalam melaksanakan kegiatan arbitrase haruslah mempergunakan dan menerapkan UAR.
iii.  Arbitase International yang Bersifat Regional
Contoh badan arbitrasenya adalah Asia-Africa Legal Consultative Commette (AALCC) yang berkantor pusat di New Delhi-India. Gerakan kelompok ini berusaha melepaskan diri dari dominasi ICC yang dianggap sangatlah terdominasi oleh para arbiter dari Negara maju, sehingga dalam putusannya juga dapat dikatakan bahwa agak lebih cenderung memihak dengan kepentingan negara-negara maju. Hal ini dirasakan kurang memuaskan bagi negara-negara dikawasan Asia-Africa.  Pada tahun 1978 diadakan pertemuan di Kuala Lumpur-Malaysia dimana AALCC berhasil merealisasikan berdirinya pusat arbitrase untuk kawasan Asia yang berkedudukan di Kuala Lumpur. Dan sebagai lanjutannya, pada tahun 1979 didirikan pusat arbitrase regional bagi kawasan Africa yang berkedudukan di Kairo-Mesir.
Asumsi awal didirikan AALCC seolah-olah bertujuan untuk melepaskan diri dari dominasi ICC, memencilkan diri dari dunia internasional, dan bahkan memaksakan kehendak untuk menerpakan system tata hukum nasional atau regional. Sama sekali tidak demikian, hal ini terbukti dari pernyataan yang dikeluarkan oleh AALCC di Kuala Lumpur secara tegas menyatakan bahwa pusat-pusat badan atbitrase yang didirikan oleh AALCC tunduk dan mempergunakan ketentuan yang diatur dalam UAR yang dikeluarkan PBB. Yang diinginkan adanya keseimbangan antara pusat arbitrase internasional yang terdapat di dunia maju yang mereka anggap terlampau berorientasi secara sentris memihak membela dominasi dan kepentingan negara-negara maju

3.      Pemeriksaan dan Pembuktian dalam Arbitrase
Jika diperhatikan berbagai aturan arbitrase, baik yang bersifat nasional seperti UU No. 30/1999 dan Peraturan Prosedur BANI ataupun aturan yang bersifat Internasional seperti ICSID dan UAR, terdapat kecenderungan, alat bukti utama di forum Mahkamah Arbitrase adalah dokumen atau alat bukti tertulis, namun hal tersebut juga tidak dapat mengurangi pentingnya alat bukti yang lain.
a.    Alat Bukti yang Sah
-          Alat bukti yang sah sesuai dengan perundang-undangan tertentu.
Dalam praktik dunia arbitrase mengenai alat bukti dan penilaian pembuktian, bisa beragam penerapannya. Tergantung pada hukum yang ditunjuk dan disepakati oleh para pihak dalam klausula arbitrase. Mereka bisa menunjuk dan menundukkan diri kepada ketentuan pembuktian yang diatur dalam hukum perdata internasional.
-          Alat bukti yang sah didasarkan atas kesepakatan.
Alat bukti yang sah berupa bukti yang terdapat dalam suatu perundang-undangan atau hukum tertentu apabila hukum itu ditunjuk berdasarkan kesepakatan dalam klausula arbitrase, bisa juga terjadi, alat bukti yang sah hanya terbatas sepanjang alat bukti yang ditentukan berdasar kesepakatan para pihak. Para pihak dapat menentukan dalam klausula arbitrase apakah itu dalam pactum de compromittendo atau akta kompromis, bahwa persengketaan hanya dapat dibuktikan berdasarkan alat bukti tertentu. misalnya para pihak sepakat dalam klausula arbitrase, pembuktian yang sah hanya alat bukti surat, saksi dan keterangan para pihak. Sehingga dengan sengaja para pihak telah menyingkirkan alat bukti lain yang lazim dipergunakan dalam suatu aturan tertentu.

Alat Bukti yang Umum Dalam Berbagai Peraturan
a.       Menurut BANI
Dalam Peraturan Prosedur BANI, proses pemeriksaan pembuktian diatur dalam pasal 14 dan hanya pasal ini dapat ditemui penyebutan alat-alat bukti yang dianggap sah digunakan untuk membuktikan statement of claim dari pihak respondent. Alat bukti tersebut adalah:
-          Alat bukti ketetangan para pihak dalam bentuk pengakuan,
-          alat bukti keterangan saksi, dan
-          alat bukti keterangan ahli.
Hanya itu yang disebutkan secara tegas. sedang alat bukti dokumen dan surat tidak disinggung. walaupun demikian, dalam pasal 14 ayat (1) memberi isyarat adanya alat bukti lain “serta mengajukan bukti-bukti yang oleh mereka dianggap perlu” yang dianggap perlu dalam praktik perundang-undangan Indonesia adalah termasuk alat bukti surat, persangkaan, dan alat bukti sumpah. Dan karena terdapat kata “dianggap perlu” para arbiter dapat memanggil saksi-saksi atau ahli untuk didengar keterangan mereka.
b.      Menurut UU No. 30 Tahun 1999
Di dalam pasal 36 Undang-undang tersebut menyatakan bahwa “(1). pemeriksaan sengketa dalam arbitrase harus diajukan secara tertulis. (2). pemeriksaan secara lisan dapat dilakukan apabila disetujui para pihak atau dianggap perlu oleh arbiter atau majelis arbiter.”
Kemudian dari pasal 37 sampai pasal 48 adalah menyebutkan bagaimana bentuk pemeriksaan yang di lakukan dalam forum mahkamah arbitrase terhadap pemeriksaan saksi, bukti serta jangka waktu yang menjadi ketentuan dalam mengajukan tuntutan pada arbitrase.


Read More

TIPOLOGI MEDIATOR DAN TAHAPAN PROSES MEDIASI

Oktober 16, 2015






A.   TIPOLOGI MEDIATOR DAN TAHAPAN PROSES MEDIASI
a)      Tipologi Mediator
Mediator dalam dalam menjalankan proses mediasi memperlihatkan sejumlah sikap yang mencerminkan tipe mediator. Sikap mediator dapat dianalisis dari dua sisi dimana mediator melakukan sutu tindakan semata-mata ingin membantu dan mempercepat proses penyelesaian sengketa. Pada sisi lain, tindakan mediator dalam melakukan negosiasi tidak seluruhnya dapat memuaskan para pihak yang bersengketa. Dari sikap mediator tersebut dapat diidentifikasi tipe-tipe mediator antara lain;
a)      Mediator Otoritatif
Tipe Otoritatif adalah mediator dimana dalam proses mediasi dia memiliki kewenangan yang besar dalam mengontrol dan memimpin pertemuan antar pihak. Keberlangsungan pertemuan para pihak sangat tergantung pada mediator, sehingga peran para pihak sangat terbatas dalam mencari dan merumuskan peyelesaian sengketa mereka. Mediator dengan tipe ini dapat pula menghentikan pertemuan antar para pihak, jika ia merasakan pertemuan tersebut tidak efektif, tanpa meminta pertimbangan dari para pihak.
Dalam proses mediasi, mediator dengan tipe otoritatif lebih banyak mengajukan pertanyaan kepada para pihak seputar akar persoalan utama yang menjadi sumber sengketa. Mediator otoritatif tidak banyak mendengarkan cerita dari pihak yang bersengketa, tetapi lebih banyak menggali cerita dari pihak. Pada sisi ini para pihak terlihat agak pasif dalam mengemukakan persoalannya, sehingga lebih banyak bergantung pada mediator.



Mediator dengan tipe Otoritatif dapat mempercepat penyelesaian sengketa dan tidak berlarut-larut, karena ia terlibat cukup aktif menggali informasi dari pihak, yang pada taraf tertentu kelihatannya ia melakukan “interogasi” kepada para pihak. Mediator jenis ini aktif menawarkan solusi kepada para pihak, sehingga mereka leluasa memilih opsi tersebut. Namun, tindakan mediator yang bertipe otoritatif sangat berpeluang untuk gagalnya penyeleseian sengketa melalui jalur mediasi, karena para pihak terkesan tidak bebas merumuskan opsi bagi penyelesaian sengketa mereka.
b)      Mediator Sosial Network
Mediator dengan tipe sosial network adalah tipe mediator di mana ia memiliki jaringan sosial yang luas untuk mendukung kegiatannya dalam menyelesaikan sengketa. Mediator ini memiliki hubungan dengan sejumlah kelompok sosial yang ada dalam masyarakat. Kelompok sosial dimaksud bertugas membantu masyarakat dalam penyelesaian sengketa, misalnya antara dua tetangganya, rekan kerjanya, teman usahanya atau antara kerabatnya. Mediator yang bertipe sosial network dalam menjalankan proses mediasi lebih menekankan bagaimana para pihak menyelesaikan sengketa melalui jaringan sosial yang ada ia miliki guna membantu para pihak dalam menyelesaikan sengketa.
Mediator sosial network mengarahkan sengketa yang ia tangani kepada pola-pola penyelesaian sengketa yang ia peroleh ketika ia bergabung dalam kelompok sosial. Keberadaan mediator jenis ini cukup penting, terutama ketika proses mediasi mengalami jalan buntu. Jaringan sosial yang dimiliki, akan memudahkannya dalam mempertahankan proses mediasi yang sedang berlangsung.
c)      Mediator Independen
Mediator independen adalah tipe mediator dimana ia tidak terikat dengan lembaga sosial dan instusi apapun dalam menyelesaikan sengketa para pihak. Mediator jenis ini berasal dari masyarakat yang dipilih oleh para pihak untuk menyelesaikan sengketa mereka. Ia betul-betul bebas dari pengaruh mana pun, sehingga ia sangat leluasa menjalankan tugas mediasi. Mediator jenis ini sengaja diminta oleh para pihak, karena memiliki kapasitas dan skill dalam penyelesaian sengketa. Umumnya tipe mediator ini berasal dari tokoh masyarakat, tokoh adat atau ulama yang cukup berpengalaman dalam menyelesaikan sengketa.
Independensi mediator tidak hanya dari sisi lembaga dan keberadaannya dalam masyarakat, tetapi juga indenpenden dalam menjembatani, menegosiasi, dan mencari opsi bagi penyelesaian sengketa para pihak. Ia menjaga imparsialitas dan netralitas dari pengaruh mana pun termasuk dari para pihak. Mediator jenis ini semata-mata memfokuskan diri pada upaya strategis yang dapat diambil untuk mengakhiri sengketa para pihak. Mediator independen sangat bebas melakukan kreasi untuk menciptakan sejumlah opsi, tanpa tergantung pada pihak mana pun.

i)                    Tahapan Proses Mediasi
a)      Tahap pembentukan forum
Pada awal mediasi, sebelum rapat antara mediator dan para pihak, mediator menciptakan atau membentuk forum, setelah forum terbentuk, diadakan rapat bersama.
Mediator memberi tahu kepada para pihak mengenal bentuk dari proses, menjelaskan aturan dasar, bekerja berdasar hubungan perkembangan dengan para pihak dan mendapat kepercayaan sebagai pihak netral, dan melakukan negosiasi mengenai wewenangnya dengan para pihak, menjawab pertanyaan para pihak, bila para pihak sepakat melanjutkan perundingan, para pihak diminta komitmen untuk mentaati aturan yang berlaku.
b)      Tahap pengumpulan dan pembagian informasi
Setelah tahap awal selesai, maka mediator meneruskannya dengan mengadakan rapat bersama, dengan meminta pernyataan atau penjelasan pendahuluan pada masing-masing pihak yang bersengketa. Pada tahap informasi, para pihak yang mediator dalam acara bersama. Apabila para pihak setuju meneruskan mediasi, mediator kemudian mempersilakan masin-masing pihak menyajikan versinya mengenai fakta dan patokan yang diambil dalam sengketa tersebut.
Mediator boleh mengajukan pertanyaan untuk mengembangkan informasi, tetapi tidak mengijinkan pihak lain untuk mengajukan pertanyaan atau melakukan intruksi apaun. Mediator memberi setiap pihak dengan pendapat mengenai versinya atas sengketa tersebut.
Mediator harus melakukan kualifikasi fakta yang telah disampaikan, karena fakta yang disampaikan para pihak merupakan kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh masing-masing pihak agar pihak lain menyetujuinya. Para pihak dalam menyampaikan fakta memiliki gaya dan versi yang berbeda-beda, ada yang santai, ada yang emosi, ada yang tidak jelas, ini semua harus diperhatikan oleh mediator. Kemudian dilanjutkan dengan diskusi terhadap informasi yang disampaikan oleh masing-masing pihak, mediator secara netral membuat kesimpulan atas penyajian masing-masing pihak, mengulangi fakta-fakta esensial menyangkut setiap perspektif atau patokan mengenai sengketa.
c)      Tahap penyelesaian masalah
Selama tahap tawar-menawar atau perundingan penyelesaian problem, mediator bekerja dengan para pihak secara bersama-sama dan kadang terpisah, menurut keperluannya, guna membantu para pihak merumuskan permasalahan, menyusun agenda untuk membahas masalah dan mengevaluasi solusi. Pada tahap ketiga ini terkadang mediator mengadakan “caucus” dengan masing-masing dalam mediasi. Suatu caucus merupakan  pertemuan sendiri para pihak pada satu sisi dengan mediator. Mediator menggunakan caucus (bilik kecil) untuk mengadakan pertemuan pribadi dengan para pihak secara terpisah, dalam hal ini mediator dapat melakukan tanya jawab secara mendalam dan akan memperoleh informasi yang tidak diungkapkan pada suatu kegiatan mediasi bersama.
Mediator juga dapat membantu suatu pihak untuk menentukan alternatif-alternatif untuk menyelesaikannnya, mengeksplorasi serta mengevaluasi pilihan-pilihan, kepentingan dan kemungkinan penyelesaian secara lebih terbuka. Apabila mediator akan mengadakan caucus, harus menjelaskan penyelenggaraan caucus ini kepada para pihak, menyusun perilaku mediator sehubungan dengan caucus yang mencakup kerahasiaan yaitu mediator tidak akan mengungkapkan apapun pada pihak lain, kecuali sudah diberi wewenang untuk itu, hal ini untuk menjaga netralitas dari mediator dan akan memperlakukan yang sama pada para pihak.
d)     Tahap pengambilan keputusan
Dalam tahap ini para pihak saling bekerja sama dengan bantuan mediator untuk memilih solusi yang dapat disepakati bersama atau setidaknya solusi yang dapat diterima terhadap masalah yang diidentifikasi. Setelah para pihak mengidentifikasi solusi yang mungkin, para pihak harus memutuskan sendiri apa yang mereka setujui dan sepakati. Akhirnya para pihak yang sepakat berhasil membuat keputusan bersama, yang kemudian dituangkan dalam bentuk perjanjian. Mediator dapat membantu untuk menyusun ketentuan-ketentuan yang akan dimuat dalam perjanjian agar seefisien mungkin, sehingga tidak ada keuntungan para pihak yang tertinggal di dalam perundingan.
Syarat menjadi mediator sebagaimana diatur dalam pasal 10 ayat (4) Peraturan Pemerintah nomor 54 tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan sebagai berikut:
·         Cakap melakukan tindakan hukum.
·         Berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun;
·         Memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di bidang lingkungan hidup paling sedikit 15 (lima belas) tahun untuk arbiter dan paling sedikit 5 (lima) tahun untuk mediator atau pihak ketiga lainnya;
·         Tidak ada keberatan dari masyarakat dan

·         Memiliki keterampilan untuk melakukan perundingan atau penengahan.
Read More

Post Top Ad

Your Ad Spot