Knowledge Is Free

Hot

Sponsor

Kamis, 27 Oktober 2016

Makalah Landasan Hukum Pendidikan Kewarganegaraan

Oktober 27, 2016





A. LATAR BELAKANG PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

Mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warga Negara Indonesia yang cerdas, terampil dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945. Perkembangan kehidupankenegaraan Indonesia mengalami perubahan yang sangat besar terutama berkaitan dengan gerakan reformasi, serta perubahan Undang-undang termasuk amandemen UUD 1945 serta Tap MPR NO.XVIII/MPR/1998, yang menetapkan mengembalikan kedudukan Pancasila pada kedudukan semula, sebagai dasar filsafat Negara.

Hal ini menimbulkan penafsiran yang bermacam-macam, akibatnya akhir-akhir ini bangsa Indonesia menghadapi krisis ideologi.Dampak yang cukup serius atas manipulasi Pancasila oleh para penguasa pada masalampau. Dewasa ini banyak kalangan elit politik serta sebagian masyarakat beranggapan bahwa Pancasila merupakan label politik Orde Baru sehingga mengembangkan serta mengkaji Pancasila dianggap akan mengembalikan kewibawaan Orde Baru. Pandangan yang sinis serta upaya melemahkan peranan ideologi Pancasila pada era Reformasi dewasa ini akan sangat berakibat fatal bagi bangsa Indonesia yaitu melemahnya kepercayaan rakyat terhadap ideologi negara yang kemudian pada gilirannya akanmengancam persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang telah lama dibina, dipelihara serta didambakan bangsa Indonesia sejak dahulu.Olehkarena itu, agar kalangan intelektual terutama mahasiswa sebagai calon pengganti pemimpin bangsa di masa mendatang memahami makna serta kedudukan Pancasilayang sebenarnya maka harus dilakukan suatu kajian yang bersifat ilmiah. Berhubung banyaknya bahasan yang mencakup Pancasila maka penulis hanya membahas Pancasila sebagai Sistem Filsafat dan Ideologi bangsa Indonesia.

B.Landasan Hukum Pendidikan Kewarganegaraan

1. UUD 1945

a. Pembukaan UUD 1945, alinea kedua dan keempat (cita-cita, tujuan dan aspirasi Bangsa Indonesia tentang kemerdekaanya).

b. Pasal 27 (1), kesamaan kedudukan Warganegara di dalam hukum dan pemerintahan.
c. Pasal 27 (3), hak dan kewajiban Warganegara dalam upaya bela negara.
d. Pasal 30 (1), hak dan kewajiban Warganegara dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.
e. Pasal 31 (1), hak Warganegara mendapatkan pendidikan.
2. UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
3. Surat Keputusan Dirjen Dikti Nomor 43/DIKTI/Kep/2006 tentang Rambu-Rambu Pelaksanaan Kelompok Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi.
C. Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan
Berdasarkan Keputusan DIRJEN DIKTI No. 43/ DIKTI/ Kep/ 2006, tujuan pendidikan kewarganegaraan adalah dirumuskan sebagai visa, misi dan kopetensisebagai berikut.Visipendidikan kewarganegaraan di perguran tinggiadalah merupakan sumber nilai dan pedoman dalam pengembangan dan penyelenggaraan program studi, gunamengantarkan mahasisiwa memantapkan kepribadianya sebagai manusia seutuhnya.Misi pendidikan kewarganegaraan di perguruan tinggi adalah untuk membantumahasiswa memantapkan kepribadianya, agar secara konsisten mampu mewujudkannilai-nilai dasar pancasila, rasa kebangsaan dan cinta tanah air dalam menguasai,menerapkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni dengan rasatanggung jawab dan bermoral.
Berdasarkan pendapat para ahli maupun dari pengertian secara umum hingga mendetail untuk menambah pengetahuan maupun wawasan .

Menurut Branson (1999:7) tujuan civic education adalah partisipasi yang bermutu dan bertanggung jawab dalam kehidupan politik dan masyarakat baik tingkat lokal, negara bagian, dan nasional. Tujuan pembelajaran PKn dalam Depdiknas (2006:49) adalah untuk memberikan kompetensi sebagai berikut:

a. Berpikir kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu Kewarganegaraan.

b. Berpartisipasi secara cerdas dan tanggung jawab, serta bertindak secara sadar dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
c. Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat di Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lain.
d. Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam peraturan dunia secara langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan yang dikemukakan oleh Djahiri (1994/1995:10) adalah sebagai berikut:a. Secara umum. Tujuan PKn harus ajeg dan mendukung keberhasilan pencapaian Pendidikan Nasional, yaitu : “Mencerdaskan kehidupan bangsa yang mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya. Yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti yang luhur, memiliki kemampuan pengetahuann dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”.b. Secara khusus. Tujuan PKn yaitu membina moral yang diharapkan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari yaitu perilaku yang memancarkan iman dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam masyarakat yang terdiri dari berbagai golongan agama, perilaku yang bersifat kemanusiaan yang adil dan beradab, perilaku yang mendukung kerakyatan yang mengutamakan kepentingan bersama diatas kepentingan perseorangan dan golongan sehingga perbedaan pemikiran pendapat ataupun kepentingan diatasi melalui musyawarah mufakat, serta perilaku yang mendukung upaya untuk mewujudkan keadilan sosial seluruh rakyat Indonesia.Sedangkan menurut Sapriya (2001), tujuan pendidikan Kewarganegaraan adalah :
Partisipasi yang penuh nalar dan tanggung jawab dalam kehidupan politik dari warga negara yang taat kepada nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar demokrasi konstitusional Indonesia. Partisipasi warga negara yang efektif dan penuh tanggung jawab memerlukan penguasaan seperangkat ilmu pengetahuan dan keterampilan intelektual serta keterampilan untuk berperan serta. Partisipasi yang efektif dan bertanggung jawab itu pun ditingkatkan lebih lanjut melalui pengembangan disposisi atau watak-watak tertentu yang meningkatkan kemampuan individu berperan serta dalam proses politik dan mendukung berfungsinya sistem politik yang sehat serta perbaikan masyarakat.
Tujuan umum pelajaran PKn ialah mendidik warga negara agar menjadi warga negara yang baik, yang dapat dilukiskan dengan “warga negara yang patriotik, toleran, setia terhadap bangsa dan negara, beragama, demokratis, dan Pancasila sejati” (Somantri, 2001:279).

Djahiri (1995:10) mengemukakan bahwa melalui Pendidikan Kewarganegaraan siswa diharapkan :

a. Memahami dan menguasai secara nalar konsep dan norma Pancasila sebagai falsafah, dasar ideologi dan pandangan hidup negara RI.

b. Melek konstitusi (UUD NRI 1945) dan hukum yang berlaku dalam negara RI.
c. Menghayati dan meyakini tatanan dalam moral yang termuat dalam butir diatas.
d. Mengamalkan dan membakukan hal-hal diatas sebagai sikap perilaku diri dan kehidupannya dengan penuh keyakinan dan nalar.
Secara umum, menurut Maftuh dan Sapriya (2005:30) bahwa, Tujuan negara mengembangkan Pendiddikan Kewarganegaraan agar setiap warga negara menjadi warga negara yang baik (to be good citizens), yakni warga negara yang memiliki kecerdasan (civics inteliegence) baik intelektual, emosional, sosial, maupun spiritual; memiliki rasa bangga dan tanggung jawab (civics responsibility); dan mampu berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat.
Setelah menelaah pemahaman dari tujuan Pendidikan Kewarganegaraan, maka dapat saya simpulkan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan berorientasi pada penanaman konsep Kenegaraan dan juga bersifat implementatif dalam kehidupan sehari – hari. Adapun harapan yang ingin dicapai setelah pengajaran Pendidikan Kewarganegaraan ini, maka akan didapatkan generasi yang menjaga keutuhan dan persatuan bangsa.

Read More

Makalah Pengertian Metodologi Islam (Metodologi Pemahaman Islam)

Oktober 27, 2016


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang

Kehadiran agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw diyakini dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin. Petunjuk-petunjuk agama mengenai berbagai kehidupan manusia, sebagaimana terdapat di dalam sumber ajarannya, Alquran dan Hadis, tampak amat ideal dan agung. Islam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bersikap seimbang dalam memenuhi kebutuhan material dan spiritual, senantiasa mengembangkan kepedulian sosial, menghargai waktu, bersikap terbuka, demokratis, berorientasi pada kualitas, egaliter, kemitraan, anti-feodalistik, mencintai kebersihan, mengutamakan persaudaraan, berakhlak mulia dan bersikap positif lainnya. Menurut Fazlur Rahman secara eksplisit dasar ajaran Alquran adalah moral yang memancarkan titik beratnya pada monoteisme dan keadilan sosial. Tesis ini dapat dilihat misalnya pada ajaran tentang ibadah yang penuh dengan muatan peningkatan keimanan, ketaqwaan yang diwujudkan dalam akhlak yang mulia.





BAB II
PEMBAHASAN

A.    Kegunaan Metodologi
Sejak kedatangan islam pada abad ke-13 M. Hingga saat ini, fenomena pemahaman keislaman umat islam Indonesia masih ditandai oleh keadaan amat variatif. Kondisi pemahaman keislaman serupa ini barangkali terjadi pula di berbagai negara lainnya. Kita tidak tahu persis apakah kondisi demikian itu merupakan sesuatu yang alami yang harus diterima sebagai suatu kenyataan untuk diambil hikmahnya, ataukah diperlukan adanya standar umum yang perlu diterapkan dan diberlakukan kepada berbagai paham keagamaan yang variatif itu, sehingga walaupun keadaannya amat bervariasi tetapi tidak keluar dari ajaran yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah serta sejalan dengan data data historis yang dapat dipertanggung jawabkan keabsahannya.
Kita meliahat bahwa Ilmu Fiqih misalnya pernah menjadi primadona dan mendapatkan perhatian cukup besar. Akibat dari keadaan demikian, segala masalah yang ditanyakan kepadanya selalu dilihat dari paradigma Ilmu Fiqih. Ketika kepadanya ditanyakan tentang bagaimana caranya mengatasi masalah pelacuran misalnya, maka jawabannya adalah dengan cara memusnahkan tenpat-tempat pelacuran tersebut, karena dianggap tempat maksiat. Padahal dengan cara tersebut tidak akan memecahkan masalah, karena masalah pelacuran bukan sekedar masalah keagamaan yang memerlukan ketetapan hukumnya melainkan masalah ketenaga kerjaan , kesenjangan sosial, struktur sosial, sistem perokonomian, dan sebagainya, yang dalam cara mengatasinya memerlukan keterlibatan orang lain.
Pada tahun berikutnya, pernah juga menjadi primadona masyarakat adalah ilmu kalam (Teologi), sehingga setiap masalah yang dihadapinya selalu dilihat dari paradigma Teologi. Lebih dari itu Teologi yang dipelajarinyapun hanya berpusat pada paham Asy’ari dan Maturidiah (Sunni), sedangkan paham lainnya dianggap paham sesat. Akibat dari keadaan demikian, maka tidak terjadi dialog, keterbukaan, saling menghargai, dan sebagainya.
Setelah itu muncul juga paham keislaman bercorak tasauf yang sudah mengambil bentuk tarikat yang terkesan kurang menampilkan pola hidup yang seimbang antara duniawi dan urusan ukhrawi. Dalam tasauf ini, kehidupan dunia terkesan diabaikan. Umat terlaau mementingkan urusan akhirat, sedangkang urusan dunia terbengkalai. Akiat keadaan umat menjadi mundur dalam bidang kedunia, materi dan fasilitas hidup lainya.
Dari beberapa contoh pemahana keislaman di atas, kita dapat memperoleh kesan bahwa hingga saat ini pemahaman Islam yang terjadi di masyarakat bercorak parsial, belum utuh dan belum pula komprehensif. Dan sekalipun kita menjumpai adanya pemahan Islam yang sudah utuh dan komprehensif, namun semua itu belum tersosialisasikan secara merata keseluruh masyarakat islam. Pemahaman islam baru diserap oleh sebagian sarjana yang secara kebetulan membaca karya-karya mereka dengan sikap terbuka.
Pemahaman keislaman tersebut jelas tidak membuat yang bersangkutan keluar dari islam dan daoat kita maklumi, karena sebagai akibat dari proses pengajaran islam yang belum tersusun secara sistematik dan belum disampaikan menurut prinsip, pendekatan dan metode yang direncanakan dengan baik. Namun, untuk kepentingan akademis dan untuk mebuat islam lebih responsif dan fungsional dalam memandu perjalanan umat serta menjawab berbagai masalah yang dihadapi saat ini, diperlukan metode yang dapat menghasilkan pemahaman Islam yang utuh dan komprehensif. Dalam hubungan ini Mukti Ali pernah mengatakan bahwa metodologi adalah masalah yang sangat penting dalam sejarah pertumbuhan ilmu.
Kita mengetahui bahwa pada abad pertengahan, Eropa menghabiskan waktu seribu tahun dalam keadaan stagnasi dan masa bodoh. Tetapi stagnasi dan masa bodoh itu lalu menjadi kebangkitan revolusioner yang multifaset dalam bidang sains, seni, sastra, dan semua wilayah hidup dan kehidupan manusia dan sosial. Revolusi yang mendadak dan energi yang meledak dalam pemikiran manusia itu menghasilkan peradaban dan kebudayaab dewasa ini. Kita harus bertanya pada diri kita mengapa orang mandeg sampai seribu tahun, dan apa yang terjadi pada dirinya yang menyebabkan perubahan mendadak, ia bangkit dan bangun, sehingga dalam wakru seribu tahun Eropa menemukan kebenaran-kebenaran yang tidak mereka peroleh dalam seluruh waktu seribu tahun. Mengapa keadaan terjadi, telah dicarikan jawaban oleh para ahli.
Al-syari’ati (1933-1977), seorang sarjana Iran meninggal di rantau yaitu di Inggris menyatakan bahwa faktor utama yang menyebabkan kemandengan dan stagnasi dalam pemikiran, peradaban, dan kebudayaan yang berlangsung hingga seribu tahun di Eropa pada abad pertengahan adalah metode pemikiran analogi dari Aristoteles. Di kala cara melihat objek itu berubah, maka sains, masyarakat, dan dunia juga berubah, dan sebagai akibatnya kehidupan manusia juga berubah. Dengan demikian kita dapat mengetahui dan memahami pentingnya metodologi sebagai faktor fundamental dalam renaissans.
Oleh karena itu, metode memiliki peranan yang sangat penting dalam kemajuan dan kemunduran. Demikian pentingnya metodologi ini, Mukti Ali mengatakan bahwa yang menetukan dan membawa stagnasi dan masa kebodohan atau kemajuan bukanlah karena ada atau tidak adanya orang-orang yang jenius, melainkan karena metode penilitian dan cara melihat sesuatu. Untuk itu kita dapat mengabil contoh yang terjadi pada abad keempat belas, lima belas, dan enam belas Masehi. Aristoteles (384-322 SM.) sudah barang tentu jauh lebih jenius dari Francis Bacon (1561-1626), dan Plato (366-347 SM.) adalah lebih jenius dari Roger Bacon (1214-1294). Pertanyaannya apakah penyebab yang menyebabjan dua orang Bacon itu menjadi faktor dalam kemajuan sains, sekalipun kedua orang itu jauh lebih rendah jeniusnya dibandingkan dengan Plato dan Aristoteles, sedangkan orang-orang jenius itu tidak bisa membangkitkan Eropa abad pertengahan, bahkan menyebabkan stagnasi dan kemandegan? Dengan perkataan lain, mengapa orang-orang jenius menyebabkan kemandegan dan stagnasi di dunia, sengakan orang-orang yang biasa saja dapat membawa kemajuan-kemajuan ilmiah dab kebangkitan rakyat? Mukti Ali menjawab sebabnya adalah karena orang-orang yang biasa-biasa saja itu menemukan metode berpikir yang benar dan utuh, sekalipun kecerdasannya biasa, mereka dapat menemukan kebenaran. Sedangkan pemikir-pemikir jenius besar, apabila tidak mengetahui metode yang benar dalam melihat sesuatu dan memikirkan masalah-masalahnya maka mereka tidak akan dapat memanfaatkan kejeniusannya.
Selain itu penguasaan metode yang tepat dapat menyebabkan seseorang mengembangkan ilmu yang dimilikinya. Sebaliknya mereka yang tidak menguasai metode hanya akan menjadi konsumen ilmu, dan bukan menjadi produsen. Para lulusan Perguruan Tinggi Islam, khususnya pada jenjang strata 1 masih dinilai lemah dalam menguasai metodologi. Hal demikian terlihat pada saat yang bersangkutan menulis karya ilmiah secara skripsi.
Sementara itu kita mengetahui bahwa secara teoritis pada mahasiswa telah diberikan berbagai teori dan metode yang berkaitan dengan pemahaman dan pengembangan suatu ilmu , namun teori dan metode tersebut hanya sebagai pengetahuan dan bahan hafalan. Tak ubahnya dengan seseorang yang diajarkan teknik dan metode bermain bola yang baik mulai dari cara menendang, menyerang, bertahan, dan menggolkan. Namun sayang mereka tidak pernah diajak ke lapangan untuk bermain bola dan menerapkan teknik dan metode bermain bola tersebut. Demikian pula kita melihat para mahasiswa mempelajari usul fiqh yang didalamnya memuat kaidah dan metode dalam menetapkan suatu hukum, namun mahasiswa tidak pernah dilatih menetapkan suatu hukum, walaupun pada tingkat yang sederhana.
B.     Studi Islam
Di kalangan para ahli masih terdapat perdebatan di sekitar permasalahan apakah studi Islam (agama) dapat dimasukkan ke dalam bidang ilmu pengetahuan, mengingat sifat dan karakteristik antara ilmu pengetahuan dan agama berbeda. Pembahasan di sekitar permasalah ini banyak dikemukan oleh para pemikir islam belakangan ini. Amin Abdullah, misalnya mengatakan jika penyelenggaraan dan penyampaian Islamic Studies atau Dirasah Islamiyah hanya mendengar dakwah keagamaan di dalam kelas, lalu apa bedanya dengan kegiatan pengajian dan dakwah yang sudah ramai diselenggarakan di luar bangku sekolah? Merespon sinyalemen tersebut, menurut Amin Abdullah, pangkal otak kesulitan pengembangan scope wilayah kajian Islamic Studies atau Dirasah Islamiyah berakar dari kesukaran seorang agamawan untuk membedakan agama yang normativitas dan historisitas. Pada daratan normativitas kelihatan Islam kurang pas untuk dikatakan sebagai disiplin ilmu, sedangkan untuk daratan historitas nampaknya tidaklah sah.
Pada daratan normativitas studi islam agaknya masih banyak terbebani oleh misi keagamaan yang bersifat memihak, romantis, dan apologis, sehingga kadar muatan analisis, kritis, metodologis, historis, empiris, terutama dalam menelaah teks-teks atau naskah-naskah keagamaan produk sejarah terdahulu kurang begitu ditonjolkan, kecuali dalam lingkungan para peneliti tertentu yang masih sangat terbatas.
Dengan demikian secara sederhana dapat ditemukan jawabannya bahwa dilihat dari segi normatif sebagaimana yang terdapat dalam Alquran dan hadist, maka islam lebih merupakan agama yang tidak dapat diberlakukan kepadanya paradigma ilmu pengetahuan, yaitu paradigma analitis, kritis, metodologis, historis, dan empiris. Sebagaimana agama, Islam lebih bersifat memihak, romantis, apologis, dan subjektif, sedangkan jika dilihat dari segi historis, yakni islam dalam arti yang dipraktikkan oleh manusia serta tumbuhan dan berkembang dalam sejarah kehidupan manusia, maka islam dapat dikatakan sebuah disiplin ilmu, yakni ilmu Keislaman atau Ilsam Studies.
Perbedaan dalam melihat islam yang seperti itu dapat menimbulkan perbedaan dalam menjelaskan islam itu sendiri. Ketika Islam dilihat dari sudut normatif, islam merupaka agama yang dalamnya berisi ajaran Tuhan yang berkaitan dengan urusan akidah dan muamalah, sedangkan Islam ketika dilihat dari sudut historis atau sebagaimana yang tampak dalam masyarakat, Islam tampil sebagai sebuah disiplin ilmu (Islamic Studies).
Selanjutnya, studi Islam sebagaimana dikemukakan di atas berbeda pula dengan apa yang disebut sebagai sains Islam. Sains Islam sebagaimana dikemukanan Hussein Nasr adalah sains yang dikembangkan oleh kaum Muslimin sejak abad Islam kedua, yang keadaanya sudah tentu merupakan salah satu pencapaian besar dalam peradaban Islam. Selama kurang lebih tujuh ratus tahun, sejak abad kedua hingga kesembilam Masehi, peradaban Islam mungkin merupakan peradaban yang paling produktif dibandingkan peradaban mana pun di wilayah sains, dan sains Islam berada pada garda depan dalam kegiatan, mulai dari kedokteran sampai astronomi.
Dengan demikian saisn Islam mencangkup berbagai pengetahuan modern seperti kedokteran, astronomi, matematika, fisika, dan sebagainya yang dibangun atas arahan nilai-nilai Islami. Sementara studi Islam adalah pengetahuan yang dirumuskan dari ajaran Islam dan dipraktikkan dalam sejarah dan kehidupan manusia, sedangkan pengetahuan agama dalah pengetahuan yang sepenuhnya diambil dari ajaran-ajaran Allah dan Rasul-Nya secara murni tanpa dipengaruhi sejarah, seperti ajaran tentang akidah, ibadah, membaca Alquran, dan akhlak.
Dari tiga kategori ilmu keislaman tersebut, maka muncullah apa yang dikenal dengan Madrasah Diniyah, yaitu lembaga pendidikan yang secara khusus mengajarkan pengetahuan agama, Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah dan Institut Agama Islam yang didalamnya diajarkan studi Islam yang meliputi Tafsir, Hadis, Teologi, Filsafat, Tasawuf, Hukum Islam, Sejarah Kebudayaan Islam,  dan pendidikan Islam, kemudian muncul pula Universitas Islam yang di dalamnya diajarkan berbagai ilmu pengetahuan modern yang bernuansa Islam yang disebut sains Islam.
C.     Metode Memahami Islam
Dalam buku berjudul Tentang Sosiologi islam, karya Ali Syariati, dijumpai uraian singkat mengenai metode memahami yang pada intinya islam harus dilihat dari berbagai dimensi. Dalam hubungan ini, ia mengatakan jika kita meninjau islam dari satu sudut pandang saja, maka yang akan terlihat hanya satu dimensi saja dari gejalanya yang sangat banyak. Mungkin kita berhasil melihatnya secara tepat, namun tidak cukup jika kita ingin memahaminya secara keseluruhan. Buktinya ialah Al-Quran sendiri. Kitab ini memiliki banyak dimensi, sebagiannya telah dipelajari oleh sarjana-sarjana besar sepanjang sejarah. Satu dimensi, misalnya, mengandung aspek-aspek linguistik dan sastra Al-Quran. Para sarjana satra telah mempelajarinya secara terperinci. Dimensi lain terdiri atas tema-tema filosofis dan keimanan Al-Quran yang menjadi bahan pemikiran bagi para filosof serta para teolog hari ini. Dimensi Al-quran lainnya lagi yang belum dikenal ialah dimensi manusiawinya, yang mengandung persoalan historis, sosiologis dan psikologis. Dimensi ini belum banyak dikenal karena sosiologi, psikologi dan ilmu-ilmu manusia memang jauh lebih muda dibandingkan ilmu-ilmu alam. Apalagi ilmu sejarah yang merupakan ilmu termuda di dunia. Namun, yang dimaksudkan dengan ilmu sejarah di sini tidaklah identik dengan data historis ataupun buku-buku sejarah yang tergolong dalam buku-buku tua.
Ali Syariati lebih lanjut mengatakan ada berbagai cara memahami islam. Salah satu cara ialah dengan mengenal Allah dan membandingkan-Nya dengan sesembahan agama lain. Caranya ialah dengan mempelajari Al-Quran dan membandingkannya dengan kitab-kitab samawi (atau kitab-kitab yang dikatakan sebagai samawi ) lainnya. Dengan kata lain ini menggunakan metode perbandingan (komparasi). Dapat dimaklumi, bahwa melalui perbandingan dapat diketahui kelebihan dan kekurangan yang terdapat di antara berbagai yang dibandingkan itu. Namun, sebagaimana diketahui bahwa secara akademis suatu perbandingan memerlukan persyaratan tertentu. Perbandingaan menghendaki objektivitas, tidak ada pemihakan dan semacamnya. Hal ini biasanya sulit dilakukan oleh seseorang yang meyakini kebenaran suatu agama. Dalam dirinya masih terdapat pemihakan pada agama yang dianutnya. Pendekatan komparasi dalam memahami agama baru akan efektif apabila dilakukan oleh orang yang baru mau beragama.
            Ali Syariati juga menawarkan cara memahami islam melalui pendekatan aliran. Dalam hubungan ini ia mengatakan bahwa tugas intelektual hari ini ialah mempelajari dan memahami islam sebagai aliran pemikiran yang membangkitkan kehidupan manusia, perseorangan maupun masyarakat. Dan bahwa sebagai seorang intelek ia memikul amanah demi masa depan umat manusia yang lebih baik. Dia harus menyadari tugas ini sebagai tugas pribadi dan apapun bidang studinya ia harus senantiasa menumbuhkan pemahaman yang segar tentang islam dan tentang tokoh-tokoh besarnya, sesuai dengan bidangnya masing-masing. Karena islam mempunyai berbagai dimensi dan aspek, maka setiap orang dapat meemukan sudut pandangan yang paling tepat sesuai dengan bidangnya. Dengan kata lain Syariati mengajak kepada seluruh intelektual muslim dengan disiplin ilmu yang dimilikinya masing-masing agar digunakan untuk memahami ajaran islam dengan berpedoman pada Al-Quran. Para sosiolog, sebagaimana halnya Ali Syariati sendiri, sejarawan, budayawan, sastrawan dan sebagainya dapat menggunakan keahliannya untuk memahami ajaran islam yang bersumber pada Al-Quran dan Sunnah.
Kemudian Nasruddin Razak juga menawarkan metode memahami islam versinya, ia juga menawarkan metode secara menyeluruh. Menurutnya bahwa memahami islam secara menyeluruh adalah penting walaupun tidak secara detail. Begitulah cara paling minimal untuk memahami agama paling besar sekarang ini agar menjadi pemeluk agama yang mantap dan untuk menumbuhkan sikap hormat bagi pemeluk agama lainnya. Cara tersebut juga di tempuh dalam upaya menghindari kesalahpahaman yang dapat menimbulkan sikap dan pola hidup beragama yang salah pula. Untuk memahami islam secara benar ini, Nasruddin Razak mengusulkan empat cara.
            Pertama, islam harus dipelajari dari sumber yang asli yaitu Al-Quran dan Sunnah. Kekeliruan memahami islam, karena orang hanya mengenalnya dari sebagian ulama dan pemeluknya yang telah jauh dari bimbingan Al-Quran dan Sunnah, atau melalui pengenalan dari sumber kitab-kitab fiqih dan tasawuf yang semangatnya sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Mempelajari islam dengan cara demikian akan menjadikan orang tersebut sebagai pemeluk islam yang sinkretisme, hidup penuh bid’ah dan khurafat
            Kedua, islam harus dipelajari secara integral, tidak dengan cara parsial, artinya ia dipelajari secara menyeluruh sebagai suatu kesatuan yang bulat tidak secra sebagian saja. Memahami islam parsial akan membahayakan, menimbulkan skeptis, bimbang dan penuh keraguan.
            Ketiga, islam perlu dipelajari melalui kepustakaan yang ditulis oleh para ulama besar dan sarjana-sarjana islam, karena pada umumnya mereka memiliki pemahaman islam yang baik, yaitu pemahaman yang lahir dari perpaduan ilmu yang dalam terhadap Al-Quran dan Sunnah dengan pengalaman yang indah dari praktik ibadah yang dilakukan setiap hari.
            Keempat, islam hendaknya dipelajari dari ketentuan normatif teologis yang ada di dalam Al-Quran, baru kemudian dihubungkan dengan kenyataan historis, empiris, dan sosiologis yang ada pada masyarakat. Dengan cara demikian dapat diketahui tingkat kesesuaian atau kesenjangan antara islam yang berada pada dataran normatif teologis yang ada dalam Alquran dengan islam yang ada pada  dataran historis, sosiologis dan empiris. Kesalahan sementara orang mempelajari islam menurut Nasruddin Razak, ialah dengan jalan mempelajari kenyataan umat islam an sich, bukan agama islam yang dipelajarinya. Sikap konservatif sebagai golongan islam, keterbelakangan di bidang pendidikan, keawaman, kebodohan, disintegrasi dan kemiskinan masyarakat islam itulah yang dinilai sebagai islamnya sendiri. Mengambil kesimpulan tentang citra islam berdasarkan sampel yang tidak valid dan tidak representatif dapat menyebabkan wajah islam tampil kurang pas atau bahkan tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Untuk mencitrakan islam misalnya, mengapa tidak pula menyertakan sampel dari kalangan islam yang maju, berpendidikan tinggi, penuh kedamaian, memiliki kekayaan, dan sebagainya.
            Bagaimanapun juga, kajian yang bersifat empiris, historis dan sosiologis tentang islam tetap diperlukan, karena tanpa kajian semacam ini kita tidak akan pernah tau secara pasti, apakah ajaran islam yang diperintahkan untuk diamalkan oleh Alah dan Rasul-Nya sudah benar-benar diamalkan atau belum.
            Metode lain yang diajukan oleh Mukti ali dalam memahami islam adalah metode tipologi. Metode ini oleh para ahli sosiolog di anggap objektif berisi klasifikasi topik dan tema sesuai dengan tipenya, lalu dibandingkan dengan topik dan tema yang mempunyai tipe yang sama. Pendekatan ini digunakan oleh sarjana barat untuk menimba ilmu-ilmu manusia. Dan menurut Mukti Ali metode ini juga dapat digunakan untuk memahami agam islam. Dalam hal agama islam, juga agama-agama lain, kita dapat mengidentifikasikan lima aspek atau ciri dari agam itu, alu dibandingkan dengan aspek dan ciri yang sama dari agama lain, yaitu aspek ketuhanan, aspek kenabian, aspek kitab suci,dan aspek keadaansewaktu munculnya nabidan orang-orang yang di dakwahinya serta individu-individu terpilih yang di hasilkan oleh agama itu.
Agar kita dapat memahami dengan betul ciri-ciri tuhan kita harus kembali kepada Al-qur’an dan hadist nabi serta keterangan para pemikir muslim dalam bidang itu. Hal ini di lakukan karena sifat-sifat tuhan dengan jelas telah diterangkan dalam Al-qur’an oleh Nabi Muhammad, dan para ulama pun telah membahas dengan teliti masalah ini. Lalu kita bandingkan konsep tentang Allah dengan tuhan agama-agama lain, seperti Ahuramazda, Yahweh dan sebagainya.
Metode berikutnya dalam memahami islam dengan mempelajari pribadi muhammad bin abdullah .Mengetahui dan memahami Nabi Muhammad Saw. sangat penting bagi ahli sejarah, karena tidak ada seorang pun dalam sejarah umat manusia yang mempunyai peranan yang begitu besar seperti nabi Muhammad.




BAB III
KESIMPULAN

Dari uraian tersebut kita melihat bahwa metode yang dapat digunakan untuk memahami islam secara garis besar ada dua macam. Pertama, metode komparasi, yaitu suatu cara memahami agama dengan membandingkan seluruh aspek yang ada dalam agam islam tersebut dengan agama lainnya,dengan cara demikian akan dihasilkan pemahaman islam yang objektif dan utuh. Kedua, metode sintesis, yaitu suatu cara memahami islam yang memadukan antara metode ilmiah dengan segala cirinya yang rasional, objektif, kritis, dan seterusnya dengan metode teologis normatif. Metode ilmiah digunakan untuk memahami islam yang tampak dalam kebanyakan historis, empiris, dan sosiologis, sedangkan metode teologis normatif digunakan untuk memahami islam yang terkandung dalam kitab suci. Melalui metode teologis normatif ini seseorang memulainya dari meyakini islam sebagai agama yang mutlak benar. Hal ini didasarkan pada alasan, karena agama berasal dari tuhan dan apa yang berasal dari tuhan mutlak benar, maka agama pun mutlak benar. Setelah itu di lanjutkan dengan melihat agama sebagaimana norma ajaran yang berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan manusia yang secara kesuluruhan diyakini amat ideal. Melalui metode teologis normatif yang tergolong tua usianya ini dapat dihasilkan keyakinan dan kecintaan yang kuat, kokoh, dan militan pada islam, sedangkan dengan metode ilmiah yang dinilai sebagai tergolong muda usianya ini dapat dihasilkan kemampuan menerapkan islam yang diyakini dan dicintai itu dalam kenyataan hidup serta memberi jawaban terhadap berbagai permasalahan yang dihadapi manusia.
Metode-metode yang digunakan untuk memahami islam itu suatu saat mungkin dipandang tidak cukup lagi, sehingga diperlukan pendekatan baru yang terus digali oleh para pembaru.
Perjalanan sejarah islam sampai kini telah melampaui kurun waktu lima belas abad dan dipeluk oleh dua puluh satu miliar orang serta berada dimana-mana. Pemikiran islam dapat diibaratkan sebagai sungai yang besar dan panjang. Lumrah jika sumber mata airnya yang semula bening dan jernih serta mengalir pada alur sempit dan deras dalam perjalanannya menuju muara kian melebar, berliku-liku dan bercabang-cabang, airnya kian pekat karena mengangkut pula lumpur dan sampah. Riam-riam ini berfungsi sebagai sumber energi. Riam-riam inilah yang dimisalkan sebagai mujaddid (pembaru) yang bukan saja berperan membersihkan kembali pemahaman islam, tetapi juga menyuntikkan semangat dan kekuatan baru yang berangkat dari spirit ajaran islam.











DAFTAR PUSTAKA

Nata, Abuddin, metodologi studi islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012).
Read More

Selasa, 18 Oktober 2016

Makalah Tatacara Beracara Secara Prodeo (Beracara di Pengadilan Agama)

Oktober 18, 2016


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah

Pengadilan Agama sebagai badan pelaksana kekuasaan kehakiman memiliki tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya, hal ini sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No.14 Tahun 1970 termasuk di dalamnya menyelesaikan perkara voluntair (penjelasan pasal 2 ayat (1) tersebut). Dalam hal ini Pengadilan Agama hanya menerima pengajuan Gugatan atau Permohonan bagi orang-orang beragama Islam.

Dalam pengajuan perkara di Pengadilan Agama, Penggugat atau Pemohon dapat mendaftarkannya ke Kepaniteraan Pengadilan Agama melalui Meja I untuk menaksir panjar biaya perkara serta membayarnya di kasir sekaligus menyerahkan surat gugatan atau permohonan, kemudian menghadap pada Meja II dengan menyerahkan surat Gugatan atau Permohonan untuk diserahkan kepada wakil Panitera untuk disampaikan kepada Ketua Pengadilan Agama melalui Panitera.
Menariknya, sebagian masyarakat yang tidak memiliki pemahaman yang cukup mengenai beracara di pengadilan. Bagi masyarakat yang berekonomi rendah, mereka juga enggan untuk beracara di pengadilan dikarenakan biayanya yang sedikit tinggi sehingga tidak sedikit perceraian yang tidak memiliki akta cerai yang sah.
Berlandaskan permasalahan tersebut menarik perhatian penulis untuk membahas bagaimana pedoman beracara di Pengadilan Agama.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Permohonan.
Permohonan adalah suatu surat permohonan yang didalamnya berisi tuntutan hak perdata oleh suatu pihak yang berkepentingan terhadap suatu hal yang tidak mengandung sengketa, sehingga badan peradilan yang mengadili dapat dianggap suatu proses peradilan yang bukan sebenarnya. Permohonan diajukan kepada Ketua Pengadilan Agama di tempat tinggal Pemohon secara tertulis yang ditandatangani oleh Pemohon atau kuasanya yang sah (Pasal 6 ayat (5) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974) akan tetapi apabila pemohon tidak dapat membaca dan menulis dapat mengajukan permohonannya secara lisan di hadapan Ketua Pengadilan Agama, permohonan tersebut dicatat oleh Ketua atau Hakim yang ditunjuk hal tersebut berdasarkan Pasal 120 HIR atau Pasal 144 RBg.
            Adapun jenis-jenis permohonan yang dapat di ajukan di pengadilan agama antara lain:
a)      Permohonan pengangkatan wali bagi anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua (Pasal 50 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan).
b)      Permohonan pengangkatan waliataupengampu bagi orang dewasa yang kurang ingatannya atau orang dewasa yang tidak bisa mengurus hartanya lagi, misalnya karena pikun (Pasal 229 HIRatauPasal 262 RBg).
c)      Permohonan dispensasi kawin bagi pria yang belum mencapai umur 19 tahun dan bagi wanita yang belum mencapai umur 16 tahun (Pasal 7 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974).
d)     Permohonan izin kawin bagi calaon mempelai yang belum berusia 21 tahun (Pasal 6 ayat (5) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974).
e)      Permohonan pengangkatan anak (Penjelasan Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006.
f)       Permohonan untuk menunjuk seorang atau beberapa orang wasit (arbiter) oleh karena para pihak tidak bisa atau tidak bersedia untuk menunjuk wasit (arbiter) (Pasal 13 dan 14 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa).
g)      Permohonan sita atas harta bersama tanpa adanya gugatan cerai dalam hal salah satu dari suami istri melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk, boros dan sebagainya (Pasal 95 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam).
h)      Permohonan izin untuk menjual harta bersama yang berada dalam status sita untuk kepentingan keluarga (Pasal 95 ayat (2) dan Pasal 171 Kompilasi Hukum Islam)
Permohonan penetapan ahli waris (Penjelasan Pasal 49 huruf (b) Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006.
B.     Pengertian Gugatan
Gugatan adalah suatu surat yang di ajukan oleh penguasa pada ketua pengadilan agama yang erwenag, yang memuat tuntutan hak yang didalamnya mengandung suatu sengketa dan merupakan landasan dasar pemeriksaan perkara dan suatu pembuktian kebenaran suatu hak. Gugatan diajukan secara tertulis yang ditandatangani oleh Penggugat atau kuasanya dan ditujukan kepada Ketua Pengadilan Agama hal tersebut di atur dalam Pasal 118 ayat (1) HIRatau Pasal 142 ayat (1) RBg). Sama halnya dengan permohon, apabila penggugat tidak dapat membaca dan menulis dapat mengajukan gugatannya secara lisan di hadapan Ketua Pengadilan Agama, selanjutnya Ketua Pengadilan Agama atau Hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Agama mencatat gugatan. Hal tersebut diatur dalam Pasal 120 HIRatau Pasal 144 RBg.
C.    Tata Cara Beracara Secara Prodeo
Dalam proses beracara dalam pengadilan, pemerintah memberikan kemudahan bagi masyarakat yang memiliki ekonomi rendah dengan menggratiskan proses mereka selama beracara dalam pengadilan. Adapun cara untuk bisa beracara secara prodeo antara lain:
1.      Bagi penggugat atau Pemohon yang tidak mampu, dapat mengajukan permohonan berperkara secara prodeo bersamaan dengan surat gugatanatau permohonan, baik secara tertulis atau lisan.
2.      Apabila Tergugatatau Termohon selain dalam bidang perkawinan juga mengajukan permohonan berperkara secara prodeo, maka permohonan itu disampaikan pada waktu menyampaikan jawaban atas gugatan Penggugat atau Pemohon. (Pasal 238 ayat (2) HIR atau Pasal 274 ayat (2) RBg).
3.   Pihak yang tidak mampu harus melampirkan surat keterangan tidak mampu dari Kepala Desa atau Kelurahan atau yang setingkat (Banjar, Nagari dan Gmpong) (Pasal 60 B Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009) atau surat keterangan sosial lainnya.
4.   Majelis Hakin yang telah ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah untuk menangani perkara tersebut melakukan sidang insidentil dan membuat putusan sela tentang dikabulkan atau tidak dikabulkannya permohonan perkara secara prodeo setelah sebelumnya memberikan kesempatan kepada pihak lawan untuk menanggapi permohonan tersebut.
5.   Putusan Sela tersebut dimuat secara lengkap di dalam Berita Acara Persidangan.
6.   Dalam hal permohonan berperkara secara prodeo tidak dikabulkan, Penggugat atau Pemohon diperintahkan membayar panjar biaya perkara dalam jangka waktu 14 hari setelah dijatuhkan putusan Sela yang jika tidak dipenuhi maka gugatan atau permohonan tersebut dicoret dari daftar perkara.
7.   Contoh amar Putusan Sela:
a)   Permohonan berperkara prodeo dikabulkan:
-     Memberi izin kepada Pemohonatau Penggugat untuk berperkara secara prodeo.
-     Memerintahkan kedua belah pihak untuk melanjutkan perkara.
b)   Permohonan berperkara secara prodeo tidak dikabulkan:
-     Tidak memberi izin kepada Pemohon atau Penggugat untuk berperkara secara prodeo.
-     Memerintahkan kepada Pemohonatau Penggugat untuk membayar panjar biaya perkara.
8.   Dalam hal berperkara secara prodeo dibiayai negara melalui DIPA Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah, maka jumlah biaya beserta rinciannya harus dicantumkan dalam amar putusan. Contoh : Biaya yang timbul dalam perkara ini sejumlah Rp....... dibebankan kepada negara.
9.   Perihal pemberian izin beracara secara prodeo ini berlaku untuk masing-masing tingkat peradilan secara sendiri-sendiri dan tidak dapat diberikan untuk semua tingkat peradilan sekaligus.
10. Permohonan beracara secara prodeo dapat juga diajukan untuk tingkat banding dan kasasi.

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu:
1.      Berperkara secara prodeo adalah   berperkara secara cuma-cuma atau tampa biaya didepan pengadilan, dalam berperkara secara prodeo, maka pihak yang ingin  berperkara  secara  prodeo  harus membuktikan  bahwa  dirinnya  benar- benar tidak mampu, sehinnga pihak pengadilan  memberikan surat penetapan berperkara secara prodeo.
2.      Prosedur   permohonan   berprodeo   atau   berperkara   cuma-cuma   ini   pada prinsipnnya harus melampirkan surat permohonan untuk berperkara secara prodeo   harus   melampirkan   surat   keterangan   tidak   mampu   pada   saat mengajukan gugatan dipengadilan yang ditujukan kepada ketua pengadilan dan selanjutnya dlakukan pemeriksaan secara prodeo. Dan selanjutnya dilakukan pemeriksaan, apakah perkara tersebut dapat dilakukan secara prodeo.
3.      Syarat-syarat  dari  permintaan  secara  cuma-cuma  itu  adalah  harus  disertai dengan surat keterangan tidak mempu, berasal dari kepala desa, yang meliputi wilayah hukum tempat tinggal, si peminta dan menerangkan bahwa orang tersebut benar-benar tidak mampu.






Read More

Post Top Ad

Your Ad Spot