Knowledge Is Free

Hot

Sponsor

Sabtu, 16 Januari 2016

MAKALAH SEJARAH PERKEMBANGAN FIQH DARI MASA KERAJAAN SAMPAI MASA REFORMASI DI INDONESIA

Januari 16, 2016 0





A.    Perkembangan Fiqh di Kerajaan-Kerajaan Islam Di Nusantara

Sebelum kemerdekaan, wilayah nusantara masih dikuasai oleh kerajaan-kerajaan yang besar dan terkenal. Sebelum kedatangan Islam, kerajaan tersebut masih menganut kepercayaan hindu atau budha. Akan tetapi, setelah abad ke-13, Islam mulai masuk ke Indonesia melalui jalur perdagangan yang dibawa oleh pedagang-pedagang yang berasal dari timur tengah dan berkembang begitu pesat[1].
Berikut perkembangan hukum islam di kerajaan-kerajaan islam di nusantara.

1.     
Perkembangan hukum islam di sumatera

Pada pertengahan abad ke-13, di Sumatera telah berdiri kerajaan Islam Samudera Pasai yang merupakan kerajaan Islam pertama di Indonesia, kerajaan ini terletak di pesisir timur laut aceh yang sekarang merupakan wilayah Kabupaten Lhouksumawe. Samudera Pasai adalah sebuah kerajaan maritim, samudera pasai telah mengadakan hubungan dengan Sultan Delhi di India pada pelayaran kerajaan Samudra Pasai merupakan pusat studi agama Islam dan tempat berkumpulnya para ulama dari berbagai negara Islam[2].

a.       Kerajaan Samudera Pasai
Samudera pasai merupakan kerajaan islam pertama di indonesia, kerajaan ini di didirikan sekitar abad pertengahan abad ke-13 sebagai hasil proses islamisasi daerah-daerah pantai yang peernah disinggahi pedagang-pedagang muslim asing sejak abad ke-7, ke-8 M, dan seterusnya. Lahirnya kerajaan samodera pasai merupakan tonggak sejarah, sekaligus cikal bakal di daerah-daerah lain di nusantara sehingga dimasa  berikutnya lahir kerajaan islam.
Mazhab hukum islam yang berkembang di kerajaan samudera pasai yaitu mazhab syafi’i. Dari pasai inilah tersebar mazhab syafi’inke kerajaanlainnya di di indonesia.
b.      Kerajaan Aceh
Setelah kerajaan samudera pasai ditaklukan oleh portugis sekitar tahun 1512, kerajaan itu berada di bawah pengaruh kesultanan aceh yang berpusat di bandar aceh begawan. Sama halnya dengan pasai, aceh juga menjadi tempat yang strategis.
Mazhab hukum islam yang berkembang dikerajaan aceh adalah mazhab Syafi’i yang pada masa pemerintahan sultan iskandar muda memiliki seorang mufti terkemuka bernama syekh abdul ra’uf singkel. Selain itu juga terdapat seorang ulama besar nuruddin arraini dengan karyanya sebuah kitab siratul musthaqim. Kitab tersebut di gunakan sebagai madia penyebaran islam dan sebagai pedoman bagi guru-guru agama. (Warkum sumitro 2004 : 18)
2.      Perkembangan hukum islam di jawa
Perkembangan di Jawa tidak bisa dipisahkan dari peranan wali, jumlah wali yang terkenal sampai sekarang adalah sembilan, yang dalam bahasa dikenal dengan sebutan wali songo[3]. Para wali yang termasuk dalam wali songo adalah sebagai berikut.
a.       Kerajaan Demak
Demak merupakan kerajaan islam pertama yang ada di jawa. Raja yang pertama berkuasa adalah Raden Patah. Peninggallan kerajaan demak yang hingga kini masih miliki nilai historisbagi agama islam yakni masjid demak. Selain sebagai narasumber hukum islam yang berkaitan dengan dengan masalah-masalah kehidupan dalam masyarakat. Di kerajaan demak juga terdapat jema’ah islam yang sangat besar pegaruhya dan dapat mengadakan hubungan denaagn pusat-pusat islam internasional di luar negeri, seperti di mekkah dan turki.
b.      Kerajaan Mataram
Lahirnya kerajaan mataram merupakan anugerah dari raja pajang yakni Sultan Adi Wijaya kepada kepada Ki Gede pamanahan karena telah berhasil menumpas pemberontakan aria panangsang.
Sebelum sultan agung berkuasa hukum islam tidak banyak berpengaruh dikalangan kerajaan. Pada masa sultan agung mulai hidup dan berpengaruh besar di kerajaan tersebut. Hal tersebut dapat di buktikan denagn berubahnya tata hukum di mataram yang mengadili perkara-perkara yang membahayakan keselamatan kerajaan.
c.       Kerajaan Cirebon
Cirebon merupakan kerajaan islam pertama di jawa barat. Tome Peres menyebutkan bahwa islam sudah ada di cirebon sekitar tahun 1470-1475M orang yang berhasil meningkatkan status cirebon menjadi kerajaan yaitu Syarif Hidayat yang terkenal dengan sunan gunung jati dialah pendiri kerajaan cirebon.
Hukum  islam di kerajaan cirebon dapat berkembang dengan baik, terutama hukum-hukum yang berhubungan dengan masalah kekeluargaan. Di bawah pengaruh dan kepemimpinan fatahillah, seorang tokoh wali sanga, hukum islam di kerajaan cirebon mengalami perkembagan yang pesat. Pesatnya perkembanagn islam dan kuatnya pengaruh hukum islam di sana, lapangan hukum terrtentu mampu menggeser hukum jawa kuno sebagai hukum asli penduduk setempat.
d.      Kerajaan Banten
Banten sudah menjadi kata penting sejak sebelum islam datang ke Indonesia, yaitu saat banten berada dalam kekuasaan raja-raja sunda, bahkan mngkin sebelumnya. Dalam cerita parahyangan (tulisan sunda kuno) terdapat nama wahanten girang. Nama itu dapat dihubungkan dengan nama banten,sebuah kota pelabuhan di ujung barat pantai utara jawa.
Pada masa pemerintahan dipegang oleh yusuf tercatat seorang ulama yang ikut didalam gerakan perlawanan terhadap pakuan. Orang itu bernama “ molana Judah” ( dari Jeddah arab) berkat jasa ulama dari Jeddah itulah hokum islam di banten dapat berkembang dengan baik.
Perkembangan hukum islam yang baik di banten itu diteruskan oleh Muhammad sebagai penguasa kerajaan banten ketiga. Bahkan atas ajakan pangeran mas, Muhammad telah melakukan ekspedisi bersenjata kepalembang guna memperluas daerah islam. Keberhasilan politk dari kerajaan banten untuk penyebaran islam itu mekipun  menurut certa dilakukan dengan kekerasan, ternyata memiliki pengaruh yang besar bagi perluasan daerah raja-raja islam di jawa tengah dan jawa timur. Dengan demikian, di dalam sejarah tercatat sederetan kerajaan islam di jawa timur dan jawa tengah.

e.       Kerajaan Tuban
Tuban merukan kota yang terletak di utara jawa timur, karena keadaan geografisnya, kemudian di jadikan pelabuhan yang kurang penting jika di bandingan dengan gresik. Meski demikian, diduga sejak zaman dahulu tuban menjadi kedudukan penguasa-penguasa yang kuat. Oleh karena itu, tuban juga menjadi kota yang terkenal dan penting didaerah pantai utara jawa timur.
Para ulama yang muncl di tuban antara lain Raden Rahmat yang kemudian dikenal sebagai sunan khatib ngampel Surabaya. Sekitar abad  ke-17 dan ke-18 kota tuban dianggap tidak memiliki arti  di bidang politik dan ekonomi. Namun demikian, kota tuban masih dikenal sebagai tempat bermukim para ulama besar, antara lain haji Ahmad Mustaqim dan kemudian terdokumentasi didalm tulisan jawa yang dikenal dengan nama  “serat cabolek”.
3.      Perkembangan hukum islam di sulawesi
Masuknya islam di Sulawesi tidak terlepas dari peranan Sunan Giri di Gresik. Hal itu karena Sunan Giri menyelenggarakan pesantren yang banyak didatangi oleh santri dari luar Jawa, seperti ternate dan hiu. Pada abad ke-16 di sulsel telah berdiri kerajaan hindhu gowa dan tallo. Penduduknya banyak yang memeluk agama islam karena hubungannya dengan kesultanan Ternate[4].
4.      Perkembangan hukum islam di Kalimantan
Pada abad ke-16, islam mulai memasuki kerajaan Sukadana. Dibagian selatan Kalimantan berdiri kerajaan islam banjar pada sekitar tahun 1526. Pangeran Suriansyah merupakan tokoh yang amat penting dalam sejarah islam di Kalimantan. Dalam usaha mengembangkan islam/ Syekh muhamad arsyad al-Banjari mendirikan pondok pesantren untuk menampung santri yang datang dari berbagai pelosok Kalimantan. Pada masa berikutnya muncul seorang pahlawan Kalimatan yang sangat berjasa dalam mengembangkan islam. Ia adalah sultan amirudin khalifatul mukminin. Yang lebih dikenal nama pangeran Antasar[5]i.
5.      Perkembangan hukum islam di Maluku dan Irian Jaya
Penyebaran islam di Maluku tidak lepas dari jasa para santri Sunan Drajat yang berasal dari Ternate dan Hitu. Di Maluku ada 4 kerajaan bersaudara yang berasal dari keturunan yang sama yaitu Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo. Raja Tidore masuk islam dan mengganti nama menjadi Sultan Jamalludin. Demikian juga raja Jailolo, ia masuk isalm dan mengganti nama menjadi Sultan Hassanudin. Peran kesultanan Ternate dalam penyebaran islam baru dimulai pada masa Sultan Zaenal Abidin. Ia juga berhasil mengambangkan islam ke Maluku dan Irian Jaya bahkan sampai ke Filipina.

B.     Hukum Islam Pada Masa Pra Penjajahan Belanda
Akar sejarah hukum Islam di kawasan nusantara menurut sebagian ahli sejarah dimulai pada abad pertama hijriyah, atau pada sekitar abad ketujuh dan kedelapan masehi. Sebagai gerbang masuk ke dalam kawasan nusantara, kawasan utara pulau Sumatera-lah yang kemudian dijadikan sebagai titik awal gerakan dakwah para pendatang muslim. Secara perlahan, gerakan dakwah itu kemudian membentuk masyarakat Islam pertama di Peureulak, Aceh Timur. Berkembangnya komunitas muslim di wilayah itu kemudian diikuti oleh berdirinya kerajaan Islam pertama di Tanah air pada abad ketiga belas. Kerajaan ini dikenal dengan nama Samudera Pasai. Ia terletak di wilayah Aceh Utara.
Pengaruh dakwah Islam yang cepat menyebar hingga ke berbagai wilayah nusantara kemudian menyebabkan beberapa kerajaan Islam berdiri menyusul berdirinya Kerajaan Samudera Pasai di Aceh. Tidak jauh dari Aceh berdiri Kesultanan Malaka, lalu di pulau Jawa berdiri Kesultanan Demak, Mataram dan Cirebon, kemudian di Sulawesi dan Maluku berdiri Kerajaan Gowa dan Kesultanan Ternate serta Tidore.
Kesultanan-kesultanan tersebut sebagaimana tercatat dalam sejarah, itu tentu saja kemudian menetapkan hukum Islam sebagai hukum positif yang berlaku. Penetapan hukum Islam sebagai hukum positif di setiap kesultanan tersebut tentu saja menguatkan pengamalannya yang memang telah berkembang di tengah masyarakat muslim masa itu. Fakta-fakta ini dibuktikan dengan adanya literatur-literatur fiqh yang ditulis oleh para ulama nusantara pada sekitar abad 16 dan 17. Dan kondisi terus berlangsung hingga para pedagang Belanda datang ke kawasan nusantara.

C.    Hukum Islam Pada Masa Penjajahan Belanda
Cikal bakal penjajahan Belanda terhadap kawasan nusantara dimulai dengan kehadiran Organisasi Perdagangan Dagang Belanda di Hindia Timur, atau yang lebih dikenal dengan VOC. Sebagai sebuah organisasi dagang, VOC dapat dikatakan memiliki peran yang melebihi fungsinya. Hal ini sangat dimungkinkan sebab Pemerintah Kerajaan Belanda memang menjadikan VOC sebagai perpanjang tangannya di kawasan Hindia Timur. Karena itu disamping menjalankan fungsi perdagangan, VOC juga mewakili Kerajaan Belanda dalam menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan. Tentu saja dengan menggunakan hukum Belanda yang mereka bawa[6].
Dalam kenyataannya, penggunaan hukum Belanda itu menemukan kesulitan. Ini disebabkan karena penduduk pribumi berat menerima hukum-hukum yang asing bagi mereka. Akibatnya, VOC pun membebaskan penduduk pribumi untuk menjalankan apa yang selama ini telah mereka jalankan.
Kaitannya dengan hukum Islam, dapat dicatat beberapa perundingan yang dilakukan oleh pihak VOC, yaitu:
·         Dalam Statuta Batavia yang ditetapkan pada tahun 1642 oleh VOC, dinyatakan bahwa hukum kewarisan Islam berlaku bagi para pemeluk agama Islam.
·         Adanya upaya kompilasi hukum kekeluargaan Islam yang telah berlaku di tengah masyarakat. Upaya ini diselesaikan pada tahun 1760. Kompilasi ini kemudian dikenal dengan Compendium Freijer.
·         Adanya upaya kompilasi serupa di berbagai wilayah lain, seperti di Semarang, Cirebon, Gowa dan Bone.
Di Semarang, misalnya, hasil kompilasi itu dikenal dengan nama Kitab Hukum Mogharraer (dari al-Muharrar). Namun kompilasi yang satu ini memiliki kelebihan dibanding Compendium Freijer, dimana ia juga memuat kaidah-kaidah hukum pidana Islam.
Pengakuan terhadap hukum Islam ini terus berlangsung bahkan hingga menjelang peralihan kekuasaan dari Kerajaan Inggris kepada Kerajaan Belanda kembali. Setelah Thomas Stanford Raffles menjabat sebagai gubernur selama 5 tahun (1811-1816) dan Belanda kembali memegang kekuasaan terhadap wilayah Hindia Belanda, semakin nampak bahwa pihak Belanda berusaha keras untuk berkuasa di wilayah ini. Namun upaya itu menemui kesulitan akibat adanya perbedaan agama antara sang penjajah dengan rakyat jajahannya, khususnya umat Islam yang mengenal konsep dar al-Islam dan dar al-harb. Itulah sebabnya, Pemerintah Belanda mengupayakan ragam cara untuk menyelesaikan masalah itu. Diantaranya dengan
1.      Menyebarkan agama Kristen kepada rakyat pribumi,
2.      Membatasi keberlakuan hukum Islam hanya pada aspek-aspek batiniah (spiritual) saja.
Bila ingin disimpulkan, maka upaya pembatasan keberlakuan hukum Islam oleh Pemerintah Hindia Belanda secara kronologis adalah sebagai berikut :
1.      Pada pertengahan abad 19, Pemerintah Hindia Belanda melaksanakan Politik Hukum yang Sadar; yaitu kebijakan yang secara sadar ingin menata kembali dan mengubah kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum Belanda.
2.      Atas dasar nota disampaikan oleh Mr. Scholten van Oud Haarlem, Pemerintah Belanda menginstruksikan penggunaan undang-undang agama, lembaga-lembaga dan kebiasaan pribumi dalam hal persengketaan yang terjadi di antara mereka, selama tidak bertentangan dengan asas kepatutan dan keadilan yang diakui umum. Klausa terakhir ini kemudian menempatkan hukum Islam di bawah subordinasi dari hukum Belanda.
3.      Atas dasar teori resepsi yang dikeluarkan oleh Snouck Hurgronje, Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1922 kemudian membentuk komisi untuk meninjau ulang wewenang pengadilan agama di Jawa dalam memeriksa kasus-kasus kewarisan (dengan alasan, ia belum diterima oleh hukum adat setempat).
4.      Pada tahun 1925, dilakukan perubahan terhadap Pasal 134 ayat 2 Indische Staatsregeling  (yang isinya sama dengan Pasal 78 Regerringsreglement), yang intinya perkara perdata sesama muslim akan diselesaikan dengan hakim agama Islam jika hal itu telah diterima oleh hukum adat dan tidak ditentukan lain oleh sesuatu ordonasi.
Lemahnya posisi hukum Islam ini terus terjadi hingga menjelang berakhirnya kekuasaan Hindia Belanda di wilayah Indonesia pada tahun 1942.

D.    Hukum Islam pada Masa Pendudukan Jepang
Setelah Jendral Ter Poorten menyatakan menyerah tanpa syarat kepada panglima militer Jepang untuk kawasan Selatan pada tanggal 8 Maret 1942, segera Pemerintah Jepang mengeluarkan berbagai peraturan. Salah satu diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942, yang menegaskan bahwa Pemerintah Jepang meneruskan segala kekuasaan yang sebelumnya dipegang oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda. Ketetapan baru ini tentu saja berimplikasi pada tetapnya posisi keberlakuan hukum Islam sebagaimana kondisi terakhirnya di masa pendudukan  Belanda.
Meskipun demikian, Pemerintah Pendudukan Jepang tetap melakukan berbagai kebijakan untuk menarik simpati umat Islam di Indonesia. Diantaranya adalah:
1.      Janji Panglima Militer Jepang untuk melindungi dan memajukan Islam sebagai agama mayoritas penduduk pulau Jawa.
2.      Mendirikan Shumubu (Kantor Urusan Agama Islam) yang dipimpin oleh bangsa Indonesia sendiri.
3.      Mengizinkan berdirinya ormas Islam, seperti Muhammadiyah dan NU.
4.      Menyetujui berdirinya Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) pada bulan oktober 1943.
5.      Menyetujui berdirinya Hizbullah sebagai pasukan cadangan yang mendampingi berdirinya PETA.
6.      Berupaya memenuhi desakan para tokoh Islam untuk mengembalikan kewenangan Pengadilan Agama dengan meminta seorang ahli hukum adat, Soepomo, pada bulan Januari 1944 untuk menyampaikan laporan tentang hal itu. Namun upaya ini kemudian “dimentahkan” oleh Soepomo dengan alasan kompleksitas dan menundanya hingga Indonesia merdeka
Dengan demikian, nyaris tidak ada perubahan berarti bagi posisi hukum Islam selama masa pendudukan Jepang di Tanah air. Namun bagaimanapun juga, masa pendudukan Jepang lebih baik daripada Belanda dari sisi adanya pengalaman baru bagi para pemimpin Islam dalam mengatur masalah-masalah keagamaan. Abikusno Tjokrosujoso menyatakan bahwa, Kebijakan pemerintah Belanda telah memperlemah posisi Islam. Islam tidak memiliki para pegawai di bidang agama yang terlatih di masjid-masjid atau pengadilan-pengadilan Islam. Belanda menjalankan kebijakan politik yang memperlemah posisi Islam. Ketika pasukan Jepang datang, mereka menyadari bahwa Islam adalah suatu kekuatan di Indonesia yang dapat dimanfaatkan[7].
E.     Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan (1945)
Meskipun Pendudukan Jepang memberikan banyak pengalaman baru kepada para pemuka Islam Indonesia, namun pada akhirnya, seiring dengan semakin lemahnya langkah strategis Jepang memenangkan perang yang kemudian membuat mereka membuka lebar jalan untuk kemerdekaan Indonesia, Jepang mulai mengubah arah kebijakannya. Mereka mulai “melirik” dan memberi dukungan kepada para tokoh-tokoh nasionalis Indonesia. Dalam hal ini, nampaknya Jepang lebih mempercayai kelompok nasionalis untuk memimpin Indonesia masa depan. Maka tidak mengherankan jika beberapa badan dan komite negara, seperti Dewan Penasehat (Sanyo Kaigi) dan BPUPKI (Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai) kemudian diserahkan kepada kubu nasionalis. Hingga Mei 1945, komite yang terdiri dari 62 orang ini, paling hanya 11 diantaranya yang mewakili kelompok Islam. Atas dasar itulah, Ramly Hutabarat menyatakan bahwa BPUPKI “bukanlah badan yang dibentuk atas dasar pemilihan yang demokratis, meskipun Soekarno dan Mohammad Hatta berusaha agar aggota badan ini cukup representatif mewakili berbagai golonga dalam masyarakat Indonesia”.
Perdebatan panjang tentang dasar negara di BPUPKI kemudian berakhir dengan lahirnya apa yang disebut dengan Piagam Jakarta. Kalimat kompromi paling penting Piagam Jakarta terutama ada pada kalimat “Negara berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Menurut Muhammad Yamin kalimat ini menjadikan Indonesia merdeka bukan sebagai negara sekuler dan bukan pula negara Islam.
Dengan rumusan semacam ini sesungguhnya lahir sebuah implikasi yang mengharuskan adanya pembentukan undang-undang untuk melaksanakan Syariat Islam bagi para pemeluknya. Tetapi rumusan kompromis Piagam Jakarta itu akhirnya gagal ditetapkan saat akan disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI. Ada banyak kabut berkenaan dengan penyebab hal itu. Tapi semua versi mengarah kepada Mohammad Hatta yang menyampaikan keberatan golongan Kristen di Indonesia Timur. Hatta mengatakan ia mendapat informasi tersebut dari seorang opsir angkatan laut Jepang pada sore hari taggal 17 Agustus 1945. Namun Letkol Shegeta Nishijima satu-satunya opsir AL Jepang yang ditemui Hatta pada saat itu- menyangkal hal tersebut. Ia bahkan menyebutkan justru Latuharhary yang menyampaikan keberatan itu. Keseriusan tuntutan itu lalu perlu dipertanyakan mengingat Latuharhary bersama dengan Maramis, seorang tokoh Kristen dari Indonesia Timur lainnya- telah menyetujui rumusan kompromi itu saat sidang BPUPKI.
Pada akhirnya, di periode ini, status hukum Islam tetaplah samar-samar. Isa Ashary mengatakan, kejadian mencolok mata sejarah ini dirasakan oleh umat Islam sebagai suatu ‘permainan sulap’ yang masih diliputi kabut rahasia…suatu politik pengepungan kepada cita-cita umat Islam.
Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan Periode Revolusi Hingga Keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1950. Selama hampir lima tahun setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia memasuki masa-masa revolusi (1945-1950). Menyusul kekalahan Jepang oleh tentara-tentara sekutu, Belanda ingin kembali menduduki kepulauan Nusantara. Dari beberapa pertempuran, Belanda berhasil menguasai beberapa wilayah Indonesia, dimana ia kemudian mendirikan negara-negara kecil yang dimaksudkan untuk mengepung Republik Indonesia. Berbagai perundingan dan perjanjian kemudian dilakukan, hingga akhirnya tidak lama setelah Linggarjati, lahirlah apa yang disebut dengan Konstitusi Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949.
Dengan berlakunya Konstitusi RIS tersebut, maka UUD 1945 dinyatakan berlaku sebagai konstitusi Republik Indonesia yang merupakan satu dari 16 bagian negara Republik Indonesia Serikat.
Konstitusi RIS sendiri jika ditelaah, sangat sulit untuk dikatakan sebagai konstitusi yang menampung aspirasi hukum Islam. Mukaddimah Konstitusi ini misalnya, samasekali tidak menegaskan posisi hukum Islam sebagaimana rancangan UUD 1945 yang disepakati oleh BPUPKI. Demikian pula dengan batang tubuhnya, yang bahkan dipengaruhi oleh faham liberal yang berkembang di Amerika dan Eropa Barat, serta rumusan Deklarasi HAM versi PBB.
Namun saat negara bagian RIS pada awal tahun 1950 hanya tersisa tiga negara saja RI, negara Sumatera Timur, dan negara Indonesia Timur, salah seorang tokoh umat Islam, Muhammad Natsir, mengajukan apa yang kemudian dikenal sebagai “Mosi Integral Natsir” sebagai upaya untuk melebur ketiga negara bagian tersebut. Akhirnya, pada tanggal 19 Mei 1950, semuanya sepakat membentuk kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Proklamasi 1945. Dan dengan demikian, Konstitusi RIS dinyatakan tidak berlaku, digantikan dengan UUD Sementara 1950. Akan tetapi, jika dikaitkan dengan hukum Islam, perubahan ini tidaklah membawa dampak yang signifikan. Sebab ketidakjelasan posisinya masih ditemukan, baik dalam Mukaddimah maupun batang tubuh UUD Sementara 1950, kecuali pada pasal 34 yang rumusannya sama dengan pasal 29 UUD 1945, bahwa “Negara berdasar Ketuhanan yang Maha Esa” dan jaminan negara terhadap kebebasan setiap penduduk menjalankan agamanya masing-masing. Juga pada pasal 43 yang menunjukkan keterlibatan negara dalam urusan-urusan keagamaan. Kelebihan lain dari UUD Sementara 1950 ini adalah terbukanya peluang untuk merumuskan hukum Islam dalam wujud peraturan dan undang-undang. Peluang ini ditemukan dalam ketentuan pasal 102 UUD sementara 1950. Peluang inipun sempat dimanfaatkan oleh wakil-wakil umat Islam saat mengajukan rancangan undang-undang tentang Perkawinan Umat Islam pada tahun 1954. Meskipun upaya ini kemudian gagal akibat “hadangan” kaum nasionalis yang juga mengajukan rancangan undang-undang Perkawinan Nasional. Dan setelah itu, semua tokoh politik kemudian nyaris tidak lagi memikirkan pembuatan materi undang-undang baru, karena konsentrasi mereka tertuju pada bagaimana mengganti UUD Sementara 1950 itu dengan undang-undang yang bersifat tetap.
Perjuangan mengganti UUD Sementara itu kemudian diwujudkan dalam Pemilihan Umum untuk memilih dan membentuk Majlis Konstituante pada akhir tahun 1955. Majelis yang terdiri dari 514 orang itu kemudian dilantik oleh Presiden Soekarno pada 10 November 1956. Namun delapan bulan sebelum batas akhir masa kerjanya, Majlis ini dibubarkan melalui Dekrit Presiden yang dikeluarkan pada tanggal 5 Juli 1959. Hal penting terkait dengan hukum Islam dalam peristiwa Dekrit ini adalah konsiderannya yang menyatakan bahwa “Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni menjiwai UUD 1945” dan merupakan “suatu kesatuan dengan konstitusi tersebut”. Hal ini tentu saja mengangkat dan memperjelas posisi hukum Islam dalam UUD, bahkan menurut Anwar Harjono lebih dari sekedar sebuah “dokumen historis”.
Namun bagaiamana dalam tataran aplikasi? Lagi-lagi faktor-faktor politik adalah penentu utama dalam hal ini. Pengejawantahan kesimpulan akademis ini hanya sekedar menjadi wacana jika tidak didukung oleh daya tawar politik yang kuat dan meyakinkan.
Hal lain yang patut dicatat di sini adalah terjadinya beberapa pemberontakan yang diantaranya “bernuansakan” Islam dalam fase ini. Yang paling fenomenal adalah gerakan DI/TII yang dipelopori oleh Kartosuwirjo dari Jawa Barat. Kartosuwirjo sesungguhnya telah memproklamirkan negara Islamnya pada tanggal 14 Agustus 1945, atau dua hari sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Namun ia melepaskan aspirasinya untuk kemudian bergabung dengan Republik Indonesia. Tetapi ketika kontrol RI terhadap wilayahnya semakin merosot akibat agresi Belanda, terutama setelah diproklamirkannya Negara boneka Pasundan di bawah kontrol Belanda, ia pun memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia pada tahun 1948. Namun pemicu konflik yang berakhir di tahun 1962 dan mencatat 25.000 korban tewas itu, menurut sebagian peneliti, lebih banyak diakibatkan oleh kekecewaan Kartosuwirjo terhadap strategi para pemimpin pusat dalam mempertahankan diri dari upaya pendudukan Belanda kembali, dan bukan atas dasar apa yang mereka sebut dengan “kesadaran teologis-politis”nya.

F.     Hukum Islam di Era Orde Lama dan Orde Baru
Mungkin tidak terlalu keliru jika dikatakan bahwa Orde Lama adalah eranya kaum nasionalis dan komunis. Sementara kaum muslim di era ini perlu sedikit merunduk dalam memperjuangkan cita-citanya. Salah satu partai yang mewakili aspirasi umat Islam kala itu, Masyumi harus dibubarkan pada tanggal 15 Agustus 1960 oleh Soekarno, dengan alasan tokoh-tokohnya terlibat pemberontakan (PRRI di Sumatera Barat). Sementara NU –yang kemudian menerima Manipol Usdek-nya Soekarno. bersama dengan PKI dan PNI kemudian menyusun komposisi DPR Gotong Royong yang berjiwa Nasakom. Berdasarkan itu, terbentuklah MPRS yang kemudian menghasilkan 2 ketetapan, salah satunya adalah tentang upaya unifikasi hukum yang harus memperhatikan kenyataan-kenyataan umum yang hidup di Indonesia. Meskipun hukum Islam adalah salah satu kenyataan umum yang selama ini hidup di Indonesia, dan atas dasar itu Tap MPRS tersebut membuka peluang untuk memposisikan hukum Islam sebagaimana mestinya, namun lagi-lagi ketidakjelasan batasan “perhatian” itu membuat hal ini semakin kabur. Dan peran hukum Islam di era inipun kembali tidak mendapatkan tempat yang semestinya[8].
Menyusul gagalnya kudeta PKI pada 1965 dan berkuasanya Orde Baru, banyak pemimpin Islam Indonesia yang sempat menaruh harapan besar dalam upaya politik mereka mendudukkan Islam sebagaimana mestinya dalam tatanan politik maupun hukum di Indonesia. Apalagi kemudian Orde Baru membebaskan bekas tokoh-tokoh Masyumi yang sebelumnya dipenjara oleh Soekarno. Namun segera saja, Orde ini menegaskan perannya sebagai pembela Pancasila dan UUD 1945. Bahkan di awal 1967, Soeharto menegaskan bahwa militer tidak akan menyetujui upaya rehabilitasi kembali partai Masyumi.


Meskipun kedudukan hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum nasional tidak begitu tegas di masa awal Orde ini, namun upaya-upaya untuk mempertegasnya tetap terus dilakukan. Hal ini ditunjukkan oleh K.H. Mohammad Dahlan, seorang menteri agama dari kalangan NU, yang mencoba mengajukan Rancangan Undang-undang Perkawinan Umat Islam dengan dukungan kuat fraksi-fraksi Islam di DPR-GR. Meskipun gagal, upaya ini kemudian dilanjutkan dengan mengajukan rancangan hukum formil yang mengatur lembaga peradilan di Indonesia pada tahun 1970. Upaya ini kemudian membuahkan hasil dengan lahirnya UU No.14/1970, yang mengakui Pengadilan Agama sebagai salah satu badan peradilan yang berinduk pada Mahkamah Agung. Dengan UU ini, dengan sendirinya menurut Hazairin, hukum Islam telah berlaku secara langsung sebagai hukum yang berdiri sendiri.
Penegasan terhadap berlakunya hukum Islam semakin jelas ketika UU no. 14 Tahun 1989 tentang peradilan agama ditetapkan. Hal ini kemudian disusul dengan usaha-usaha intensif untuk mengompilasikan hukum Islam di bidang-bidang tertentu. Dan upaya ini membuahkan hasil saat pada bulan Februari 1988, Soeharto sebagai presiden menerima hasil kompilasi itu, dan menginstruksikan penyebarluasannya kepada Menteri Agama[9].
G.    Hukum Islam di Era Reformasi
Soeharto akhirnya jatuh. Gemuruh demokrasi dan kebebasan bergemuruh di seluruh pelosok Indonesia. Setelah melalui perjalanan yang panjang, di era ini setidaknya hukum Islam mulai menempati posisinya secara perlahan tapi pasti. Lahirnya Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan semakin membuka peluang lahirnya aturan undang-undang yang berlandaskan hukum Islam. Terutama pada Pasal 2 ayat 7 yang menegaskan ditampungnya peraturan daerah yang didasarkan pada kondisi khusus dari suatu daerah di Indonesia, dan bahwa peraturan itu dapat mengesampingkan berlakunya suatu peraturan yang bersifat umum[10].
Lebih dari itu, disamping peluang yang semakin jelas, upaya kongkrit merealisasikan hukum Islam dalam wujud undang-undang dan peraturan telah membuahkan hasil yang nyata di era ini. Salah satu buktinya adalah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Qanun Propinsi Nangroe Aceh Darussalam tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Nomor 11 Tahun 2002.
Dengan demikian, di era reformasi ini, terbuka peluang yang luas bagi sistem hukum Islam untuk memperkaya khazanah tradisi hukum di Indonesia. Kita dapat melakukan langkah-langkah pembaruan, dan bahkan pembentukan hukum baru yang bersumber dan berlandaskan sistem hukum Islam, untuk kemudian dijadikan sebagai norma hukum positif yang berlaku dalam hukum Nasional kita.













BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Akar  sejarah  hukuIslam di kawasan  nusantara  menurusebagian ahli  sejarah  dimulai  pada  abad  pertama  hijriyah,  atau  pada  sekitar  abad ketujuh dan kedelapamasehi. Sebagai  gerbanmasuk ke dalam kawasan nusantara kawasan  utara  pulau   Sumatera-la yang  kemudian  dijadikan sebagai titik awal gerakan dakwah para pendatang muslim. Pengaruh dakwah Islam yang cepat menyebar hingga ke berbagai wilayah nusantara kemudian menyebabkan beberapa kerajaan Islam berdiri menyusul berdirinya Kerajaan Samudera Pasai di Aceh. Tidak jauh dari Aceh berdiri Kesultanan Malaka, lalu  di  pulau  Jawa  berdiri  Kesultanan   Demak Matara dan  Cirebon, kemudiadi Sulawesi dan Malukberdiri Kerajaan Gowa dan Kesultanan Ternate serta Tidore. Pengaruh dakwah Islam yang cepat menyebar hingga ke berbagai wilayah nusantara kemudian menyebabkan beberapa kerajaan Islam berdiri menyusul berdirinya Kerajaan Samudera Pasai di Aceh. Tidak jauh dari Aceh berdiri Kesultanan Malaka, lalu di pulau Jawa berdiri Kesultanan Demak, Mataram dan Cirebon, kemudian di Sulawesi dan Maluku berdiri Kerajaan Gowa dan Kesultanan Ternate serta Tidore.
Pada masa ini hukum Islam dipraktekkan oleh masyarakat dalam bentuk yang hampir bisa dikatakan sempurna (syumul), mencakup masalah mu’amalah, ahwal al-syakhsiyyah (perkawinan, perceraian dan warisan), peradilan, dan tentu saja dalam masalah ibadah. Hukum Islam juga menjadi sistem hukum mandiri yang digunakan di kerajaan-kerajaan Islam nusantara. Tidaklah berlebihan jika dikatakan pada masa jauh sebelum penjajahan belanda, hukum islam menjadi hukum yang positif di nusantara.



B.  SARAN
Dalam menegakkan syariat islam, para pendahulu harus merintangi jalan berbatu dan berliku. Kita sebagai penerus harus dan sepatutnya mengikuti dan melanjutkan perjuangan mereka.
























DAFTAR PUSTAKA

Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia dan Peranannya dalam Pembinaan Hukum Nasional, Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Jakarta, 2005.
Jimly Ashshiddiqie, Hukum Islam dan Reformasi Hukum Nasional, makalah Seminar Penelitian Hukum tentang Eksistensi Hukum Islam dalam Reformasi Sistem Nasional, Jakarta, 27 September 2000.
Darmawan Rahmat, Perkembangan Islam di Indonesia. (Surabaya: Pustaka Kencana. 1999).
Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2007).
Fatah Syukur, Sejarah Pendidikan Islam, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2012).




[1] Hutabarat, Ramly. Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia dan Peranannya dalam Pembinaan Hukum Nasional. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia. 2005. hlm 61 -62
[2] Darmawan Rahmat, Perkembangan Islam di Indonesia. (Surabaya: Pustaka Kencana. 1999), hlm. 22.
[3] Darmawan Rahmat, Perkembangan Islam di Indonesia. (Surabaya: Pustaka Kencana. 1999), hlm. 30.
[4] Darmawan Rahmat, Perkembangan Islam di Indonesia. (Surabaya: Pustaka Kencana. 1999), hlm. 36.
[5] Darmawan Rahmat, Perkembangan Islam di Indonesia. (Surabaya: Pustaka Kencana. 1999), hlm. 40.
[6] Darmawan Rahmat, Perkembangan Islam di Indonesia. (Surabaya: Pustaka Kencana. 1999), hlm. 56.
[7] Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia dan Peranannya dalam Pembinaan Hukum Nasional, Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Jakarta, 2005. hlm 145
[8] Fatah Syukur, Sejarah Pendidikan Islam, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2012), hlm 138
[9] Samsul Nizar,Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 345.

[10] Jimly Ashshiddiqie, Hukum Islam dan Reformasi Hukum Nasional, makalah Seminar Penelitian Hukum tentang Eksistensi Hukum Islam dalam Reformasi Sistem Nasional, Jakarta, 27 September 2000. hlm 46
Read More

Jumat, 15 Januari 2016

MAKALAH HUMAN TRAFFICKING (PENGERTIAN, FAKTOR, TUJUAN, BENTUK HUMAN TRAFFICKING) (PERDAGANGAN MANUSIA) SERTA UPAYA PENANGGULANGANNYA

Januari 15, 2016


A.    Pengertian Trafficking

Trafficking adalah salah satu bentuk kekerasan yang dilakukan terhadap anak dan juga perempuan, yang menyangkut kekerasan fisik,mental dan atau seksual. Trafficking merupakan perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penampungan atau penerimaan seseorang dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk paksaaan lainnya, penculikan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, ataupun memberi atau menerima bayaran atau manfaat, untuk tujuan eksploitasi seksual, perbudakan atau praktik-praktik lain, pengambilan organ tubuh. Berdasarkan hal ini, dapat diketahui bahwa proses trafficking adalah perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penampungan (penyekapan), penerimaan.

Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) mendefinisikan trafficking sebagai: Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan, atau penerimaan seseorang, dengan ancaman, atau penggunaan kekerasan, atau bentuk-bentuk pemaksaan lain, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, atau memberi atau menerima bayaran atau manfaat untuk memperoleh ijin dari orang yang mempunyai wewenang atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. Sedangkan Global Alliance Against Traffic in Woman (GAATW) mendefinisikan trafficking sebagai semua usaha atau tindakan yang berkaitan dengan perekrutan, pembelian, penjualan, transfer, pengiriman, atau penerimaan seseorang dengan menggunakan penipuan atau tekanan, termasuk pengunaan ancaman kekerasan atau penyalahgunaan kekuasaan atau lilitan hutang dengan tujuan untuk menempatkan atau menahan orang tersebut, baik dibayar atau tidak, untuk kerja yang tidak diinginkan dalam kerja paksa atau dalam kondisi perbudakan, dalam suatu lingkungan lain dari tempat dimana orang itu tinggal pada waktu penipuan, tekanan atau lilitan hutang pertama kali[1].
Perdagangan orang merupakan kejahatan yang keji terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), yang mengabaikan hak seseorang untuk hidup bebas, tidak disiksa, kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, beragama, hak untuk tidak diperbudak, dan lainnya. Anak dan perempuan adalah yang paling banyak menjadi korban perdagangan orang (trafficking in persons), menempatkan mereka pada posisi yang sangat berisiko khususnya yang berkaitan dengan kesehatannya baik fisik maupun mental spritual, dan sangat rentan terhadap tindak kekerasan, kehamilan yang tak dikehendaki, dan infeksi penyakit seksual termasuk HIV/AIDS. Kondisi anak dan perempuan yang seperti itu akan mengancam kualitas ibu bangsa dan generasi penerus bangsa Indonesia.
B.     Faktor-Faktor pendorong terjadinya perdagangan manusia
Faktor utama maraknya trafficking terhadap perempuan dan anak perempuan adalah kemiskinan. Saat ini 37 juta penduduk  indonesia hidup di bawah garis kemiskinan. Sejumlah 83% keluarga perkotaan dan 99% keluarga pedesaan membelanjakan kurang dari Rp 5.000 /hari[2]. Faktor lain adalah:
1.      Pendidikan, 15% wanita dewasa buta huruf dan separuh dari anak remaja tidak masuk sekolah memberikan peluang untuk menjadi korban trafficking.
Kekerasan terhadap perempuan dan anak tidak banyak diketahui hubungan antara kekerasan dalam rumah tanggga dan kekerasan seksual. Tetapi, sekitar separuh, dari anak-anak yang dilacurkan pernah mendapatkan kekerasan seksual
sebelumnya 
2.      Kondisi  sosial budaya keluarga dan masyarakat Indonesia sebagian besar yang patriarkhis. Eksploitasi seksual anak merupakan hal yang sulit apabila sdah terperangkap akan sulit untuk keluar. Menjerumuskan anak pada eksloitasi seksual hanya membutuhkan waktu singkat dan relatif murah tetapimemulihkan mereka dari situasi tersebutmembutuhkan waktu yang lama dan biaya yang besar, terlebih lagi mereka yang mengalami trauma. Anak-anak yang telah memperoleh stigma buruk, sulit diterima masyarakat.
3.      Perubahan globalisasi dunia, Indonesia tidak luput dari pengaruh keterbukaan dan kemajuan diberbagi aspek teknologi, politik,  ekonomi, dan sebagainya. Dan kemajuan tersebut membawa perubahan pula dari segi-segi kehidupan sosial dan budaya dipacu oleh berbagai kemudahan informasi. Berkaitan dengan perkembangan tersebut Indonesia menjadi sasaran perdangangan seks terhadap perempuan dan anak perempuan. Hal ini disebabkan tingkat kesadaran masyarakat masih rendah sehingga peraturan dan hokum lebih lemah untuk menghapuskan eksploitasi seks terhadap perempuan dan anak perempuan[3].

C.    Bentuk-Bentuk Perdagangan Manusia
Ada beberapa bentuk trafiking manusia yang terjadi pada perempuan dan anak-anak. Dan ini seringkali menjadi alasan utama trafficking.
1.      Kerja Paksa Seks & Eksploitasi seks, baik di luar negeri maupun di wilayah Indonesia. Dalam banyak kasus, perempuan dan anak-anak dijanjikan bekerja sebagai buruh migran, PRT, pekerja restoran, penjaga toko, atau pekerjaan-pekerjaan tanpa keahlian tetapi kemudian dipaksa bekerja pada industri seks saat mereka tiba di daerah tujuan. Dalam kasus lain, berapa perempuan tahu bahwa mereka akan memasuki industri seks tetapi mereka ditipu dengan kondisi-kondisi kerja dan mereka dikekang di bawah paksaan dan tidak diperbolehkan  menolak bekerja[4].
2.      Pembantu Rumah Tangga (PRT), baik di luar ataupun di wilayah Indonesia. PRT baik yang di luar negeri maupun yang di Indonesia di trafik ke dalam kondisi kerja yang sewenang-wenang termasuk: jam kerja wajib yang sangat panjang, penyekapan ilegal, upah yang tidak dibayar atau yang dikurangi, kerja karena jeratan hutang, penyiksaan fisik ataupun psikologis, penyerangan seksual, tidak diberi makan atau kurang makanan, dan tidak boleh menjalankan agamanya atau diperintah untuk melanggar agamanya[5].
3.      Bentuk Lain dari Kerja Migran, baik di luar ataupun di wilayah Indonesia. Meskipun banyak orang Indonesia yang bermigrasi sebagai PRT, yang lainnnya dijanjikan mendapatkan pekerjaan yang tidak memerlukan keahlian di pabrik, restoran, industri cottage, atau toko kecil. Beberapa dari buruh migran ini ditrafik ke dalam kondisi kerja yang sewenang-wenang dan berbahaya dengan bayaran sedikit atau bahkan tidak dibayar sama sekali. Banyak juga yang dijebak di tempat kerja seperti itu melalui jeratan hutang, paksaan, atau kekerasan.
4.      Penari, Penghibur & Pertukaran Budaya, terutama di luar negeri. Perempuan dan anak perempuan dijanjikan bekerja sebagai penari duta budaya, penyanyi, atau penghibur di negara asing. Pada saat kedatangannya, banyak dari perempuan ini dipaksa untuk bekerja di industri seks atau pada pekerjaan dengan kondisi mirip perbudakan.
5.      Pengantin Pesanan, terutama di luar negeri. Beberapa perempuan dan anak perempuan yang bermigrasi sebagai istri dari orang berkebangsaan asing, telah ditipu dengan perkawinan. Dalam kasus semacam itu, para suami mereka memaksa istri-istri baru ini untuk bekerja untuk keluarga mereka dengan kondisi mirip perbudakan atau menjual mereka ke industri seks[6].
6.      Beberapa Bentuk Buruh atau Pekerja Anak, terutama di Indonesia. Beberapa (tidak semua) anak yang berada di jalanan untuk mengemis, mencari ikan di lepas pantai seperti jermal, dan bekerja di perkebunan telah ditrafik ke dalam situasi yang mereka hadapi saat ini.
7.      Trafiking/penjualan Bayi, baik di luar negeri ataupun di Indonesia. Beberapa buruh migran Indonesia (TKI) ditipu dengan perkawinan palsu saat di luar negeri dan kemudian mereka dipaksa untuk menyerahkan bayinya untuk diadopsi ilegal. Dalam kasus yang lain, ibu rumah tangga Indonesia ditipu oleh PRT kepercayaannya yang melarikan bayi ibu tersebut dan kemudian menjual bayi tersebut ke pasar gelap[7].

D.    Contoh-Contoh Perdagangan Manusia

1.      Di Maluku Utara misalnya, anak-anak yatim yang menjadi korban kerusuhan, dangan kedok akan disekolahkan ke pondok pesantren, ternyata setiba di tempat tujuan justru di jual dan di perkerjakan sebagai pembantu rumah tangga. Bagi keluarga yang menginginkan anak-anak itu, mereka harus menebus 175 ribu dengan alasan sebagai pengganti biaya perjalanan dari Pulau ke Ternate[8].
2.      Pada tahun 2012, Aceh sempat digemparkan dengan kabar tujuh remaja aceh menjadi korban trafficking yang sebagian besarnya perempuan berusia sekitar 14 sampai 16 tahun. Dalam kasus ini, modus yang dilakukan oleh pelaku adalah, menawarkan wisata ke luar negeri dan kemudian untuk dijadikan pekerja seks komersial. Namun polisi telah berhasil menangkap pelaku dan menyerahkannya kepada kejaksaan dan pengadilan[9].
3.      Komnas Perlindungan Anak juga mensinyalir, sebagian anak-anak pengungsi dari Atambua ternyata diperdagangkan untuk diperkerjakan menjadi PSK (pekerja seks komersail). Sementara itu, di Sulawesi Tengah, seorang ibu dilaporkan tega menjual anak kandungnya yang masih berusia 7 bulan seharga 500 ribu hanya karena alasan ekonomi dan keinginan untuk membeli tape recorder.

E.     Dampak-Dampak Perdagangan Manusia
Para korban perdagangan manusia mengalami banyak hal yang sangat mengerikan. Perdagangan manusia menimbulkan dampak negatif yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan para korban. Tidak jarang, dampak negatif hal ini meninggalkan pengaruh yang permanen bagi para korban.
Dari segi fisik, korban perdagangan manusia sering sekali terjangkit penyakit. Selain karena stress, mereka dapat terjangkit penyakit karena situasi hidup serta pekerjaan yang mempunyai dampak besar terhadap kesehatan. Tidak hanya penyakit, pada korban anak-anak seringkali mengalami pertumbuhan yang terhambat.
Sebagai contoh, para korban yang dipaksa dalam perbudakan seksual seringkali dibius dengan obat-obatan dan mengalami kekerasan yang luar biasa. Para korban yang diperjual-belikan untuk eksploitasi seksual menderita cedera fisik akibat kegiatan seksual atas dasar paksaan, serta hubungan seks yang belum waktunya bagi korban anak-anak. Akibat dari perbudakan seks ini adalah mereka menderita penyakit-penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual, termasuk diantaranya adalah HIV / AIDS. Beberapa korban juga menderita cedera permanen pada organ reproduksi mereka[10].
Dari segi psikis, mayoritas para korban mengalami stress dan depresi akibat apa yang mereka alami. Seringkali para korban perdagangan manusia mengasingkan diri dari kehidupan sosial. Bahkan, apabila sudah sangat parah, mereka juga cenderung untuk mengasingkan diri dari keluarga. Para korban seringkali kehilangan kesempatan untuk mengalami perkembangan sosial, moral, dan spiritual. Sebagai bahan perbandingan, para korban eksploitasi seksual mengalami luka psikis yang hebat akibat perlakuan orang lain terhadap mereka, dan juga akibat luka fisik serta penyakit yang dialaminya. Hampir sebagian besar korban “diperdagangkan” di lokasi yang berbeda bahasa dan budaya dengan mereka. Hal itu mengakibatkan cedera psikologis yang semakin bertambah karena isolasi dan dominasi. Ironisnya, kemampuan manusia untuk menahan penderitaan yang sangat buruk serta terampasnya hak-hak mereka dimanfaatkan oleh “penjual” mereka untuk menjebak para korban agar terus bekerja. Mereka juga memberi harapan kosong kepada para korban untuk bisa bebas dari jeratan perbudakan.

F.     Upaya-Upaya Penanganan Perdagangan Manusia
Perdagangan orang, khususnya perempuan sebagai suatu bentuk tindak kejahatan yang kompleks, tentunya memerlukan upaya penanganan yang komprehensif dan terpadu. Tidak hanya dibutuhkan pengetahuan dan keahlian profesional, namun juga pengumpulan dan pertukaran informasi, kerjasama yang memadai baik sesama aparat penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, hakim maupun dengan pihak-pihak lain yang terkait yaitu lembaga pemerintah (kementerian terkait) dan lembaga non pemerintah (LSM) baik lokal maupun internasional. Semua pihak bisa saling bertukar informasi dan keahlian profesi sesuai dengan kewenangan masing-masing dan kode etik instansi. Tidak hanya perihal pencegahan, namun juga penanganan kasus dan perlindungan korban semakin memberikan pembenaran bagi upaya pencegahan dan penanggulangan perdagangan perempuan secara terpadu. Hal ini bertujuan untuk memastikan agar korban mendapatkan hak atas perlindungan dalam hukum[11].
Dalam pemberantasan tindak pidana tersebut, pemerintah juga dituntut untuk berperan aktif agar praktek perdagangan manusia bisa dihapuskan dan mampu mengangkat harga diri manusia yang seharusnya tidak untuk diperjual belikan. Berikut merupakan upaya pemerintah dalam upaya pencegahan dan mengatasi human trafficking:
1.      Berpedoman pada UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO).
2.      Memperluas sosialisasi UU No. 21 Tahun 2007 tentang PTPPO.
3.      Perlindungan anak (UU No. 23 Tahun 2003).
4.      Pembentukkan Pusat Pelayanan Terpadu (PP No. 9 Tahun 2008 tentang tata cara dan mekanisme pelayanan terpadu bagi saksi atau korban TPPO).
5.      Pemerintah telah menyusun Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Anak (Kepres No. 88/2002).
6.      Pembentukkan Gugus Tugas PTPPO terdiri dari berbagai elemen pemerintah dan masyarakat (PERPRES No. 69 Tahun 2008 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO).
7.      Penyusunan draft Perda Trafficking.
8.      Memberikan penyuluhan kepada warga-warga yang rentan dengan human trafficking.
9.      Memberantas kemiskinan dan memajukan ekonomi masyarakat dipedesaan dengan memberikan pinjaman-pinjaman keuangan kepada masyarakat pedesaan sebagai modal usaha.

















BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Trafficking merupakan permasalahan klasik yang sudah ada sejak kebudayaan manusia itu ada dan terus terjadi sampai dengan hari ini. Penyebab utama terjadinya trafficking adalah kemiskinan dan rendahnya tingkat pendidikan serta keterampilan yang dimiliki oleh masyarakat terutama mereka yang berada di pedesaan, sulitnya lapangan pekerjaan selain itu juga masih lemahnya pelaksanaan hukum di Indonesia tentang perdagangan orang. Situasi ini terbaca oleh pihak calo untuk mengambil manfaat dari keadaan ini dengan mengembangkan praktek trafficking di tempat-tempat yang diindikasikan mudah menjerat para korbannya.
Untuk memberantas dan mengurangi trafficking memerlukan juga kerja sama lintas Negara serta peningkatan kualitas pendidikan dan keterampilan. Selain itu penyedian perangkat hukum yang memadai untuk skala internasional, regional bahkan lokal juga penegakan hukum oleh apart hukum untuk menghambat laju pergerakan jaringan trafficking. Bahkan tindakan pemberian sanksi yang berat terhadap pelaku trafficking dan perlindungan terhadap korban juga harus diperhatikan. Dan yang tak kalah pentingnya dengan sosialisasi isu tentang perdagangan anak dan perempuan terhadap semua komponen masyarakat sehingga masalah ini mendapat perhatian dan menjadi kebutuhan yang mendesak untuk diperjuangkan dan mendapatkan penanganan yang maksimal dari semua pihak.




DAFTAR PUSTAKA
Sumardi. Mulyanto, Kemiskinan dan Kebutuhan Pokok. ( Jakarta: Rajawali 1982)
Winarno Budi, Isu-Isu Global Kontemporer, (Yogyakarta: PT. Buku Seru, 2002)
Komnas Perempuan, Peta Kekerasan Pengalaman Perempuan Indonesia, (Jakarta: Ameepro, 2002)
Luhulima, Achie Sudiarti.. Pemahaman Bentuk- Bentuk tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Alternatif Pemecahannya. (Jakarta: PT. Alumni, 2000)
Syafaat, Rachmad, Dagang Manusia-Kajian Trafficking Terhadap Perempuan dan Anak di Jawa Timur. (Yogyakarta: Lappera Pustaka Utama, 2002)
Rachmat Rejeki .Bisnis Mafia Perdagangan Anak, ( Surabaya: Media PressOctober 1998)
Ihroni Tapi Omas,  Hak Azasi Perempuan Instrumen  Hukum untuk Mewujudkan Keadilan Gender, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,  2005)
Mangku, Made Pastika, Mudji Waluyo, Arief Sumarwoto, dan Ulani Yunus, pecegahan Narkoba Sejak Usia Dini, (Jakarta: Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia, 2007),




[1] Syafaat, Rachmad, Dagang Manusia-Kajian Trafficking Terhadap Perempuan dan Anak di Jawa Timur. (Yogyakarta: Lappera Pustaka Utama, 2002),  hlm 4
[2] Sumardi. Mulyanto, Kemiskinan dan Kebutuhan Pokok. ( Jakarta: Rajawali 1982),  hlm, 21

[3] Winarno Budi, Isu-Isu Global Kontemporer, (Yogyakarta: PT. Buku Seru, 2002), hlm, 46
[4] Luhulima, Achie Sudiarti.. Pemahaman Bentuk- Bentuk tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Alternatif Pemecahannya. (Jakarta: PT. Alumni, 2000), hlm 87
[5] Ihroni Tapi Omas,  Hak Azasi Perempuan Instrumen  Hukum untuk Mewujudkan Keadilan Gender, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,  2005) , hlm73
[6] Komnas Perempuan, Peta Kekerasan Pengalaman Perempuan Indonesia, (Jakarta: Ameepro, 2002), hlm 74
[7] Rachmat Rejeki . Bisnis Mafia Perdagangan Anak, ( Surabaya: Media PressOctober 1998) hlm 36
[8] www.liputan6.com
[10] Mangku, Made Pastika, Mudji Waluyo, Arief Sumarwoto, dan Ulani Yunus, pecegahan Narkoba Sejak Usia Dini, (Jakarta: Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia, 2007), hlm 67
[11] Yentriyani, Andi. Politik Perdagangan Perempuan, (Yogyakarta: Galang Press, 2004), hlm 109
Read More

Rabu, 06 Januari 2016

MAKALAH TAFSIR SURAT AZ-ZARIYAT /51: 28 TENTANG ANAK YANG PINTAR DALAM HAL AGAMA DIDALAM ALQURAN

Januari 06, 2016 0





BAB II
PEMBAHASAN
A.    TAFSIR SURAT ADH-DHARIYAT/51: 28
فَأَوْجَسَ مِنْهُمْ خِيفَةًۖ قَالُواْ لَا تَخَفْۖ وَبَشَّرُوهُ بِغُلَامٍ عَلِيمٍ

a.      Ma’na al-Mufradat
فَأَوْجَسَ     : Menyembunyikan
خِيفَةً           : Rasa takut
بَشَّرُوهُ      : Menyampaikan kabar gembira
b.      Tarjamah
Dan dia menyembunyikan rasa takut terhadap mereka. Mereka berkata, janganlah engkau takut. Dan mereka menyampaikan kabar gembira kepadanya dengan seorang anak yang alim.


B.     Tafsir al-Ayat
Maka dia yakni Nabi Ibrahim  menyembunyikan rasa takut yang hinggap di hatinya terhadap mereka[1]. Melihat sikap Nabi Ibrahim itu, Mereka yakni para tamu yang pada hakikatnya adalah malaikat yang memang tidak memiliki kebutuhan fa’ali (makan, minum dan hubungan seks) berkata, (menenangkan Nabi Ibrahim) “janganlah engkau takut.” Mereka menyam-paikan juga kepada Nabi Ibrahim bahwa mereka adalah malaikat-malaikat utusan Allah yang diutus untuk menemui kaum luth dan disamping itu mereka menyampaikan kabar gembira kepadanya yaitu dengan akan lahirnya  seorang anak yang sangat cerdas dan kelak akan menjadi seorang yang alim yakni sangat dalam pengetahuannya[2] dalam tafsir Ibnu Katsir dikatakan bahwa anak yang dimaksud adalah Ishaq dan Ya’qub setelah Ishaq.

C.    Munasabah al-Ayat bi al-Ayat
فَلَمَّا رَءَآ اَيْدِيْهِمْ لَا تَصِلُ إِلَيْهِ نَكِرَهُمْ وَأَوْجَسَ مِنْهُمْ خِيْفَةً قَالُوا لَاتَخَفْ إِنَّآ أُرْسِلْنَآ إِلَى قَومِ لُوطٍ وَامْرَأَتُهُ قَآئِمَةٌ فَضَحِكَتْ
Artinya:
Maka takala dilihatnya tangan mereka tidak menjamahnya (hidangan yang dihidangkan oleh istri Nabi Ibrahim), Ibrahim memandang aneh perbuatan mereka dan merasa takut kepada mereka, malaikat itu berkata: “jangan kamu takut, sesungguhnya kami adalah (para malaikat) yang diutus kepada kaum Luth. Dan istrinya berdiri (dibalik tirai) seraya tersenyum (Q.S Huud: 70-71)
Didalam ayat menjelaskan bahwa kedatangan para malaikat pada malam itu bukan hanya untuk memberikan kabar kelahiran seorang anak dari mereka melaikat para malaikat memberikan kabar bahwa kebinasaan kaum Luth dan istrinya gembira secara tersenyum dibalik tirai[3].

قَالَتْ يَاوَيْلَتَى ءَأَلِدُ وَأَنَا عَجُوْزٌ وَهاَذَا بَعْلِى شَيْخًاۖ إِنَّ هَاذَا لَشَىْءٌ عَجِيْبٌ
Artinya:
            Sungguh mengherankan, apakah aku akan melahirkan anak padahal aku adalah seorang perempuan tua, dan ini suamiku-pun dalam keadaan yang sudah tua pula? Sesungguhnya ini benar-benar yang sangat aneh.
            Dalam ayat ini, Siti Sarah menanyakan kepastian tentang berita bahwa dia akan mengandung seorang anak dalam keraguannya dikarenakan usianya dan usia suaminya yang sudah terlampau senja[4].
قَالُواْ لَا تَوْجَلْ إِنَّا نُبَشِّرُكَ بِغُلَامٍ عَلِيمٍ
Artinya:
Mereka berkata, dan janganlah kamu merasa takut sesungguhnya kami membawa kabar gembira kepadamu dengan kelahiran seorang anak laki-laki yang menjadi orang yang alim. (Al-Hijr: 52)
Didalam tafsir muyassar disebutkan bahwa, Malaikat Berkata, Jangan lah engkau takut, karena kami datang kepadamu untuk memberikan kabar gembira yaitu tentang kelahiran anak laki-laki[5]  yang dalam pengetahuannya tentang agama (ishaq)[6].



 MAKALAH OLEH: ARIEF RAIHANDI AZKA

D.                Kisah Anak Yang Alim
Dari ayat diatas, kita dapat menyimpulkan bahwa anak yang alim atau anak yang berpengetahuan yang mendalam dari segi agama merupakan dambaan setiap orang tua. Hal ini dilandaskan oleh keinginan atau cita-cita yang dimiliki oleh setiap orang tua adalah anaknya menjadi anak yang shalih dan bermamfaat baik untuk dirinya maupun masyarakat. Berikut akan di ceritakan tentang anak yang sejak kecilnya sudah memiliki kepintaran dan pada usianya yang ke 15 dia sudah di izinkan untuk menjadi mufti bagi kalangan masyarakat sekitarnya.
a.       Muhammad bin Idris (150 H / 204 H)
Muhammad bin Indris atau dikenal dalam kalangan umat muslim dengan Imam As-Syafi’i, beliau adalah seorang ulama besar yang mazhabnya masih berkembang dengan sangat luas khususnya di daerah asia bagian tenggara. Imam As-Syafi’i lahir di Gaza palestina Kebanyakan ahli sejarah berpendapat bahwa Imam Syafi'i lahir di Gaza, Palestina, namun di antara pendapat ini terdapat pula yang menyatakan bahwa dia lahir di Asqalan; sebuah kota yang berjarak sekitar tiga farsakh dari Gaza. Menurut para ahli sejarah pula, Imam Syafi'i lahir pada tahun 150 H, yang mana pada tahun ini wafat pula seorang ulama besar Sunni yang bernama Imam Abu Hanifah.
Beliau tumbuh dan berkembang di kota Makkah, di kota tersebut beliau ikut bergabung bersama teman-teman sebaya belajar memanah dengan tekun dan penuh semangat, sehingga kemampuannya mengungguli teman-teman lainnya. Beliau mempunyai kemampuan yang luar biasa dalam bidang ini, hingga sepuluh anak panah yang dilemparkan, sembilan di antaranya tepat mengenai sasaran dan hanya satu yang meleset[7].
Setelah itu beliau mempelajari tata bahasa arab dan sya’ir sampai beliau memiliki kemampuan yang sangat menakjubkan dan menjadi orang yang terdepan dalam cabang ilmu tersebut. Kemudian tumbuhlah di dalam hatinya rasa cinta terhadap ilmu agama, maka beliaupun mempelajari dan menekuni serta mendalami ilmu yang agung tersebut, sehingga beliau menjadi pemimpin.
Setelah ayah Imam Syafi’i meninggal ketika dua tahun kelahirannya, sang ibu membawanya ke Mekah, tanah air nenek moyang. Ia tumbuh besar di sana dalam keadaan yatim. Sejak kecil Syafi’i cepat menghafal syair, pandai bahasa Arab dan sastra sampai-sampai Al Ashma’i berkata,”Saya mentashih syair-syair bani Hudzail dari seorang pemuda dari Quraisy yang disebut Muhammad bin Idris”.
Di Makkah, Imam Syafi’i berguru fiqh kepada mufti di sana, Muslim bin Khalid Az Zanji sehingga ia mengizinkannya memberi fatwah ketika masih berusia 15 tahun. Demi ia merasakan manisnya ilmu, maka dengan taufiq Allah dan hidayah-Nya, dia mulai senang mempelajari fiqih setelah menjadi tokoh dalam bahasa Arab dan sya’irnya. Remaja yatim ini belajar fiqih dari para Ulama’ fiqih yang ada di Makkah, seperti Muslim bin khalid Az-Zanji yang waktu itu berkedudukan sebagai mufti Makkah. Kemudian beliau juga belajar dari Dawud bin Abdurrahman Al-Atthar, juga belajar dari pamannya yang bernama Muhammad bin Ali bin Syafi’, dan juga menimba ilmu dari Sufyan bin Uyainah.
Setelah belajar di Mekkah, Imam Syafi’i melanjutkan perjalanannya untuk berguru kepada imam Malik bin Anas ke negeri Madinah Al-Munawwarah. Semasa-nya disana, Imam Syafi’i menghafal dan memahami dengan cemerlang kitab karya Imam Malik, yaitu Al-Muwattha’ . Kecerdasannya membuat Imam Malik amat mengaguminya. Sementara itu As-Syafi`i sendiri sangat terkesan dan sangat menga-gumi Imam Malik di Al-Madinah dan Imam Sufyan bin Uyainah di Makkah.
Beliau menyatakan kekagumannya setelah menjadi Imam dengan pernyataannya yang terkenal berbunyi: “Seandainya tidak ada Malik bin Anas dan Sufyan bin Uyainah, niscaya akan hilanglah ilmu dari Hijaz.” Juga beliau menyatakan lebih lanjut kekagumannya kepada Imam Malik: “Bila datang Imam Malik di suatu majelis, maka Malik menjadi bintang di majelis itu.” Beliau juga sangat terkesan dengan kitab Al-Muwattha’ Imam Malik sehingga beliau menyatakan: “Tidak ada kitab yang lebih bermanfaat setelah Al-Qur’an, lebih dari kitab Al-Muwattha”. Beliau juga menyatakan: “Aku tidak membaca Al-Muwattha, kecuali mesti bertambah pemahamanku.” Dari berbagai pernyataan beliau di atas dapatlah diketahui bahwa guru yang paling beliau kagumi adalah Imam Malik bin Anas, kemudian Imam Sufyan bin Uyainah.
Setelah merasa cukup belajar di madinah, imam Syafi’i berpindah ke yaman, Baghdad dan kemudian Mesir. Imam Syafi’i memang merupakan sosok imam yang cerdas dan kepintarannya dikagumi oleh imam imam besar yang pernah menjadi guru beliau semasa hidupnya. Selain berkemampuan berbahasa Arab yang baik, Imam Syafi’i juga mampu menghafal dan memahami dengan cepat, baik menghafa l Al-quran, hadist dan juga kitab –kitab lainnya yang pernah beliau baca.






 MAKALAH OLEH: ARIEF RAIHANDI AZKA







BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Anak yang pintar adalah dambaan setiap orang tua. Orang tua selalu ingin memiliki anak yang pintar karena anak yang pintar dapat bermamfaat bagi dirinya dan juga bagi masyarakat sekitarnya. Seperti yang sudah kita perlajari dari tafsir-tafsir diatas, ketika Nabi Ibrahim mendapatkan sebuah kabar gembira yang langsung disampaikan oleh malaikat, maka dapat kita simpulkan bahwa anak yang alim atau anak yang pintar merupakan sebuah kebanggaan yang di miliki oleh orang tua dan bisa jadi anak yang bermamfaat bagi dirinya ketika dia sudah berada disisi Allah SWT.






DAFTAR PUSTAKA
Teungku Muahammad Hasbi Ash Shiddieqy, Prof. DR. Tafsir Al-Quranul Majid An-Nur. .(Semarang: PT PUSTAKA RIZKI PUTRA, 2003)
Abdullah bin Muhammad.Dr, Tafsir Ibnu Katsir, (Bogor: Pustaka Imam Asy-Syafi’i 2004).
Asy-Syurbasi, Ahmad, , Sejarah dan Biografi Empat Imam Madzab,(Jakarta: Amzah 2011)
'Aidh al-Qarni Dr, Tafsir Muyassar, (Jakarta: Qisthi Press, 2008)
                        




[1] Teungku Muahammad Hasbi Ash Shiddieqy, Prof. DR. Tafsir Al-Quranul Majid An-Nur. .(Semarang :PT PUSTAKA RIZKI PUTRA, 2003). hlm. 3963.

[2] Teungku Muahammad Hasbi Ash Shiddieqy, …., hlm 3963.
[3] Abdullah bin Muhammad.Dr, Tafsir Ibnu Katsir, (Bogor, Pustaka Imam Asy-Syafi’i 2004). hlm. 538
[4] Abdullah bin Muhammad.Dr, ….,Juz 26 hlm. 539
[5] Abdullah bin Muhammad.Dr, …., Juz 14, hlm. 18
[6] 'Aidh al-Qarni Dr, Tafsir Muyassar, (Jakarta: Qisthi Press, 2008),  hlm, 265
[7] Asy-Syurbasi, Ahmad, , Sejarah dan Biografi Empat Imam Madzab,(Jakarta: Amzah 2011) hlm, 143
Read More

Post Top Ad

Your Ad Spot