Knowledge Is Free: SEJARAH

Hot

Sponsor

Tampilkan postingan dengan label SEJARAH. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label SEJARAH. Tampilkan semua postingan

Rabu, 24 Februari 2021

Makalah Sejarah Perkembangan Hadist dari Zaman Rasulullah hingga Sahabat (doc)

Februari 24, 2021 0


Sejarah Perkembangan Hadist dari Zaman Rasulullah hingga Sahabat, Makalah Ulumul Hadist 

Hadits  telah ada sejak awal perkembangan Islam adalah sebuah kenyataan yang tidak dapat diragukan lagi. Sesunggunhya semasa hidup Rasulullah adalah wajar sekali jika kaum muslimin (para sahabat r.a.) memperhatikan apa saja yang dilakukan maupun yang diucapkan oleh beliau, terutamas sekali yang berkaitan dengan fatwa-fatwa keagamaan. Orang-orang Arab yang suka menghafal dan syair-syair dari para penyair mereka, ramalan-ramalan dari peramal mereka dan pernyataan-pernyataan dari para hakim, tidak mungkin lengah untuk mengisahkan kembali perbuatan-perbuatan dan ucapan-ucapan dari seorang yang mereka akui sebagai seorang Rasul Allah.

Di samping sebagai utusan Allah, Nabi adalah panutan dan tokoh masyarakat. Selanjutnya dalam kapasitasnya sebagai apa saja (Rasul, pemimpin masyarakat, panglima perang, kepala rumah tanggal, teman) maka, tingkah laku, ucapan dan petunjuknya disebut sebagai ajaran Islam. Beliau sendiri sadar sepenuhnya bahwa agama yang dibawanya harus disampaikan dan terwujud secara kongkret dalam kehidupan nyata sehari-hari. Karena itu, setiap kali ada kesempatan Nabi memanfaatkannya berdialog dengan para sahabat dengan berbagai media, dan para sahabat juga memanfaatkan hak itu untuk lebih mendalami ajaran Islam.
Hadis Nabi yang sudah diterima oleh para sahabat, ada yang dihafal dan ada pula yang dicatat. Sahabat yang banyak mengahafal hadis dapat disebut misalnya Abu Hurairah, sedangkan sahabat Nabi yang membuat catatan hadis diantaranya ; Abu Bakar Shidiq, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Amr bin Ash, dan Abdullah bin Abbas.
Minat yang besar dari para sahabat Nabi untuk menerima dan menyampaikan hadis disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya : Pertama, Dinyatakan secara tegas oleh Allah dalam al-Qur’an, bahwa Nabi Muhammad adalah panutan utama (uswah hasanah) yang harus diikuti oleh orang-orang beriman dan sebagai utusan Allah yang harus ditaati oleh mereka.
Kedua, Allah dan Rasul-Nya memberikan penghargaan yang tinggi kepada mereka yang berpengetahuan. Ajaran ini telah mendorong para sahabat untuk berusaha memperoleh pengetahuan yang banyak, yang pada zaman Nabi, sumber pengetahuan adalah Nabi sendiri.
Ketiga, Nabi memerintahkan para sahabatnya untuk menyampaikan pengajaran kepada mereka yang tidak hadir. Nabi menyatakan bahwa boleh jadi orang yang tidak hadir akan lebih paham daripada mereka yang hadir mendengarkan langsung dari Nabi. Perintah ini telah mendorong para sahabat untuk menyebarkan apa yang mereka peroleh dari Nabi.

B. Rumusan masalah
  • Sejarah Perkembangan Hadits
  • Periode Pertama: Perkembangan Hadis pada Masa Rasulutlah SAW.
  • Periode Kedua: Perkembangan Hadis pada Masa Khulafa' Ar-Rasyidin (11 H-40 H)
  • Periode Ketiga: Perkembangan pada Masa Sahabat Kecil dan Tabiin
  • Periode Keempat: Perkembangan Hadis pada Abad II dan III Hijriah
  • Fase Pengumpulan dan Penulisan Hadits

C. Tujuan dan Kegunaan
Dalam setiap penelitian apapun bentuknya senantiasa di barengi dengan tujuan tertentu,oleh karena itu sebagai kelengkapan penjelasan penulis mengenai tujuan dan kegunaan penelitian yaitu untuk mengetahui Sejarah Hadist baik dari zaman Rasulullah hingga zaman Sahabat dan Tabi'in.
Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah di harapkan agar para pelajar mampu mengkaji tentang periwayatan hadist, baik pada masa Rasulullah SAW hingga pada masa sahabat.   

BAB II   
Pembahasan

Sejarah Perkembangan Hadits

Sejarah perkembangan hadis merupakan masa atau periode yang telah dilalui oleh hadis dari masa lahirnya dan tumbuh dalam pengenalan, penghayatan, dan pengamalan umat dari generasi ke generasi.[1] Dengan memerhatikan masa yang telah dilalui hadis sejak masa timbulnya/lahirnya di zaman Nabi SAW meneliti dan membina hadis, serta segala hal yang memengaruhi hadis tersebut. Para ulama Muhaditsin membagi sejarah hadis dalam beberapa periode. Adapun para`ulama penulis sejarah hadis berbeda-beda dalam membagi periode sejarah hadis. Ada yan membagi dalam tiga periode, lima periode, dan tujuh periode.[2]

Periode Pertama: Perkembangan Hadis pada Masa Rasulutlah SAW.

Periode ini disebut `Ashr Al-Wahyi wa At-Taqwin' (masa turunnya wahyu dan pembentukan masyarakat Islam). Pada periode inilah, hadis lahir berupa sabda (aqwal), af’al, dan taqrir Nabi yang berfungsi menerangkan AI-Quran untukmenegakkansyariat. 
Para sahabat menerima hadis secara langsung dan tidak langsung. Penerimaan secara langsung misalnya saat Nabi SAW. mennheri ceramah, pengajian, khotbah, atau penjelasan terhadap pertanyaan para sahabat. Adapun penerimaan secara tidak langsung adalah mendengar dari sahabat yang lain atau dari utusan-utusan, baik dari utusan yang dikirim oleh nabi ke daerah daerah atau utusan daerah yang datang kepada nabi.
Pada masa Nabi SAW, kepandaian baca tulis di kalangan para sahabat sudah bermunculan, hanya saja terbatas sekali. Karena kecakapan baca tulis di kalangan sahabat masih kurang, Nabi mene¬kankan untuk menghapal, memahami, memelihara, mematerikan, dan memantapkan hadis dalam amalan sehari- hari, serta mentablighkannya kepada orang lain. 
Nabi Muhammad SAW menjadi pusat perhatian para sahabat apa pun yang di datangkan oleh Nabi Muhammad SAW baik berupa ucapan, perbuatan maupun ketetapan merupakan referensi yang di buat pedoman dalam kehidupan sahabat.

Setiap sahabat mempunyai kedudukan tersendiri dihadapan Rasulullah SAW adakalanya disebut dengan “al-sabiqun al-awwalin” yakni para sahabat yang pertama masuk islam, seperti khulafaur rasyidin dan Abdullah Bin Mas’ud.Ada juga sahabat yang sungguh- sungguh menghafal hadist misalnya Abu Hurairah. Dan ada juga yang usianya lebih panjang dari sahabat yang lain yang mana mereka lebih banyak menghafalkannya seperti annas bin malik. Demikian juga ada sahabat yang dekat sama rasulullah seperti Aisyah, Ummu Salamah, dan khulafaur rasidin semakin erat dan lama bergaul semakin banyak pula hadist yang diriwayatkan dan validitasnya tidak diragukan.
Namun demikian sahabat juga adalah manusia biasa, harus mengurus rumah tangga, bekerja untuk memenuhi kebuthan keluarganya, maka tidak setiap kali lahir sebuah hadist di skasikan langsung oleh seluruh sahabat, sehingga sahabat mendegar sebagian hadist dari mendengar kepada sahabat yang lainnya atau langssung dari rasulullah SAW. Apalagi Sahabat nabi yang berdomisili di daerah yang jauh dari madinah seringkali hanya memperoleh hadist dari sesama sahabat.[3]
Rasul membina umatnya selama 23 Tahun. Masa ini merupakan kurun waktu turunnya wahyu dan sekaligus di wurudkannya hadist. Untuk lebih memahami kondisi/ keadaan hadist pada zaman nabi SAW berikut ini penulis akan diuraikan beberapa hal yang berkaitan:

1. Cara Rasulullah menyampaikan hadist

Rasulullah dan para sahabat hidup bersama tanpa penghalang apapun, mereka selalu berkumpul untuk belajar kepada Nabi Saw. di masjid, pasar, rumah,dalam perjalanan dan di majelis ta’lim. Ucapan dan perilaku beliau  selalu direkam dan dijadikan uswah (suri tauladan) bagi para sahabat dalam urusan agama dan dunia. Selain para sahabat yang tidak berkumpul dalam majelis Nabi Saw. untuk memperoleh patuah-patuah Rasulullah, karena tempat tingal mereka berjauhan, ada di kota dan di desa begitu juga profesi mereka berbeda, sebagai pedagang, buruh dll. Kecuali mereka berkumpul bersama Nabi Saw. pada saat-saat tertentu seperti hari jumat dan hari raya. Cara rasulullah menyampaikan tausiahnya kepada sahabat kemudian sahabat menyampaikan tausiah tersebut kepada sahabat lain yang tidak bisa hadir (ikhadz) 

2. Keadaan para sahabat dalam menerima dan menguasai hadist 

Kebiasaan para sahabat dalam menerima hadits  bertanya langsung kepada Nabi Saw. dalam problematika yang dihadapi oleh mereka, Seperti masalah hukum syara’ dan teologi. Diriwayatkan oleh imam Bukhari dalam kitabnya dari ‘Uqbah bin al-Harits tentang masalah pernikahan satu saudara karena  radla’ (sepersusuan). Tapi perlu diketahui, tidak selamanya para sahabat bertanya langsung. Apa bila masalah biologis dan rumah tangga, mereka bertanya kepada istri-istri beliau melalui utusan istri mereka, seperti masalah suami mencium istrinya dalam keadaan puasa.
            Telah kita ketahui, bahwa kebanyakan sahabat untuk menguasai hadist Nabi Saw., melalui hafalan tidak melalui tulisan, karena difokuskan untuk mengumpulkan al-Quran dan dikhawatirkan apabila hadist ditulis maka timbul kesamaran dengan al-Quran. [4]

3. Larangan menulis hadis dimasa nabi Muhammad SAW

Hadis pada zaman nabi Muhammad saw belum ditulis secara umum sebagaimana al-Quran. Hal ini disebabkan oleh dua factor ;
para sahabat mengandalkan kekuatan hafalan dan kecerdasan otaknya, disamping alat-alat tulis masih kuarang. karena adanya larangan menulis hadis nabi.
Abu sa’id al-khudri berkata bahwa rosululloh saw bersabda:
Janganlah menulis sesuatu dariku selain al-Qua’an, dan barang siapa yang menulis dariku hendaklah ia menghapusnya. ( H.R Muslim )
Larangan tersebut disebabkan karena adanya kekawatiran bercampur aduknya hadis dengan al-Qur’an, atau mereka bisa melalaikan al-Qua’an, atau larangan khusus bagi orang yang dipercaya hafalannya. Tetapi bagi orang yang tidak lagi dikawatirkan, seperti yang pandai baca tulis, atau mereka kawatir akan lupa, maka penulisan hadis bagi sahabat tertentu diperbolehkan.

4. Aktifitas menulis hadist

Bahwasanya sebagian sahabat telah menulis hadist pada masa Rasulullah, ada yang mendapatkan izin khusus dari Nabi Saw.,hanya saja kebanyakan dari mereka yang senang dan kompeten menulis hadist menjelang akhir kehidupan Rasulullah. [5]
Keadaan Sunnah pada masa Nabi SAW belum ditulis (dibukukan) secara resmi, walaupun ada beberapa sahabat yang menulisnya. Hal ini dikarenakan ada larangan penulisan hadist dari Nabi Saw. penulis akan mengutip satu hadist hadist yang lebih shahih dari hadist tentang larangan menulis. Rasulullah Saw. bersabda:

لاتكتبو اعنّى شيئا غير القران فمن كتب عنىّ شيئا غير القر ان فليمحه.

” jangan menulis apa-apa selain Al-Qur’an dari saya, barang siapa yang menulis dari saya selain Al-Qur’an hendaklah menghapusnya”.(HR. Muslim dari Abu Sa;id Al-Khudry)
Tetapi disamping ada hadist yang melarang penulisan ada juga hadist yang membolehkan penulisan hadist, hadist yang diceritakan oleh Abdullah bin Amr, Nabi Saw. bersabda

اكتب فو الذى نفسى بيده ما خرج منه الاالحق

” tulislah!, demi Dzat yang diriku didalam kekuasaan-Nya, tidak keluar dariku kecuali yang hak”.(Sunan al-Darimi)
Dua hadist diatas tampaknya bertentangan, maka para ulama mengkompromikannya sebagai berikut:
  • Bahwa larangan menulis hadist itu terjadi pada awal-awal Islam untuk memelihara agar hadist tidak tercampur dengan al-Quran. Tetapi setelah itu jumlah kaum muslimin semakin banyak dan telah banyak yang mengenal Al-Quran, maka hukum larangan menulisnya telah dinaskhkan dengan perintah yang membolehkannya.
  • Bahwa larangan menulis hadist itu bersifat umum, sedang perizinan menulisnya bersifat khusus bagi orang yang memiliki keahlian tulis menulis. Hingga terjaga dari kekeliruan dalam menulisnya, dan tidak akan dikhawatirkan salah seperti Abdullah bin Amr bin Ash.
  • Bahwa larangan menulis hadist ditujukan pada orang yang kuat hafalannya dari pada menulis, sedangkan perizinan menulisnya diberikan kepada orang yang tidak kuat hafalannya. 

Periode Kedua: Perkembangan Hadis pada Masa Khulafa' Ar-Rasyidin (11 H-40 H)

Periode ini disebut ‘Ashr-At-Tatsabbut wa Al-Iqlal min Al-Riwayah’ (masa membatasi dan menyedikitkan riwayat). Nabi SAW wafat pada tahun 11 H. Kepada umatnya, beliau meninggalkan dua pegangan sebagai dasar bagi pedoman hidup, yaitu Al-Quran dan hadis (As-Sunnah yang harus dipegangi dalam seluruh aspek kehidupan umat.
Pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar, periwayatan hadis tersebar secara terbatas. Penulisan hadis pun masih terbatas dan belum dilakukan secara resmi. Bahkan, pada masa itu, Umar melarang para sahabat untuk memperbanyak meriwayatkan hadis,dan  sebaliknya, Umar menekankan agar para sahabat mengerahkan perhatiannya untuk menyebarluaskan Al-Quran. Dalam praktiknya, ada dua sahabat yang meriwayatkan hadis, yakni:
  • Dengan lafazh asli, yakni menurut lafazh yang mereka terima dari Nabi SAW yang mereka hapal benar lafazh dari Nabi.
  • Dengan maknanya saja; yakni mereka merivttayatkan maknanya karena tidak hapal lafazh asli dari Nabi SAW.

Periode Ketiga: Perkembangan pada Masa Sahabat Kecil dan Tabiin

Periode ini disebut ‘Ashr Intisyar al-Riwayah ila Al-Amslaar’ (masa berkembang dan meluasnya periwayatan hadis).[6] Pada masa ini, daerah Islam sudah meluas, yakni ke negeri Syam, Irak, Mesir, Samarkand, bahkan pada tahun 93 H, meluas sampai ke Spanyol. Hal ini bersamaan dengan berangkatnya para sahabat ke daerah-daerah tersebut, terutama dalam rangka tugas memangku jabatan pemerintahan dan penyebaran ilmu hadis.
Para sahabat kecil dan tabiin yang ingin mengetahui hadis-hadis Nabi SAW diharuskan berangkat ke seluruh pelosok wilayah Daulah Islamiyah untuk menanyakan hadis kepada sahabat-sahabat besar yang sudah tersebar di wilayah tersebut. Dengan demikiari, pada masa ini, di samping tersebarnya periwayatan hadis ke pelosok-pelosok daerah Jazirah Arab, perlawatan untuk mencari hadis pun menjadi ramai.
Karena meningkatnya periwayatan hadis, muncullah bendaharawan dan lembaga-lembaga (Centrum Perkembangan) hadis di berbagai daerah di seluruh negeri.

Adapun lembaga-lembaga hadis yang menjadi pusat bagi usaha penggalian, pendidikan,dan  pengembangan hadis terdapat di:
  • Madinah,
  • Mekah,
  • Bashrah,
  • Syam,
  • Mesir,
Pada periode ketiga ini mulai muncul usaha pemalsuan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Hal ini terjadi setelah wafatnya Ali r.a. Pada masa ini, umat Islam mulai terpecah-pecah menjadi beberapa golongan: Pertama, golongan ‘Ali Ibn Abi Thalib, yang kemudian dinamakan golongan Syi'ah. Kedua, golongan khawarij, yang menentang ‘Ali, dan golongan Mu'awiyah, dan ketiga; golongan jumhur (golongan pemerintah pada masa itu).

Terpecahnya umat Islam tersebut, memacu orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk mendatangkan keterangan-keterangan yang berasal dari Rasulullah SAW. untuk mendukung golongan mereka. Oleh sebab itulah, mereka membuat hadis palsu dan   menyebarkannya kepada masyarakat.

Periode Keempat: Perkembangan Hadis pada Abad II dan III Hijriah

Periode ini disebut Ashr Al-Kitabah wa Al-Tadwin (masa penulisan dan pembukuan). Maksudnya, penulisandan  pembukuan secara resmi, yakni yang diselenggarakan oleh atau atas inisiatif pemerintah. Adapun kalau secara perseorangan, sebelum abad II H hadis sudah banyak ditulis, baik pada masa tabiin, sahabat kecil, sahabat besar, bahkan masa Nabi SAW
Masa pembukuan secara resmi dimulai pada awal abad II H, yakni pada masa pemerintahan Khalifah Umar Ibn Abdul Azis tahun 101 H,[7] Sebagai khalifah, Umar Ibn Aziz sadar bahwa para perawi yang menghimpun hadis dalam hapalannya semakin banyak yang meninggal. Beliau khawatir apabila tidak membukukandan mengumpulkan dalam buku-buku hadis dari para perawinya, ada kemungkinan hadis-hadis tersebut akan lenyap dari permukaan bumi bersamaan dengan kepergian para penghapalnya ke alam barzakh.
Untuk mewujudkan maksud tersebut, pada tahun 100 H, Khalifah meminta kepada Gubernur Madinah, Abu Bakr Ibn Muhammad Ibn Amr Ibn Hazmin (120 H) yang menjadi guru Ma'mar- Al-Laits, Al-Auza'i, Malik, Ibnu Ishaq, dan Ibnu Abi Dzi'bin untuk membukukan hadis Rasul yang terdapat pada penghapal wanita yang terkenal, yaitu Amrah binti Abdir Rahman Ibn Sa'ad Ibn Zurarah Ibn `Ades, seorang ahli fiqh, murid `Aisyah r.a. (20 H/642 M-98 H/716 M atau 106 H/ 724 M), dan hadis-hadis yang ada pada Al-Qasim Ibn Muhammad Ibn Abi Bakr Ash-Shiddieq (107 H/725 M), seorang pemuka tabiin dan salah seorang fuqaha Madinah yang tujuh.

Di samping itu, Umar mengirimkan surat-surat kepada gubernur yang ada di bawah kekuasaannya untuk membukukan hadis yang ada pada ulama yang tinggal di wilayah mereka masing-masing. Di antara ulama besar yang membukukan hadis atas kemauan Khalifah adalah Abu Bakr Muhammad Ibn Muslim ibn Ubaidillah Ibn Syihab Az-Zuhri, seorang tabiin yang ahli dalam urusan fiqh dan hadits. Mereka inilah ulama yang mula-mula membukukan hadis atas anjuran Khalifah.
Pembukuan seluruh hadist yang ada di Madinah dilakukan oleh Imam Muhammad Ibn Muslim Ibn Syihab Az-Zuhri, yang memang terkenal sebagai seorang ulama besar dari ulama-ulama hadist pada masanya.
Setelah itu, para ulama besar berlomba-lomba membukulcan hadist atas anjuran Abu `Abbas As-Saffah dan anak-anaknya dari khalifah-khalifah ‘Abbasiyah.
            Berikut tempat dan nama-nama tokoh dalam pengumpulan hadits :
  • Pengumpul pertama di kota Mekah, Ibnu Juraij (80-150 H)
  • Pengumpul pertama di kota Madinah, Ibnu Ishaq (w. 150 H)
  • Pengumpul pertama di kota Bashrah, Al-Rabi' Ibrl Shabih (w. 160 H)
  • Pengumpul pertama di Kuffah, Sufyan Ats-Tsaury (w. 161 H.)
  • Pengumpul pertama di Syam, Al-Auza'i (w. 95 H)
  • Pengumpul pertama di Wasith, Husyain Al-Wasithy (104-188 H)
  • Pengumpul pertama diYaman, Ma'mar al-Azdy (95-153 H)
  • Pengumpul pertama di Rei, Jarir Adh-Dhabby (110-188 H)
  • Pengumpul pertama di Khurasan, Ibn Mubarak (11 -181 H)
  • Pengumpul pertama di Mesir, Al-Laits Ibn Sa'ad (w. 175 H).
Semua ulama yang membukukan hadis ini terdiri dari ahli-ahli pada abad kedua Hijriah.
Kitab-kitab hadis yang telah dibukukan dan dikumpulkan dalam abad kedua ini, jumlahnya cukup banyak. Akan tetapi, yang rnasyhur di kalangan ahli hadis adalah:
  • Al-Muwaththa', susurran Imam Malik (95 H-179 H);
  • Al-Maghazi wal Siyar, susunan Muhammad ibn Ishaq (150 H)
  • Al-jami', susunan Abdul Razzaq As-San'any (211 H)
  • Al-Mushannaf, susunan Sy'bah Ibn Hajjaj (160 H)
  • Al-Mushannaf, susunan Sufyan ibn 'Uyainah (198 H)
  • Al-Mushannaf, susunan Al-Laits Ibn Sa'ad (175 H)
  • Al-Mushannaf, susnan Al-Auza'i (150 H)
  • Al-Mushannaf, susunan Al-Humaidy (219 H)
  • Al-Maghazin Nabawiyah, susunan Muhammad Ibn Waqid Al¬Aslamy.
  • A1-Musnad, susunan Abu Hanifah (150 H).
  • Al-Musnad, susunan Zaid Ibn Ali.
  • Al-Musnad, susunan Al-Imam Asy-Syafi'i (204 H).
  • Mukhtalif Al-Hadis, susunan Al-Imam Asy-Syafi'i.
Tokoh-tokoh yang masyhur pada abad kedua hijriah adalah Malik,Yahya ibn Sa'id AI-Qaththan, Waki Ibn Al-Jarrah, Sufyan Ats-Tsauri, Ibnu Uyainah, Syu'bah Ibnu Hajjaj, Abdul Ar-Rahman ibn Mahdi, Al-Auza'i, Al-Laits, Abu Hanifah, dan Asy-Syafi'i.

Fase Pengumpulan dan Penulisan Hadits

a. Pengumpulan Hadis

Pada abad pertama Hijriah, yakni masa Rasulullah SAW., Khulafaar Rasyidin,dan  sebagian besar masa Bani Umayyah hingga akhir abad pertama Hijrah, hadis-hadis itu berpindah-pindahdan disampaikan dari mulut ke mulut. Masing-masing perawi pada waktu itu meriwayatkan hadis berdasarkan kekuatan hapalannya. Hapalan mereka terkenal kuat sehingga mampu mengeluarkan kembali hadis-hadis yang pernah direkam dalam ingatannya. Ide penghimpunan hadis Nabi secara tertulis untuk pertama kalinya dikemukakan oleh Khalifah Umar bin Khaththab (w. 23 H/644 M). Namun, ide tersebut tidak dilaksanakan oleh Umar karena khawatir bila umat Islam terganggu perhatiannya dalam mempelajari Al-Quran.
Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin.Abdul Aziz yang dinobatkan akhir abad pertama Hijriah, yakni tahun 99 Hijriah, datanglah angin segar yang mendukung kelestarian hadist. Umar bin Abdul Azis terkenal sebagai seorang khalifah dari Bani Umayyah yang terkenal adil dan wara' sehingga dipandang sebagai khalifah Rasyidin yang kelima.
Beliau sangat waspada dan  sadar bahwa para perawi yang mengumpulkan hadist dalam ingatannya semakin sedikit jumlahnya karena meninggal dunia. Beliau khawatir apabila tidak segera dikumpulkan dan  dibukukan dalam buku-buku hadis dari para perawinya, mungkin hadis-hadis itu akan lenyap bersama lenyapnya para penghapalnya. Tergeraklah hatinya untuk mengumpulkan hadis-hadis Nabi dari para penghapal yang masih hidup. Pada tahun 100 H, Khalifah Umar bin Abdul Azis memerintahkah kepada Gubernur Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amer bin Hazm untuk membukukan hadis-hadis Nabi dari para penghapal.
Umar bin Abdul Azis menulis surat kepada Abu Bakar bin Hazm, yaitu,"Perhatikanlah apa yang dapat diperoleh dari hadis Rasul lalu tulislah karena aku takut akan lenyap ilmu disebabkan menin,;galnya ulama, dan jangan diterima selain hadis Rasul SAW., dan hercdaklah disebarluaskan ilmu dan diadakan majelis-majelis ilmu supaya orzng yang tidak mengetahuinya dapat mengetahuinya, maka sesungguhnya ilmu itu dirahasiakan."
Selain kepada Gubernur Madinah, khalifah juga menulis surat kepada Gubernur lain agar mengusahakan pembukuan hadis. Khalifah juga secara khusus menulis surat kepada Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Syihab Az-Zuhri. Kemudian, Syihab Az-Zuhri mulai melaksanakan perintah khalifah tersebut sehingga menjadi salah satu ulama yang pertama kali membukukan hadis.
Setelah generasi Az-Zuhri, pembukuan hadis dilanjutkan oleh Ibn Juraij (w. 150 H.), Ar-Rabi' bin Shabih (w. 160 H), dan masih banyak lagi ulama lainnya. Sebagaimana telah disebutkan bahwa pembukuan hadis dimulai sejak akhir masa pemerintahan Bani Umayyah, tetapi belum begitu sempurna. Pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah, yaitu pada pertengahan abad II H, dilakukan upaya penyempunaan. Sejak saat itu, tampak gerakan secara aktif untuk membukukan ilmu pengetahuan, termasuk pembukuandan  penulisan hadis-hadis Rasul SAW Kitab-kitab yang terkenal pada waktu itu yang ada hingga sekarang dan sampai kepada kita, antara lain Al-Muwatha' oleh Imam Malikdan  Al-Musnad oleh Imam Asy-Syafi'i (w. 204 H). Pembukuan hadis itu kemudian dilanjutkan secara lebih teliti oleh imam-imam ahli hadis, seperti Bukhari, Muslim, Tirmizi, Nasai, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan lain-lain.
Dari mereka itu, kita kenal Kutubus Sittah (kitab-kitab) enam, yaitu Sahih Al-Bukhari, Sahih Muslim, Sunan An-Nasal, dan At-Tirmizi. Tidak sedikit pada masa berikutnya dari para ulama yang menaruh perhatian besar pada Kutubus Sittah tersebut beserta kitab Muwatha' dengan cara mensyarahinya dan memberi catatan kaki, meringkas atau meneliti sanad dan matan-matannya.[8]

b. Penulisan Hadis

Sebelum agama Islam datang, bangsa Arab tidak mengenal kemampuan membaca dan menulis. Mereka lebih dikenal sebagai bangsa yang ummi (tidak bisa membaca dan menulis). Namun, ini tidak berarti bahwa tidak ada seorang pun yang bisa menulisdan  membaca. Keadaan ini hanyalah sebagai ciri kebanyakan mereka. Sejarah telah mencatat sejumlah orang yang mampu membaca dan menulis. Adiy bin Zaid Al-Adi (w. 35 H) misalnya, sudah belajar menulis hingga menguasainya, dan merupakan orang pertama yang menulis dengan bahasa Arab dalam surat yang ditujukan kepada Kisra. Sebagian orangYahudi juga mengajari anak-anak di Madinah untuk menulis Arab. Kota Mekah dengan pusat perdagangannya sebelum kenabian, menjadi saksi adanya para penulis dan orang yang mampu membaca. Sebagaimana dinyatakan bahwa orang yang mampu membaca dan menulis di kota Mekah hanya sekitar 10 orang. Inilah yang dimaksud bahwa orang Arab adalah bangsa yang ummi.[9]
Banyak akhbar yang menunjukkan bahwa para penulis lebih banyak terdapat di Mekah daripada di Madinah. Hal ini dibuktikan dengan adanya izin Rasulullah kepada para tawanan dalam Perang Badar dari Mekah yang mampu menulis untuk mengajarkan menuiis dan membaca kepada 10 anak Madinah sebagai tebusan diri mereka.
Pada masa Nabi, tulis-menulis sudah tersebar luas. Apalagi Al-Quran menganjurkan untuk belajardan  membaca. Rasulullah pun menga-lgkat para penulis wahyu hingga jumlahnya mencapai 40 orang. Nama-nama mereka disebut dalam kitab At-Taratib Al-Idariyyah. Baladzuri dalam kitab Futuhul Buldan menyebutkan sejumlah penulis wanita, di antaranya Ummul Mu'minin Hafshah, Ummu Kultsum binti Uqbah, Asy-Syifa' binti Abdullah Al¬Qurasyiyah, `Aisyah binti Sa'ad, dan Karimah binti AI-Miqdad.
Para penulis semakin banyak di Madinah setelah hijrah setelah Perang Badar. Nabi menyuruh Abdullah bin Sa'id bin ‘Ash agar mengajar menulis di Madiah, sebagaimana disebutkan Ibnu Abdil Barr dalam Al-Isti'ab. Ibnu Hajar menyebutkan bahwa nama asli `Abdullah bin Sa'id bin Al-'Ash adalah Al-Hakam, lalu Rasulullah memberinya nama `Abdullah,dan  menyuruhnya agar mengajar menulis di Madinah.
Para penulis sejarah Rasul, ulama hadis, dan umat Islam sependapat bahwa Al-Quran Al-Karim telah memperoleh perhatian yang penuh dari Rasul dan  para sahabatnya. Rasul mengharapkan para sahabat untuk menghapalkan Al-Quran dan menuliskannya di tempat-tempat tertentu, seperti keping-keping tulang, pelepah kurma, batu, dan  sebagainya.
Oleh karena itu, ketika Rasulullah SAW wafat, Al-Quran telah dihapalkan dengan sempurna oleh para sahabat. Seluruh ayat suci Al-Quran pun telah lengkap ditulis, tetapi belum terkumpul dalam bentuk sebuah mushaf. Adapun hadis atau sunnah dalam penulisannya ketika itu kurang memperoleh perhatian seperti halnya Al-Quran. Penulisan hadis dilakukan oleh beberapa sahabat secara tidak resmi karena tidak diperintahkan oleh Rasul. Diriwayatkan bahwa beberapa sahabat memiliki catatan hadis-hadis Rasulullah SAW. Mereka mencatat sebagian hadis yang pernah mereka dengar dari Rasulullah SAW.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Jadi pada masa Nabi SAW. Ada beberapa cara yang ditempuh oleh Rasulullah SAW. Dalam menyampaikan suatu hadits yaitu :
  • Melalui majelis al-‘ilm, yaitu pusat atau tempat pengajian yang diadakan oleh Nabi untuk membina para jemaah.
  • Dalam suatu kesempatan Rasulullah juga biasa menyampaikan haditsnya kebeberapa sahabat yang sempat hadir dan bertemu pada beliau, yang kemudian hadits yang didapat itu kemudian sahabat menyampaikannya lagi kepada sahabat lain yang belum sempat atau yang pada saat itu tidak hadir dihadapan Rasulullah.
  • Untuk hal-hal yang sensitif, seperti hal-hal yang berkaitan dengan soal keluarga dan biologis, dan yang terutama soal yang menyangkut hubungan suami istri, Rasulullah menyampaikan melalui istri-istrinya, jadi pada hal-hal yang sensitif Nabi SAW. Dibantu untuk menyelesaikan masalah tersebut oleh istri-istri beliau.
  • Melalui hadits yang telah Rasulullah sampaikan kepada para sahabat,kemudian para sahabat yang di percaya di sebarkan lagi kepada masyarakat sehingga hadits-hadits tersebut cepat tersebar di kalang masyarakat pada saat itu.

B.    Saran

Diakhir tulisan ini penulis ingin menyampaikan beberapa saran kepada pembaca:
  • Dalam memahami Islam hendaknya kita bersifat inklusif terhadap beberapa hasanah pemikiran tentang segala hal. Sehingga ajaran Islam dapat menjadi dinamis dan dapat menjawab berbagai tuntunan perubahan zaman.
  • Hendaknya setiap orang tetap bersifat terbuka terhadap berbagai pendekatan dan system pendidikan yang ada. Karena hal itu akan menambah kekayaan khasanah intelektual dan wawasan kependidikan bagi semua.
  • Semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi segenap pembaca terutama kepada penulis . Amin yaa Rabbal Alamiin.

DAFTAR PUSTAKA


Endang soetari,ilmu hadist: kajian riwayahdan dirayah. Bandung ;Mimbar Pustaka.2005
Ahmad, Muhammad, dkk. Ulumul Hadits. Bandung: Pustaka Setia. 2005
Manna’ Al- Qattan Tarkh al tashyri al islami  kairo: Maktabah wahbah 1989
Ulum al hadist wal mustalahu, Beirut. Dar al-ilmi li Al Malayin,1997
Al-Qaththan. Mabahits fi `Ulum Al-Hadits. Terj. Mifdhol Abdurrahman. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2005








[1] Endang soetari,ilmu hadist: kajian riwayahdan dirayah. Bandung ;Mimbar Pustaka.2005, halaman 29
[2] Ibid, halaman 30
[3] Muh.Zuhri, hadist nabi telaah historis dan metodologis (cet 11 yogyakarta tiara yogya 2009) hal 29
[4]  Manna’ Al- Qattan Tarkh al tashyri al islami  kairo: Maktabah wahbah 1989, hlm 106
[5] Ulum al hadist wal mustalahu, Beirut. Dar al-ilmi li Al Malayin,1997 hlm 23
[6] Ketujuh Fuqaha Madinah adalah AI-Qasim, `Urwah Ibn Zubair, Abu Bakr Ibn Abdir Rahman, Sa'id Ibn Musavyab, Abdillah Ibn Abdullah Ibn `Utbah Ibn Mas'ud, Kharijah Ibn Zaid IbnTsabit, dan Sulaiman IbnYassar. LihatAsh-Shidieqy. hlm. 79.
[7] Az-Zuhri menerima hadits dari Ibnu ‘Umar, Sahel ibn Sa’ad, Anas ibn Malik, Mahmud Ibn al-Rabi’, Said Ibn Musaiyab, dan Abu Umamah ibn Sahel
[8] Muhammad Ahmad, dkk. Ulumul Hadits. Bandung: Pustaka Setia. 2005. Hlm. 29-31.
[9] Al-Qaththan. Mabahits fi `Ulum Al-Hadits. Terj. Mifdhol Abdurrahman. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2005.
Read More

Minggu, 29 November 2020

Makalah Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam (doc)

November 29, 2020 0




Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam

Sejarah berasal dari bahasa Arab, yakni dari kata syajaratun, yang memiliki makna pohon kayu. Pengertian pohon kayu disini adalah adanya suatu kejadian, perkembangan atau pertumbuhan tentang sesuatu hal atau peristiwa dalam suatu kesinambungan (kontinuitas).  
Hasbi ash-Shidieqy mendefinisikan hukum Islam sebagai hasil daya upaya para fuqaha dalam menerapkan syari’at Islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat. 
Pengertian ini lebih dekat kepada syari’ah. Namun dalam kajian sejarah hukum Islam, pengertian hukum Islam lebih diarahkan kepada fiqh, karena fiqhlah yang memiliki karakter dinamis sebagai refleksi dari dinamika sejarah. 
Ada dua pandangan mengenai hukum Islam, yaitu pandangan keabadian dan pandangan keberubahan.
Pertama, pandangan keabadian sebagaimana yang dipegangi oleh sejumlah besar Islamisis seperti C.S. Hurgronje dan Josep Schacht, serta oleh kebanyakan juris muslim lain yang hadits oriented (tradisionalis). Mereka berpendapat bahwa dalam konsep dan perkembangannya serta metodologinya, hukum Islam bersifat abadi. Mereka mempertahankan pendapat bahwa hukum Islam mencari landasannya pada wahyu Tuhan melalui Nabi Muhammad sebagaimana terdapat dalam Al-Qur'an dan hadits. Sehingga hukum bersifat statis, final dan tidak menerima perubahan.  
Kedua, pandangan keberubahan yang berpendapat bahwa hukum Islam memiliki ciri yang dinamis, fleksibel dapat berubah dan dalam 2 kenyataannya juga hukum selalu berubah sesuai dengan kondisi ruang dan waktu. Yang menekankan aktivitas ijtihad. 
Tahap – tahap pertumbuhan dan perkembangan
Penulis – penulis sejarah hukum islam telah mengadakan pembagian tahap – tahap pertumbuhan dan perkembangan hukum islam. Pembagian ke dalam beberapa tahap itu tergantung pada tujuan dan ukuran yang mereka pergunakan dalam mengadakan pertahapan itu. Ada yang membaginya ke dalam 5 atau 6  tahapan. Namun, pada umumya, tahap – tahap pertumbuhan dan perkembangan hukum islam adalah 5 masa berikut ini:
1. Masa Nabi Muhammad ( 610 M - 632 M )
2. Masa Khulafa Rasyidin ( 632 M – 662 M )
3. Masa Pembinaan, Pengembangan dan Pembukuan ( VII – X M )
4. Masa Kelesuan Pemikiran ( abad X M – XIX M )
5. Masa Kebangkitan Kembali ( abad XIX M sampai sekarang )
Secara garis besar, sejarah pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam dapat dibagi ke dalam enam periode , yakni periode Nabi, periode khulafaur rasyidin, periode tabi’in, periode keemasan, periode taqlid dan periode era kebangkitan kembali.

Masa Nabi Muhammad ( 610 M – 632 M)

Periode ini berlangsung pada waktu Nabi Muhammad SAW, masih hidup, yaitu pada masa 610 M – 632 M (tahun 1 – 10 H). pada masa ini masalah yang dihadapi umat islam, langsung diselesaikan oleh nabi, baik melalui wahyu yan diterimanya dari allah SWT, maupun melalui sunnah nya, yang selalu di bimbing oleh wahyu. Dengan demikian pada masa ini semua hukum didasarkan pada wahyu.
Pada periode ini dalil hukum islam kembali kepada Al–Qur’an dan sunah rasulnya. Ijtihad sahabat yag terjadi waktu itu mempunyai nilai sunnah, yaitu masuk kepada jenis taqriry, karena mendapat penetapan dari Nabi, baik berupa pembenaran maupun berupa koreksi pembetulan terhadap apa yang dilakukan sahabat tersebut.
Para ahli hukum Islam membagi periode ini menjadi dua bagian, yaitu Makkah dan  Madinah. 
  • Periode Makkah, berlangsung selama 13 tahun, sejak diangkatnya Nabi SAW. ketika itu umat Islam masih terisolir, minoritas, lemah dan belum terbentuk satu umat yang memiliki pemerintahan yang kuat. Karenanya, perhatian Rasulullah lebih diarahkan kepada dakwah tauhid, di samping membentengi diri dan pengikutnya dari gangguan dan tantangan orang-orang yang sengaja menghalangi dakwah islam., ada yang menilai tidak ada kesempatan ke arah pembentukan hukum-hukum amaliah dan penyusunan undang-undang keperdataan. Singkatnya, periode Makkah merupakan periode revolusi akidah untuk mengubah sistem kepercayaan masyarakat jahiliyah menuju penghambaan kepada Allah SWT semata.
  • Periode Madinah, pesan-pesan yang terkandung dalam Al-Qur'an berubah menjadi spesifik.  Pada periode ini umat Islam bertambah banyak dan mampu membentuk pemerintahan yang gilang gemilang dan media dakwah pun semakin lancar. Keadaan inilah yang mendorong perlunya mengadakan tasyri’ dan pembentukan undang-undang untuk mengatur hubungan antara individu dari suatu bangsa dengan bangsa lainnya atau dengan negara yang bukan Islam. Untuk kepentingan itulah, maka di Madinah disyari’atkan hukum, seperti hukum perkawinan, perceraian, warisan, perjanjian, hutang piutang, kepidanaan dan lain-lain. 
Dengan kata lain, periode Madinah dapat disebut periode revolusi sosial dan politik. 
Adapun sumber kekuasaan yang digunakan pada masa Rasulullah, adalah Al-Qur'an dan As-Sunnah,  sehingga tidak ada ruang bagi perbedaan pendapat. Ini terjadi karena perbedaan pendapat dapat diatasi oleh wahyu yang otoritatif Kekuasaantasyri’ (pembuatan undang-undang) hanya dipegang oleh Rasulullah. Apabila ada ijtihad dari sahabat, itu juga dapat menjadi tasyri’ tetapi setelah mendapat pengakuan dari Rasul.
Ada tiga hal yang berkaitan dengan perkembangan hukum Islam pada periode Nabi yaitu, pertama bahwa Nabi memegang kekuasaan penuh dalam menghadapi problem yang dihadapi masyarakat dengan berlandaskan terhadap al-Qur'an dan Sunnah. Kedua, ayat-ayat hukum yang turun adalah untuk menjawab setiap peristiwa yang terjadi. Ketiga, hukum Islam diturunkan secara bertahap, tidak gradual.

Masa Khulafaur Rasyidin 

Periode ini berlangsung pada masa sahabat khulafaur  rasyidin ( 632 M – 662 M / 11 – 41 H ) yaitu pada masa :

1. Abu Bakar As-Shiddiq (632 – 634 M/11 – 13 H)
Setelah Nabi wafat maka diangkatlah Abu Bakar As-Siddiq sebagai khalifah pertama. Abu Bakar adalah ahli hukum yang memimpin selama 2 tahun (9632-634 M) berikut adalah hal-hal penting dalam masa pemerintahannya adalah:
Cara penyelesaian masalah apabila timbul dalam masyarakat adalah dicari dalam wahyu Allah. Jikalau tidak ada maka dalam sunnah Nabi, kalau dalam sunnah pun tidak ada maka Abu Bakar bertanya kepada para sahabat yang dikumpulkannya d dalam satu majlis.sehingga keputusan yang di dapat dari situlah yang sering disebut ijmak sahabat.
   
2. Umar Bin Khattab, (634 – 644 M/13 – 23 H)
Setelah Abu Bakar wafat maka yang menjadi khalifah selanjutnya adalah Umar Bin Khattab. Beliau memerintah dari tahun 634-644 M. Selama beliau memimpin kekuasaan islam berkembang pesat karena beliau selalu 
turut aktif menyiarkan ajaran islam, yakni melanjutkan usaha Abu Bakar, beliau juga banyak sekali melakukan tindakan di lapangan hukum:
a. Tentang talak 3 diucapkan sealigus di suatu tempat pada suatu ketika, dianggap sebagai talak yang tidak dapat rujuk lagi sebagai suami istri, kecuali salah satu pihak dalam bekas suami istri itu kawin lebih dulu dengan orang lain.
b. Mengharuskan membayar zakat 
c. Siapa yang mencuri dipotng tangannya sebagaimana dalam Al- Qur’an surah Al-Maidah ayat 38

3. Usman Bin Affan, (644 – 656 M/ 23 – 35 H)
Setelah Umar Bin Khattab di bunuh oleh Abu Lu’lu’ah pada tahun 644 dengan menikamnya maka khalifah yang memimpin setelah itu adalah Usman Bin Affan yang berlangsung dari tahun 644-656 M. Pada masa pemerintahannya standarisasi Al-Qur’an (kodifikasi) dilakukan karena wilayah islam sudah sangat luas yang di diami oleh berbagai suku yang dialek bahasanya berbeda-beda dan terjadi perbedaan pengungkapan ayat-ayat Al-Qur’an yang disebarkan memalui hafalan. 
4. Ali Bin Abi Thalib (656 – 662 M/ 35 – 41 H)
Beliau memerintah dari tahun 656-662 M. Beliau tidak dapat berbuat banyak dalam mengembangkan agama islam karena keadaan negara tidak stabil.
Pada masa periode ini penyelesaian masalah yang dihadapi umat islam diselesaikan berdasakan Al – Quran dan sunnah nabi. Sedangkan terhadap masalah yang belum ada dalam Al – Quran dan sunnah diseleasaikan dengan ijtihad para sahabat, dengan tetap berpedoman kepada Al –Quran dan sunnah nabi. Dengan demikian dalil hukum pada masa periode ini kembali kepada Al – Quran, sunnah nabi dan ijtihad sahabat. 

Masa Perkembangan dan Pembukuan

Periode ketiga ini merupakan perkebangan dan pembukuan yang belangsung sekitat 250 tahun  sejak akhir abad ke – 7 sampai awal abad 10 M. yaitu pada masa akhir pemerintahan khalifah umayyah dan masa pemerintahan abbasyiah. 
Periode ini merupakan periode keemasan umat islam, ditandai dengan berkembangnya berbagai bidang ilmu, seperti filsafat, pemikian ilmu qalam, hukum, tasawuf, teknologi, pemerintahan, arsitektur dan berbagai kemajuan lainnya. Sejalan dengan berkembangnya pemeritahan islam sebagai akibat semakin luasnya wilayah kekuasaan islam kebelahan dunia barat dan timur, dari daratan Spanyol (Eropa Barat) sampai batasan Cina (di Asia Timur), maka terbentanglah peradaban islam dari Granada di spanyol sampai ke New Delhi di India, yang dirintis sejak masa khulafa rasyidin, khalifah Umayyah dan khalifah Abbasyiah.
Perluasan wilayah ini menyebabkan munculnya masalah – masalah baru yang belum terjadi sebelumnya, sehigga permasalahan yang dihadapi umat islam pun makin banyak dan kompleks. Keadaan demkian memunculkan bagi para mujtahid untuk memecahkan hukum masalah – masalah tersebut, dan hasil ijtihad mereka kemudian dibukukan dalam kitab – kitab fikih (hukum). Karena itu, masa ini merupakan masa perkembangan dan pembukuan kitab fikih, hasil ijtihad para tokoh mujtahidin. Periode ini merupaka puncak lahirnya karya – karya besar dalam berbagai peulisan dan pemikiran, ditandai antara lain dengan lahirnya kitab kumpulan hadits dan fikih (dari berbagai mazhab).
Dalam periode ini lahir mazhab – mazhab (aliran – aliran) dibidang fikih (hukum) yang kemudian menyebar dan diikuti oleh umat islam diberbagai belahan dunia sampai sekarang. Diantara pendiri mazhab – mazhab itu antara lain: 
1. Imam Ja’far Al Shadiq (699 – 765 M)
2. Imam Abu Hanifah ( 699 – 767 M )
3. Imam Malik bin Annas (712 – 795 M)
4. Imam Syafi’i (769 – 820 M)
5. Imam Ahmad Ibn Hanbal ( 780 – 855 M )
Dan periode ini muncul usaha untuk menghimpun hadis Nabi, sebagai acuan dalam penetapan hukum setelah Al-Quran. Hasil dari usaha tersebut lahirlah kitab – kitab himpunan hadis, terutama 6 kitab hadis terkemuka ( al – kutub al – sittah. Yang termasuk ke dalamnya adalah:
1. Shahih Bukhari
2. Shahih Muslim
3. Sunnah An-Nasa’i
4. Sunnah Abu Daud
5. Sunnah At-Tirmidzi
6. Sunah Ibnu Majah

Periode keempat masa Kemunduran

Periode keempat merupakan masa kemunduran, yang berlangsung dari abad 10/11 M – 19 M. Sejak abad 10 M, yaitu pada akhir khalifah Abbasyiah, hukum islam tidak lagi berkembang. Para ahli hukum islam tidak lagi menggali hukum islam dari sumber utamanya (Al-Quran), mereka lebih banyak sekedar pengikut dan mempelajari pikiran dan pendapat dalam mazhabnya yang telah ada.
Pada masa ini berkembang sikap taklid (mengikuti pendapat atau suatu mazhab tanpa mengetahui alasan – alasan atau dasar – dasarnya) dan hilangnya semangat ijtihad. Malahan timbul suatu pendapat bahwa pintu ijtihad sudah tertutup, akibatnya timbul gejala bid’ah khurafat yang merusak kemurnian agama karena kurangnya pengetahuan tentang hakikat islam yang sebenarnya. 

Kemunduran islam disebabkan oleh faktor internal dan eksternal : 
Faktor internal antara lain berkembangnya ke takhayulan dan mistik yang merusak kemurnian tauhid, munculnya penyelewengan, penyalah gunaan wewenang yang merugikan umat, serta munculnya kejuhudan (kebekuan) berpikir, meninggalkan semangat ijtihad dengan munculnya sikap taklid.  
Faktor eksternal antara lain disebabkan gencarnya opensif dunia kristen Eropa dan serbuan Mongol dari Tartar Asia Tengah untuk menguasai wilayah pemerintahan islam, di tengah – tengah umat islam sedang menghadapi kelesuan dalam bidang pemikiran. Opensif masyarakat Eropa untuk menguasai wilayah islam berlangsung pada saat memasuki masa renaisance, yaitu masa kebangkitan dan berkembangnya kemajuan ilmu pengetahuan di kalangan mereka. 

Periode Kelima Masa Pembeharuan dan Kebangkitan

Periode kelima pada abad ke 19 M, merupakan kebangkitan kembali umat islam, sebagai jawaban terhadap periode sebelumnya. Periode kebangkitan ini ditandai dengan gerakan pembaharuan pemikiran yang kembali kepada kemurnian ajaran islam. 
Angin pembaharuan ini sebenarnya sudah berhembus sejak awal abad ke – 14, dengan lahirnya beberapa tokoh pembaharu, yang terus berkembang sampai sekarang. Tokoh – tokoh yang muncul nsebagai pembaharu pemikiran islam antara lain :
1. Ibn Taimiyah ( 1263 – 1328);
2. Ibn Qoyyim Al – Zaujiyah (1292 – 1356);
3. Muhammad Ibn Abd. Wahab (1703 – 1787);
4. Jamaluddin Al – Afghani (1839 – 1897);
5. Muhammad Abduh (1849 – 1905);
6. Rasyid Ridla (1865 – 1935).
Gerakan pembaharuan pada intinya menyerukan untuk kembali pada sumber utama ajaran islam yaitu Al–Quran dan sunnah rasulnya. Pintu ijtihad dibuka kembali sebagaimana pernah dilaksanakan oleh para mujtahid pada periode ke – 3.
Resonalisi gerakan pembaharuan yang merupakan era kebangkitan umat islam menggema dan sampai juga kebelahan dunia lain, termasuk ke Indonesia (Hindia Belanda). Gerakan umat islam Indonesia ditandai antara lain dengan munculnya organisasi keagamaan seperti:  Jami’at Al–Khair di Jakarta pada tahun 1905, Sarekat Dagang Islam, di Solo tahun 1905 yang kemudian menjadi partai politik dengan nama Sarekat Islam pada tahun 1912, muhamadiyah di Yogyakarta tahun 1912, Al – Irsyad di Jakarta tahun 1914, Nahdatul Ulama di Surabaya tahun 1926, Persatuan Islam Bandung tahun 1930. 

Munculnya Madzhab
Mengenai madzhab Mohammad Abduh mengatakan bahwa aliran-aliran pikiran yang berbeda dalam suatu masyarakat adalah biasa. Namun kefanatikan terhadap salah satu aliran atau satu madzhab itulah yang keliru karena dapat membahayakan persatuan dan kesatuan umat islam. Kefanatikan terhadap suatu mazhab akan membuat meraka menganggap hanya pendapat madzhab merekalah yang yang benar menyebabkan terpecahnya ke dalam pecahan-pecahan (firkah-firkah) karena dalam masa ini diperbolehkan berijtihad dan banyak muncul hadist dhaif.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan 

Sejarah pertumbuhan dan perkembangan hukum islam itu dimulai pada masa Nabi Muhammad ketika beliau menyebarkan agama islam, kemudian setelah Nabi dilanjutkan oleh para sahabat dan tabi’in, hukum islam memiliki sumber Al-Qur’an dan sunnah dan juga kalau dari sunnah tidak ada maka para sahabat berkumpul dan mengeluarkan ijtihat sehinnga dapat keputusan hukum yaitu ijmak para sahabat.
Kemudian ketika para khulafaur rasyidin memimpin hukum islam juga mengalami kemajuan karena seperti pada masa Umar yang mencuri maka dipotong tangannya sesuai dengan yang tertera dalam Al-Qur’an, namun pada masa Ali telah muncul banyak maslah yaitu terpecahnya umat islam kepada beberapa golongan yang menyebabkan Ali tidak dapat berbuat banyak dalam menembangkan hukum islam.
Pada masa akhir Bani Umayyah dan awal Bani Abbasiyah merupakan masa keemasan umat islam karena banyak berkembangnya berbagai ilmu pengetahuan dan juga disebut masa perkembangan dan pembukuan, kemudian setelah masa keemasan umat islam mengalami kemunduran yang berlangsung dari abad 10/11 M – 19 M. Sejak abad 10 M, yaitu pada akhir khalifa Abbasyiah, hukum islam tidak lagi berkembang. Para ahli hukum islam tidak lagi menggali hukum islam dari sumber utamanya (Al-Quran), mereka lebih banyak sekedar pengikut dan mempelajari pikiran dan pendapat dalam mazhabnya yang telah ada.
Setelah itu barulah umat islam bangkit kembali yaitu pada masa periode kebangkitan ini ditandai dengan gerakan pembaharuan pemikiran yang kembali kepada kemurnian ajaran islam. 
Pembaharuan ini sebenarnya sudah berhembus sejak awal abad ke – 14, dengan lahirnya beberapa tokoh pembaharu, yang terus berkembang sampai sekarang.  

B. Saran

Saran yang lahir dari pembahasan diatas adalah :

1. Dengan adanya berbagai tahap-tahap dalam sejarah perkembangan dan pertumbuhan hukum islam maka ada berbagai macam pula sumber hukum yang ada, yaitu dari masa Nabi hingga sekarang, walaupun yang paling utama adalah Al-Qur’an dan hadist akan tetapi semakin berkembangnya zaman dan ilmu pengetahuan mengharuskan untuk adanya ijma’ dan qiyas dari para sahabat dan para ulama, sehingga muncullah mazhab-mazhab yag sering kali menimbulkan hal-hal yang mengarah pada perdebatan yang membenarkan mazhabnya masing-masing, hal itu disebabkan oleh kefanatikan para pengikutnya sendiri bukan dari para ulamanya, jadi untuk terwujudnya suatu  umat yang bersatu dan kuat, maka kita harus menghilangkan kefanatikan kita terhadap anggapan bahwa mazhab kitalah yang paling benar sehingga dapat terciptanya kesatuan dalam umat islam.  
2. Bagi pembaca diharapkan agar dapat menambah wawasan tentang sejarah pertumbuhan dan perkembangan hukum islam.
3. Bagi penulis diharapkan juga agar dapat terus menggali informasi akan perkembangan hukum islam pada masa sekarang.
 

DAFTAR PUSTAKA

Usman, Suparman, H, Prof, Dr, S.H. Hukum Islam, Jakarta: PT. Gaya Media Pratama, cet ke 1, Tahun 2001
Sukardja, Ahmad, Prof. Dr. M.A, S.H, Hukum Islam dan Sistem Masyarakat di Indonesia, Makalah Pada Seminar Nasional Hukum Islam dan Pranata Sosial, Serang: Fakultas Syari’ah IAIN Serang, 1997
Hanafi,A,M.A, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1980, cet ke 1
Ali, Mohammad Daud, H, Prof, S.H : Hukum Islam, Pengantar Hukum Islam dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 
library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/5/jtptiain-gdl-s1
Wahhab Khallaf, Abdul, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002
Muhammad Ali Sayis, Tarikh al-fiqh al-Islamy, terj. Nurhadi, Sejarah Fikih Islam, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2003
Ali As-Sayis, Muhammad, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, Jakarta: Akademia Pressindo, 1996
https://baehaqiarif.files.wordpress.com
Solihin Salam, Sejarah Islam di Jawa, Jakarta : Jayamurni, 1964
Ruslan Abd. Gani, Sejarah Perkembangan Islam, Jakarta : Pustaka Antar Kota, 1983
Muhammad Jawal Mugniyah, al-Fiqh ‘ala Madzhabi al-Khams, (terj.), Jakarta: PT. Lentera Basritama, 1996   
Mun’im A. Sirry, Sejarah Fikih Islam, Surabaya: Risalah Gusti, 1995
M. Hudhari Bik, Tarikh Tasyri’ al-Islamy, Terj. Mohammad Zuhri, Sejarah, Pembinaan Hukum Islam, Indonesia: Dar al-Ihya, 1980.
Read More

Rabu, 27 Februari 2019

MAKALAH SEJARAH BERDIRINYA MUHAMMADIYAH

Februari 27, 2019 0




Suatu hal yang menarik bagi penelitian dan pengembangan agama adalah proses interaksi antara keagamaan dengan kebudayaan lokal, bahkan dewasa ini juga dengan kebudayaan nasional Indonesia. Interaksi antara dua lingkungan budaya tentu menimbulkan proses saling mempengaruhi dan saling menyerap atau disebut akulturasi. Sebagaimana sebelum agama-agama datang, penduduk Nusantara mempunyai kepercayaan bahwa bukan hanya manusia yang berjiwa, tumbuh-tumbuhan dan hewan pun berjiwa. Mereka juga mempercayai dan menyembah arwah orang yang sudah meninggal karena ada anggapan bahwa orang yang sudah meninggal mempunyai pengaruh yang kuat dan langsung terhadap orang-orang yang masih hidup.[1]
Gerakan pembaharuan (modernisme) yang terjadi di Indonesia, lahir akibat kondisi umat Islam Indonesia mengalami kemunduran secara sistematis, yang di tandai dengan hilangnya semangat untuk menangani permasalahan yang terjadi dalam hidup keseharian, seperti kebodohan, kemiskinan, ketertindasan, dan keterbelakangan. [2] Untuk mengatasi fenomena tersebut terbentuklah Persyarikatan Muhammadiyah yang bergerak di bidang sosial-keagamaan pada tanggal 18 November 1912 M di Yogyakarta.[3]
Persyarikatan ini didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan sebagai respon terhadap kenyataan sosial-budaya dan sosial-keagamaan bangsa Indonesia saat itu. Penghayatan yang mendalam terhadap sumber ajaran Islam yaitu al-Qur’an, telah memberikan inspirasi dan juga semangat baginya untuk  berdakwah.[4]

Ada dua faktor yang melatarbelakangi lahirnya gerakan ini, yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal, gagasan pembaharuan islam Timur Tengah yang dikembangkan oleh Jamaludin al-Afghani, Syeikh M. Abduh dan penerusnya Rasyid Ridha berkaitan dengan aliran “skrituralisme” yaitu aliran yang menyerukan kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah dalam menentukan hal yang merupakan ajaran dan praktik Islam yang sesungguhnya.[5]
Sedangkan faktor internal, berkaitan dengan kondisi kehidupan keagamaan kaum Muslim Indonesia, yaitu Pertama, umat Islam tidak memegang teguh al-Qur’an dan Sunnah, kultur setempat yang bertentangan dengan agama, yaitu mencampuradukkan antara tradisi dan hukum agama, akibatnya banyak yang percaya tahayul, kufarat, dan bid’ah. Kedua, kondisi politik bisa menjadi pemicu berdirinya Muhammadiyah. Pada saat itu PKI berusaha merebut pengaruh dalam kehidupn masyarakat, buruh-buruh dan pedagang, karena itu masyarakat Islam Jakarta Timur mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah. Ketiga, kemiskinan menimpa rakyat Indonesia.Keempat, pendidikan juga menjadi pemicu lahirnya Muhammadiyah di wilayah ini. Sekolah swasta Islam yang ada pada waktu itu cukup minim jumlahnya, sedangkan kondisi masyarakat membutuhkan sekolah yang memuat jam pelajaran agama Islam yang lebih banyak.[6]
Melalui tulisan ini, penulis ingin mengetahui lebih jauh eksistensi Muhammadiyah, berawal dari sejarah terbentuknya, pengaruh keberadaannya terhadap masyarakat, kegiatan Muhammadiyah, serta peran Muhammadiyah bagi masyarakat Islam.

BAB II
RIWAYAT HIDUP


2.1.      Profil KH. Ahmad Dahlan
Kiyai Haji Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis lahir di Yogyakarta, pada tanggal 1 Agustus 1868, meninggal di Yogykarta pada tanggal 23 Februari 1923 pada usia 54 tahun dan dimakamkan di KarangKajen. Ia adalah seorang pahlawan Nasional Indonesia. KH. Ahmad Dahlan adalah putra keempat dari tujuh bersaudara yang keseluruhan saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya. dari keluarga KH. Abu Bakar yang seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kesultanan Yogyakarta pada masa itu, dan ibu dari KH. Ahmad Dahlan adalah puteri dari H. Ibrahim yang juga menjabat sebagai penghulu Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat pada masa itu pula.[7]
Ketika lahir, KH. Abu Bakar memberi nama si anak dengan Muhammad Darwis yang kemudian menjadi Ahmad Dahlan setelah ia kembali dari Mekah. Diusia balita, Darwis sudah diperkenalkan dengan pendidikan agama. Yang pertama kali menggemblengnya adalah ayahnya sendiri, lalu para kiyai di sekitar Yogyakarta.[8]
KH. Ahmad Dahlan termasuk keturunan yang ke-12 dari Maulana Malik Ibrahim, salah seorang yang terkemuka diantara Walisongo, yaitu pelopor penyebaran islam di jawa[9]. Silsilahnya ialah Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishq, Maulana ‘Ainul Yaqin, Maulana Muhammad Fadlullah (sunan Prapen), Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (djatinom), Demang Djurung Djuru Sapisan, Demang Djuru Djuru Kapindo, Kyai Ilyas, Kyai Murtadla, KH. Muhammad Sulaiman, KH. Abu Bakar, dan Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan).[10]
Sebagaimana umumnya anak-anak kyai, KH. Ahmad Dahlan belajar ilmu-ilmu agama dan bahasa arab. Dengan bekal bahasa arab dan ilmu-ilmu agama yang diperolehnya di Yogyakarta itu, pada usia 15 tahun ia menunaikan ibadah haji pada tahun 1888 dan tinggal di Mekkah selama 5 tahun.
Keinginannya yang dalam untuk memajukan Islam, membuat Ahmad Dahlan aktif mencari ilmu diberbagai jamiah dan organisasi. Seperti di jamiah Khoir (kumpulan keturunan Arab), Budi Utomo, dan Serikat Islam.[11]
Di bumi Mekah inilah ia memperdalam ilmu-ilmu keislamannya seperti ilmu qiraat, fiqih, tasawuf, ilmu mantiq, ilmu falaq, aqidah dan tafsir. Pada periode ini KH. Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibn Taimiyah. Pada tahun 1902 ia kembali ke kampung halamannya.[12]
Sepulang dari Mekah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, KH. Ahmad Dahlan memiliki enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah.[13]
Disamping itu, KH. Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. Ia juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. Kemudian ia juga pernah menikah dengan Nyai Aisyah Cianjur, yaitu adik Adjengan Penghulu, ia mempunyai seorang putera dari perkawinannya ini yang bernama Dandanah. Ia pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta.
Terlihat bahwa KH. Ahmad Dahlan beristrikan lebih dari satu, tentu ini menimbulkan tanda tanya. Namun pada kenyataannya, pada masa KH. Ahmad Dahlan hidup, banyak para lelaki yang beristrikan lebih dari satu dan hal ini bukan merupakan suatu kejanggalan, tetapi hal yang lumrah sering terjadi. Kini konteks dan cara pikirnya berbeda, sehingga poligami dapat menjadi kontroversi di sebahagian kalangan kaum muslim. Bahkan di kecamatan Tanggulangin, kabupaten Siduarjo, Jawa Timur ada sebuah jalan yang bernama Jalan Wayoh yang berarti Jalan Poligami. Jalan ini sebelumnya bernama Jalan KH. Ahmad Dahlan yang kemudian di ubah oleh warga menjadi Jalan Wayoh.

2.2       Profesi dan Perjuangan
Sepulang belajar dari Mekah, Ahmad Dahlan menjadi staf pengajar agama di kampungnya, Kauman. Ia juga mengajar di sekolah negeri, seperti Kweek School (Sekolah Raja) di Jetis (Yogyakarta) danOpleiding School voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA), sekolah pendidikan untuk pegawai pribumi di Megelang.
Profesi Ahmad Dahlan selain mengajar ia juga bertabligh dan berdagang. Ia berdakwah dari suatu tempat ke tempat lain. Ia juga seorang pedagang yang pernah berniga di Jakarta dan Surabaya, bahkan sampai ke Medan. Ia juga tetap menambah ilmu dengan mendatangi ulama. Mula-mula ia menjabat sebagai pegawai mesjid Sultan, kemudian ia mengajar di pesantrennya sendiri. Ilmu dan ketokohannya menjadikan pesantrennya dikunjungi oleh pelajar-pelajar dari berbagai tempat.[14]
Nama KH. Ahmad Dahlan cukup termahsyur sebagai tokoh pendiri Muhammadiyah, sehingga organisasi ini menjadi organisasi kemasyarakatan kedua setelah NU. Organisasi yang dipimpinnya ini kemudian lebih banyak mengembangkan sektor pendidikan modern di seluruh Indonesia.

2.3.      Pahlawan Nasional
Atas jasa-jasa KH. Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran bangsa Indonesia melalui pembaharuan islam dan pendidikan, maka pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional dengan surat Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961. Dasar-dasar penetapan itu ialah sebagai berikut:
1.      KH. Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan umat islam untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat
2.      Dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak memberikan ajaran islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut kemajuan, kecerdasan, dan beramal bagi masyarakat dan umat, dengan dasar iman dan islam
3.      Dengan organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori amal usaha social dan pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa, dengan jiwa ajaran islam
4.      Dengan organisasinya, Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiyah) telah mempelopori kebangkitan wanita indonesi untuk mengecap pendidikan dan berfungsi social, setingkat dengan kaum pria.

2.4.      Film
Kisah kehidupan dan perjuangan KH. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah diangkat ke layar lebar dengan judul Sang Pencerah. Tidak hanya menceritakan tentang sejarah kisah Ahmad Dahlan, film ini juga bercerita tentang perjuangan dan semangat patriotism anak muda dalam mempresentasikan pemikiran-pemikirannya yang dianggap bertentangan dengan pemahaman agama dan budaya pada masa itu, dengan latar belakang suasana Kebangkitan Nasional.



BAB III
PEMBAHASAN

3.1.      Latar Belakang Lahirnya Muhammadiyah
Nama Muhammadiyah secara etimologi, berasal dari bahasa Arab  Muhammad, yakni Nabi dan Rasul Allah yang terakhir, mendapatkan ya nasabiyah berati menjeniskan. Muhammadiyah berarti umat Muhammad SAW atau pengikut Nabi Muhammad. Semua orang Islam yang mengakui dan meyakini bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah SWT yang terakhir. Dengan demikian, siapapun yang mengaku beragama Islam maka mereka orang Muhammadiyah, tanpa harus dilihat adanya perbedaan organisasi, golongan, bangsa, geografis, etnis dan sebagainya.
Secara terminologi, Muhammadiyah merupakan gerakan Islam,dakwah amar ma’ruf nahi munkar, didirikan oleh KH Amad Dahlan 18 November 1912 di Yogyakarta, berazaskan Islam, bersumber pada Al Qur’an dan Sunah. Pemberian nama Muhammadiyah dengan maksud berpengharapan baik (bertafa’ul), mencontoh dan menteladani jejak perjuangan Nabi Muhammad SAW. Semua ditujukan demi terwujudnya kejayaan Islam, sebagai idealitas dan kemuliaan hidup umat Islam sebagai realitas.[15]
Ditinjau dari faktor-faktor yang melatar belakangi lahirnya Muhammadiyah, secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua :
Pertama, faktor subyektif. Yaitu pendalaman Ahmad Dahlan menelaah, membahas dan mengkaji kandungan isi Al Qur’an. Dahlan bersungguh-sungguh dalam melaksanakan firman Allah sebagaimana tersimpul dalam surat An-Nisa ayat 82 dan surat Muhammad ayat 24, yakni melakukan taddabur atau memperhatikan, mencermati dengan penuh ketelitian terhadap apa yang tersirat dalam setiap ayat. Sikap ini sama ketika Ahmad Dahlan mengkaji surat Ali Imran ayat 104:
`ä3tFø9ur öNä3YÏiB ×p¨Bé& tbqããôtƒ n<Î) ÎŽösƒø:$#tbrããBù'tƒur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ tböqyg÷Ztƒur Ç`tã Ìs3YßJø9$# 4y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd šcqßsÎ=øÿßJø9$# ÇÊÉÍÈ  
Artinya: “dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”. (QS. Ali Imran: 104)

Kedua, faktor obyektif. Faktor ini diklasifikasikan menjadi faktor internal, faktor-faktor penyebab yang muncul di tengah-tengah kehidupan masyarakat Islam Indonesia dan faktor eksternal, faktor-faktor penyebab yang ada di luar tubuh masyarakat Indonesia.
Faktor obyektif bersifat internal disebabkan oleh dua hal,pertama, ketidakmurnian amalan Islam akibat tidak dijadikannya Al Qur’an dan Sunah sebagai satu-satunya rujukan oleh sebagian umat Islam Indonesia. Tidak dipungkiri masuknya Islam di Indonesia sudah didahului berbagai aliran dan agama lain, baik  Hindu maupun Budha. Sehingga, seringkali ajaran-ajaran tersebut tidak sengaja menempel pada tubuh ajaran Islam. Dalam kehidupan beraqidah (keyakinan hidup), agama Islam mengajarkan untuk memilih tauhid yang murni, bersih dari bermacam syirik, bid’ah dan khurofah.
Namun dalam prakteknya banyak orang Islam percaya pada benda-benda keramat, sesajian, meminta berkah di kuburan, ramalan dukun, bintang serta berbagai ritual yang tidak diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam urusan doa, banyak umat Islam yang menggunakan perantara (washilah) yang menghubungkan dirinya dengan Allah SWT, seperti bertawasul pada Syaikh Abdul Qodir Jaelani, Nabi, Malaikat, Wali dan lainnya. Padahal ini tidak ada dalam ajaran Islam, lihat Qur’an Surat Az Zumar, ayat 3.
Ÿwr& ¬! ßÏe$!$# ßÈÏ9$sƒø:$# 4 šúïÏ%©!$#ur (#räsƒªB$#ÆÏB ÿ¾ÏmÏRrߊ uä!$uŠÏ9÷rr& $tB öNèdßç6÷ètR žwÎ)!$tRqç/Ìhs)ãÏ9 n<Î) «!$# #s"ø9ã ¨bÎ) ©!$# ãNä3øtsóOßgoY÷t/ Îû $tB öNèd Ïm‹Ïù šcqàÿÎ=tGøƒs 3 ¨bÎ) ©!$# Ÿw“Ïôgtƒ ô`tB uqèd Ò>É»x. Ö‘$¤ÿŸ2 ÇÌÈ  
Artinya: “Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan Kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya". Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar”.

Kedua, lembaga pendidikan Islam belum mampu menyiapkan generasi yang siap mengemban misi selaku “Khalifah  di muka bumi “. Ahmad Dahlan memandang Pondok Pesantren sebagai satu lembaga pendidikan khas umat Islam Indonesia masih ada kekurangan. Kalau pada awalnya sistem pondok pesantren hanya membekali para santrinya dengan ilmu-ilmu agama, maka penyempurnaannya dengan memberikan ilmu-ilmu pengetahuan umum. Dengan  demikian akan lahir dari lembaga pendidikan ini manusia yang bertaqwa kepada Allah, cerdas dan terampil. Dalam  terminologi Al Qur’an disebut “ Ulul Albab “.
Faktor obyektif yang bersifat eksternal diakibatkan oleh tiga hal, yaitu:
1.      Semakin meningkatnya kristenisasi di tengah masyarakat Indonesia.[16] Masa penjajahan baik, Spanyol, Portugal dan Belanda sama-sama mengibarkan panji-panji gold, glory dangospel. Untuk gospel sendiri, misionaris Kristen yang disebar bertujuan mengubah agama penduduk yang Islam ataupun yang bukan menjadi Kristen. Tingginya arus kristenisasi terjadi pada pemerintahan Hindia Belanda, Gubernur Jenderal A.W.F Idenburg, (1909-1916), Idenburg melancarkan program yang lebih popular dengan sebutan “Kristenisasi Politik”.
2.      Penetrasi bangsa-bangsa Eropa, terutama bangsa Belanda di Indonesia. Masuknya kebudayaan, peradaban dan keagamaan Eropa setidaknya berpengaruh buruk pada bangsa Indonesia. Lahirnya sifat Individualistik, diskriminatif dan dasar-dasar agama yang sekuler menjadikan generasi baru bangsa Indonesia yang acuh tak acuh pada ajaran Islam. Simbol ke-Islaman yang mereka pakai dirasa sebagai sesuatu yang tidak modern.
3.      Pengaruh dari gerakan pembaharuan dalam dunia Islam. Muhammadiyah dibangun dari mata rantai yang panjang dari gerakan pembaharuan Islam. Dimulai dari Ibnu Taimiyah, Muhammad Ibnu Abdul Wahhab, Muhammad Abdul, Jamaludin Al Afghani dan Rasyid Ridha. Lewat merekalah dan tokoh-tokoh lainnya yang sepaham, Ahmad Dahlan mendapatkan arah pembaharuan dan pemurnian ajaran Islam.[17]
Syaifullah mengklasifikasikan latar belakang lahirnya Muhammadiyah menjadi empat. Pertama, aspirasi Islam Ahmad Dahlan. Untuk mengetahui hal ini bisa dilihat dalam dua fase. (a).setelah Ahmad Dahlan menunaikan ibadah haji yang pertama (1889).(b). setelah menunaikan haji yang kedua (1903).  Kedua, realitas sosial-agama di Indonesia. Munculnya kepercayan dan agama-agama sebelum Islam di Indonesia menyebabkan proses masuknya Islam melalui akulturasi dan sinkretisme. Ketiga, realitas sosio-pendidikan. Muhammadiyah lahir sebagai penengah antara pendidikan pesantren dan pendidikan sekelur. Keempat, realitas politik Islam Hindia Belanda. Belanda menghadapi kenyataan bahwa sebagian besar pribumi beragama Islam, sehingga perlawanan penduduk yang timbul, seperti perang Diponegoro, Padri, Aceh dan lain-lain, tidak lepas dari ajaran Islam.[18]
Perjalanan dakwah Muhammadiyah, dalam pasang surut sejarah Indonesia dari tahun 1912 (setelah Ahmad Dahlan) sampai sekarang, telah melalui dua belas kali pergantian pucuk pimpinan. Untuk menggambarkan perkembangan dan prestasi dakwah mereka dalam Muhammadiyah bisa dilihat sebagai berikut.
1.      Periode K.H Ahmad Dahlan (1912-1923). Semasa menjadi pendiri dan ketua Muhammadiyah prestasi-prestasi Dahlan antara lain, mendirikan macam-macam sekolah-madrasah, meningkatkan derajat kaum wanita, mendirikan Hizbul Wathon, menerbitkan majalah “Sworo Muhammadiyah”, menganjurkan kesederhanaan, persatuan Islam Indonesia, dan kepekaan terhadap kehidupan sosial.
2.      Periode KH. Ibrahim (1923-1932). Selama sembilan tahun memimpin Ibrahim telah menggalang “Fond Dahlan”, khitanan massal, badan perbaikan perkawinan, mengirim putra-putri lulusan sekolah Muhammadiyah keseluruh pelosok tanah air. Seperti, HAMKA ke Makasar (1928) R.Z. Fanani ke Sumatera Selatan, A.R. Fakhrudin ke Medan, Badilah Zuber ke Palembang, dan meyelenggarakan konggres Muhammadiyah ke XV sampai XX dan terakhir konggres XXI di Makassar 1932.
3.      Periode KH. Hisyam (1932-1936). Ia telah mengadakan konggres Muhammadiyah ke XXIII 1934, dan menghasilkan keputusan-keputusan diantaranya, pergantian nama-nama Belanda menjadi nama Indonesia, konggres Muhammadiyah XXIV 1935 dan XXV 1936, memutuskan berdirinya Perguruan Tinggi atau Sekolah Tinggi.
4.      Periode Mas Mansur (1936-1942). Prestasi dakwah  Mas Mansur diantaranya, pengaktifan majelis tarjih, sehingga mampu merumuskan masalah lima, (dunia, agama, qiyas, sabilillah, dan ibadah). Kemudian lahirnya 12 langkah gerak Muhammadiyah, mengadakan konggres XXVI-XXIX, dengan keputusan membentuk Bank Muhammadiyah.
5.      Periode Ki Bagus Hadi Kusuma (1942-1953). Beliau mampu menyusun muqodimah AD Muhammadiyah dengan 7 pokok idiologi Muhammadiyah, mengadakan Muktamar Darurat (1944), silaturrahmi cabang-cabang Muhammadiyah se-Jawa dan sidang tanwir yang memutuskan diperbolehkannya anggota Muhammadiyah masuk partai politik yang beridiologi Islam dan menjadi DPR untuk kepentingan Muhammadiyah.
6.      Periode A.R.Sutan Mansur (1952-1959). Dakwah kepemimpinannya lebih menekankan pada ruh tauhid yang ditanamkan kembali (Khittah Pelembang). Sidang tanwir 1955, membicarakan pokok-pokok konsepsi negara Islam, dan penegasan kembali bahwa Muhammadiyah bergerak dalam bidang kemasyarakatan, sedang masalah aspirasi politik dianjurkan masuk Mashumi, sebagaimana hubungan baik Muhammadiyah dan Mashumi.
7.      Periode H.M. Yunus Anis (1959-1968). Sembilan tahun memimpin Yunus telah merumuskan pedoman keputusan Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah amar ma’ruf nahi mungkar dalam bidang kemasyarakatan.
8.      Periode KH. Ahmad Badawi (1962-1968). Fatwa dakwahnya yang terkenal, membubarkan PKI merupakan ibadah karena menyelamatkan Muhammadiyah dari kehancuran, akibat perkawinan PKI dan PNI pada Masyumi.
9.      Periode kepemimpinan K.H Faqih Usman  dan H.A.R Fakhrudin (1968-1971). Faqih Usman meninggal dunia setelah satu minggu diangkat menjadi ketua PP Muhammadiyah, sehingga pejabat sementara dipegang A.R Fakhrudin. Selama periode pertama Fakhrudin, melahirkan Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah.
10.  Periode A.R Fakhrudin (1971-1990). Bisa dikata Ia memimpin Muhammadiyah selama dua periode dan paling lama. Prestasi dakwah A.R. Fakhrudin antara lain, melakukan pendekatan denganpenguasa Orde Baru, membidani lahirnya Partai Muslimin Indonesia, perubahan Anggaran Dasar Muhammadiyah dan terkonsolidasinya berbagai majelis yang ada di tubuh Muhammadiyah.
11.  Periode KH. Azhar Basyir, MA (1990-1995). Prestasi dakwah Azhar diantaranya, perumusan tiga program persyarikatan jangka panjang (25 tahun) Muhammadiyah yang meliputi, pertama, bidang konsolidasi gerakan, kedua, bidang pengkajian dan pengembangan organisasi dan ketiga, bidang dakwah pendidikan dan pembinanan kesejahteraan umat.
12.  Periode Prof. Dr.Amin Rais (1995–2000). Prestasi dakwah yang dikembangkan dan dihasilkan oleh Amin diantaranya, memajukan manajemen Muhammadiyah, pendidikan, pengkaderan, dakwah masyarakat diberbagai bidang dan peningkatan dana organisasi. Kepemimpinan  Amin Rais hanya tiga tahun, meski dulu beliau pernah berkomitmen untuk membawa Muhammadiyah sampai tahun 2000. Namun pada 23 Agustus 1998, sehari setelah Rapat Pleno PP Muhammadiyah, Amin Rais diberi izin untuk memimpin Partai Amanat Nasional (PAN) dan melepaskan jabatan Ketua PP Muhammadiyah.[19]
13.  Periode Prof. Dr. Syafi’i Ma’arif. (2000-2005). Syafi’i tampil sebagai Pejabat Ketua PP Muhammadiyah dari hasil Sidang Tanwir Muhammadiyah di Semarang tahun 1998, setelah lengsernyaAmin Rais. Kemudian diangkat menjadi Ketua PP Muhammadiyah pada periode lima tahun selanjutnya melalui Muktamar Muhammadiyah. Prestasi dakwah beliau pada dasarnya melanjutkan program kerja periode sebelumnya. Iklim reformasi dan euforia politik yang muncul di Indonesia, mengharuskan beliau mengerem, agar anggota-anggota Muhammadiyah tidak terjebak pada demam partai, tapi mengarahkan pada aturan main organisasi[20]
Perjalanan panjang dakwah Muhammadiyah sebagaimana paparan di muka telah melahirkan berbagai tanggapan dan komentar dari berbagai pihak. Pendeknya, gerakan Muhammadiyah masuk kedalam kombinasi berbagai penamaan dan pensifatan. Muhammadiyah sebagai gerakan puritan, modernis, salafi dan sosial–politik, yang  lebih memfokuskan kepada berbagai aspek kehidupan di Indonesia. Ia tidak membatasi diri kepada dakwah dalam pengertian sempit, tetapi mengambil peran dalam segala aspek perkembangan masyarakat. Alfian memberi komentar, Muhammadiyah sedikitnya memiliki peran dalam tiga dataran, sebagai gerakan pembaharuan, sebagai agen perubahan sosial dan sebagai kekuatan politik.[21]
3.2.            Sejarah Singkat Dakwah Muhammadiyah
3.2.1.            Alur Pertama
Gagasan dakwah Ahmad Dahlan muncul dan diilhami dari semangat pemurnian (purifikasi) dan pembaharuan (reformasi) ajaran agama serta pemahaman yang mendalam terhadap Al-Qur’an.
Semangat purifikasi Dahlan lahir setelah menunaikan haji yang pertama  (1889) dan reaksi terhadap fenomena degredasi tauhid dan moral yang terjadi pada masyarakat Islam, khususnya Jawa. Umat dilanda praktek-praktek keagamaan yang mengarah pada syirik, khurafat, tahayul, dan bid’ah,seperti pergi kedukun, tempat keramat, meramal bintang, memakai jimat, menyembah pepohonan dan lain-lain.
Gagasan pembaharuan Ahmad Dahlan meliputi lima hal.Pertama, pembetulan arah kiblat, yang biasanya menghadap arah barat diubah menjadi arah barat laut sesuai dengan perhitungan ilmu falaq. Kedua, penghitungan 1 Syawal atau hari raya Idhul Fitri. Masyarakat sering menggunakan sistem ABOGE, yaitu sistem perhitungan Jawa, yang menggabungkan tiga kata, A-alif (huruf pertama Hijaiyah) , BO-Rebo (nama hari Jawa) GE-Wage (pasaran hari Jawa). Setelah itu Dahlan mengubahnya berdasarkan perhitungan ilmu hisab dan disetujui oleh Sultan. Ketiga, penolakan sagala praktek bid’ah dan khurafat. Keempat, mensintesiskan pendidikan Islam dengan pendidikan Barat yang sesuai jiwa Islam. Kelima, peka terhadap kehidupan masyarakat sebagaimana digariskan dalam surat Al Maun 1-7.[22]
3.2.2.            Alur Kedua
Secara eksplisit maupun implisit, gagasan Dahlan kemudian diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, baik sebagai khotib Masjid Kauman, guru di KweekSchool, anggota jamiah Al Khoir, penasehat agama Budi Utama maupun  Serikat Islam.
Dari sini kemudian muncul reaksi dari berbagai pihak untuk menyatukan gagasan-gagasan dakwah Dahlan yang tercecer dan belum terorganisir. Saran-saran muncul paling banyak dari murid-muridnya di Kweek school Jetis,dari keluarga, rekan-rekan sesama guru, seperti Sosro Sugondo dan Mas Raji dan beberapa anggota Budi Utomo. Mereka berkeinginan  agar sekolah yang didirikan di rumah Ahmad Dahlan dan ide-ide pembaharuannya bisa berkesinambungan di esok hari. Oleh karena itu perlu adanya organisasi permanen yang menaungi semuanya, makaberdirilah Muhammadiyah dan secara otomatis menyatulah gagasan-gagasan dakwah Ahmad Dahlan dalam Muhammadiyah.[23]
Rumusan awal organisasi, tujuan dan maksud berdirinya Muhammadiyah mencakup dua hal. Pertama, menyebarkan pengajaran kanjeng Nabi Muhammad SAW kepada penduduk Bumi Putera di dalam residen Yogyakarta. Kedua, memajukan hal-hal agama Islam kepada Anggota-anggotanya. Uraian sejarah dakwah Muhammadiyah di atas pada dasarnya tidak bisa lepas dari semangat purifikasi, pembaharuan  Islam dan telaah normatif Ahmad Dahlan, sebagai pendirinya.
3.3.            Corak Dakwah Muhammadiyah
Pengertian dakwah Islam Muhammadiyah sesuai dengan artian terminologi dan etimologi dakwah itu sendiri. Da’a, yad’u, da’watanyang berarti seruan, ajakan atau panggilan. Dalam mendiskripsikan terminologi dakwah, Muhammadiyah mempunyai beberapa definisi yang telah dirumuskan.
1.      Dakwah adalah segala aktifitas dan usaha untuk mengubah satu situasi tertentu kearah situasi lain yang  lebih baik sesuai dengan ajaran Islam.
2.      Dakwah merupakan usaha menyeru dan menyampaikan kepada perorangan dan seluruh umat. Konsepsi Islam tentang pandangan dantujuan hidup di dunia yang meliputi amar ma’ruf nahi munkar, dengan berbagai media dan cara yang diperbolehkan Allah SWT. Membimbing, mengamalkan dalam peri kehidupan perorangan, rumah tangga (urwah), masyarakat dan peri kehidupan bernegara.
3.      Dakwah adalah mengajak dan menyeru manusia atau masyarakat kepada ajaran Islam, dengan memberikan pengertian dan kesadaran akan kebenaran ajaran Islam, sehingga manusia atau masyarakat dapat menginsyafi akan kebaikan, kelebihan dan keutaman Islam bagi pembentukan pribadi utuh.[24]
Perjalanan dakwah purifikasi Islam pertama kali dilakukan oleh Hanbali yang dipelopori oleh Abu Muhammad Al Barbahari. Beberapa penyimpangan yang terjadi pada pada masa itu antara lain : pertama, penyimpangan aqidah, akibat pengaruh filsafat Yunani, sehingga muncul penyimpangan dalam masyarakat Islam dalam bentuk ilmu kalam dan filsafat. Penyimpangan ini dilakukan oleh Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Kedua, menjamurnya bid’ah dan khurafat dalam ritual umat Islam. Penyimpangan ini dilakukan oleh Syiah. Kedua tokoh abad 10 ini menyerukan untuk melakukan perlawanan terhadap penyimpangan dan kembali pada aqidah salaf.
Tokoh purifikasi kedua adalah Ibnu Taimiyah. Dia memandang Islam telah dikotori oleh tasawuf dan tarekat. Tarekat yang dimaksud mengetengahkan konsep wali, wasilah, dan karamah yang mengandung unsur khurafat dan syirik. Oleh karena itu Taimiyah mengajak umat menghilangkan penyimpangan-penyimpangan yang ada dan kembali kepada tauhid.
Corak dakwah lebih diartikan sebagai keseluruhan pola, warna atau kecenderungan dakwah Muhammadiyah. Adapun corak dakwah puritan  Muhammadiyah diharapkan akan tampak dan mewarnai  berbagai pola dakwah yang ada. Corak dakwah Muhammadiyah  meliputi aspek teologi, fiqh, gerakan sosialnya, respon terhadap misionaris Kristen dan komparasi dakwah dengan organisasi Islam Indonesia lainnya.
Awal pertumbuhan organisasi yang didirikan oleh Ahmad Dahlan lebih berorientasi pada ulama salaf yang ortodok dengan gerakan purifikasinya.[25] Sejalan kemudian Muhammadiyah tidak mengikatkan diri pada salah satu aliran yang ada, baik Mu’tazilah, Asy’ariyah maupun Maturidiyah. Meski sebagian besar umat Islam Indonesia secara teologis bermadzhab Asy’ariyah. Organisasi ini lebih memilih memotong garis madzhab dan bebas untuk menentukan jalan pikirannya sendiri (berijtihad) sebagai gerakan pemikiran yang dinamis.[26]
Perbedaan dakwah Muhammadiyah dengan Serikat Islam (SI) terletak pada bentuk dan cara berkompromi dengan Belanda. Kalau Muhammadiyah dengan cara mendirikan sekolah-sekolah model Belanda, menerima bantuan dari pemerintah Kolonial dan melakukan pendekatan budaya terhadap masyarakat. SI malah sebaliknya, melakukan pendekatan politik, tidak kooperatif dengan Belanda dan lebih terfokus pada masalah perdagangan dan perekonomian.[27]
Muhammadiyah dengan NU sama-sama sebagai gerakan kelas menengah. Dimana NU sebagai gerakan dan ortodok, yang menerima respons dari kalangan haji-haji kaya di desa. Sedang Muhammadiyah sebagai gerakan puritan dan reformis, mendapat respon dari kalangan pedagang dan pegawai.[28] Dalam dimensi keIslaman Muhammadiyah tidak bermazhab, sedang NU mempertahankan salah satu dari empat madzahab fiqh (Syafi’iyah). Untuk masalah I’tiqad NU berpegang pada Ahlus Sunah Waljama’ah.[29]
Sumatera Thawalib (ST) dan Muhammadiyah merupakan dua organisasi berbasis pendidikan. Sumatera Thawalib lahir sebagai respon para santri madrasah, surau Jembatan Besi Padang Panjang dan Surau Parabek Bukit Tinggi. ST bercorak nasionalis dan radikal, karena berusaha meneruskan perjuangan Paderi yang terbengkalai. Gerakan ini kemudian berpindah haluan menjadi partai politik, Partai Muslim Indonesia (PERMI), yang bertujuan meciptakan kemerdekaan Indonesia dan Islam jaya.[30]
Persatuan Islam (PERSIS) lebih radikal dalam berdakwah daripada Muhammadiyah. Dia menyerang kelompok tradisonalis, nasionalis dan sekuleris. Gaya pemikirannya mirip dengan Ibnu Taimiyah. Dari sisi pemurnian tauhid dan fiqh, hampir sama dengan Muhammadiyah.[31]



3.4.            Cakupan Dakwah Muhammadiyah
Kajian cakupan dakwah Muhamadiyah bisa diklasifikasikan menjadi tiga bagian. Pertama, doktrin Aqidah (teologi), kedua, Fiqh dan ketiga, sufisme-filsafat. Pembagian ini dilakukan untuk mensamakan pokok-pokok ajaran yang ada pada Muhammad Ibnu Abdul Wahhab.
3.4.1.      Doktrin Aqidah
Secara total dakwah Muhammadiyah memerangi penyimpangan ajaran Islam seperti, syirik, bid’ah khurafat dantaklid. Semua merupakan benalu yang dapat merusak aqidah dan ibadah seseorang. Dalam hal lain dakwah purifikasi Muhammadiyah juga mengalami perkembangan tidak hanya memurnikan ajaran Islam saja tetapi melakukan pembaharuan diberbagai sektor kehidupan, semacam penyantunan fakir miskin, pengelolaan Rumah Sakit, Qurban dan sebagainya.[32]
Adapun doktrin aqidah Muhammadiyah dibagi dalam tiga hal;
1.      Membahas tentang perbuatan manusia
“Adapun segala yang dilakukan manusia itu segalanya atas qadla danqadarNya. Sedang manusia sendiri hanya dapat berikhtiar. Dengandemikian segala ketentuan adalah dari Allah dan usaha adalah bagianmanusia. Perbuatan manusia ditilik dari segi kuasanya dinamakan hasilusaha sendiri. Tetapi dilihat dari segi kekuasaan Allah perbuatan manusia itu adalah ciptaan Allah.”
2.      Membahas tentang qadha dan qadhar
“Kita wajib percaya bahwa Allahlah yang telah menciptakan segalasesuatu dan Dia telah menyuruh dan melarang. Dan perintah Allah adalah kepastian yang telah ditentukan. Bahwasannya Allah telah menentukansesuatu sebelum Dia menciptakan segala kejadian dan mengatur segala yang ada dengan pengetahuan, ketentuan, kebijaksanaan dan kehendak. Adapun segala yang dilakukan manusia itu semua atas Qadla dan Qadar-Nya.”

3.      Membahas tentang sifat-sifat Tuhan
“Allah tidak menyuruh kita membicarakan hal-hal yang tidak tercapai akal dalam hal kepercayaan. Sebab akal manusia tidak mungkin mencapai pengertian tentang zat Allah dan hubungannya dengan sifat-sifat yang ada pada-Nya. Maka janganlah engkau bicarakan hal itu. Tidak ada kesangsian tentang adanya. Adakah orang ragu tentang Allah yang menciptakan langit dan bumi?”[33]
3.4.2.      Doktrin Fiqh
Muhammadiyah tidak bermazhab fiqh manapun meski umat muslim Indonesia kebanyakkan Syafi’iyah.
Arah bidikan fiqh Muhammadiyah tentu tidak bisa lepas dari syariah (Al Syariat), yaitu peraturan-peraturan, hukum-hukum yang ditetapkan oleh Allah dan terdapat dalam Al Qur’an serta Sunah. Untuk masalah syariah Muhammadiyah juga menyerahkan fiqh pada ijtihad majelis tarjih. Berbagai masalah yang dikaji seputar syariah dan fiqh sebagai produk antara lain masalah kedudukan hadits sebagai sumber hukum Islam dan metode istinbath yang diterapkan.
Al-Qur’an merupakan sumber hukum Islam yang mutlak bagi Muhammadiyah. Sedang dalam masalah hadits majelis tarjih Muhammadiyah bersifat selektif. Ia mengambil hampir semua jenis hadits untuk dijadikan dalil, baik yang daif mursalmauquf dan sebagainya, meskipun dengan persyaratan tertentu.
Metode istinbath mencakup hukum antara lain qiyas, istihsan dan al maslahat wal mursalat. Tiap-tiap madzhab mempunyai perbedaan tersendiriterhadap metode ini, khususnya untuk mencari kepastian hukum. Muhammadiyah dalam masalah ini menyerahkan sepenuhnya pada majelis tarjih dengan ijtihadnya.[34]


3.4.3.      Doktrin Tasawuf dan Filsafat
Ahmad Dahlan tumbuh dalam lingkungan intelektual dan kultural yang berakar pada tradisi sufi. Menurutnya, dalam tasawuf kita harus bisa membuat perbedaan tegas antara ritual ekstatis, tarekat-tarekat, dan sufi popular. Pada sisi lain karakteristik tasawuf yang sehat, lebih banyak dipraktekkan oleh beberapa kelompok dan elit tertentu. Dari gambaran ini Dahlan lebih mencari jalan tengah dalam menyikapi masalah tasawuf.[35]
Untuk pandangan Muhammadiyah tentang tasawuf, bisa melihat pada pendapat  DR. Simuh dan DR Amin Abdullah. Menurutnya ada tiga hal yang melandasi Muhammadiyah cenderung menolak tasawuf.
Pertama, spiritualitas sufis memembawa ekstrimitas pada spiritualitas kasfyi, yakni kontemplasi spiritual-religius yang seringkali berakhir pada wahdat alwujud. Sedang spiritualitas Islam sejati berdasar pada syar’i.
Kedua, spiritualitas sufisme tidak bisa melepaskan diri dari ekstrimitas yang berorientasi pada pemenuhan nafsu egosentris dalam melakukan hubungan dengan Allah. Dalam spiritualitas Islam sejati ada keseimbangan antara hubungan dengan Allah dan sesama manusia.
Ketiga, tasawuf dahulunya adalah praktek zuhud yang bersifat terbuka, kemudian dilegalkan secara eksklusif menjadi lembaga dan tarekat. Muhammadiyah melihat tasawuf bukanlah bentuk spiritualitas yang representatif dari ajaran Islam (Al Qur’an dan sunah).[36]

3.5.            Visi dan Misi Muhammadiyah
Muhammadiyah adalah gerakan Islam yang melaksanakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar dengan maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi nilai-nilai agama beserta masyarakat Islam yang sebenarnya. Hal itu dapat terlihat dari Visi Muhammadiyah yang berbunyi;
“Muhammadiyah adalah gerakan Islam yang berlandaskan l-Qur’an dan Hadis dengan watak tajdid yang dimilikinya senantiasa istiqamah dan aktif dalam melaksanakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar di segala bidang, sehingga menjadi rahmatan lil ‘alamin bagi umat, bangs dan dunia kemanusiaan menuju terciptanya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya yang di-ridhai Allah SWT dalam kehidupan di dunia ini.”[37]
Adapun yang menjadi Misi Muhammadiyah yaitu:
1.      Menegakkan keyakinan tauhid yang murni sesuai dengan ajaran Allah SWT yang di bawa oleh Rasulullah SAW yang di syariatkan sejak Nabi Nuh hingga Nabi Muhammad SAW.
2.      Memahami agama dengan akal pikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam untuk menjawab dan menyelesaikan persoalan-persoalan kehidupan yang bersifat duniawi.
3.      Menyebarluaskan ajaran Islam yang bersumber pada al-Qur’an sebagai kitab Allah yang terakhir untuk umt manusia sebagai penjelasannya.
4.      Mewujudkan amalan-amalan Islam dalam kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat.[38]



BAB IV
KESIMPULAN


Amal Muhammadiyah yang dikomandoi oleh KH. Ahmad Dahlan, tak pernah lepas dari tiga unsur, yaitu rumah yatim dan fakir miskin, rumah sakit, dan lembaga pendidikan. Dan ini terus dilakukan oleh organisasi-organisasi penerus Muhammadiyah, sampai kini.
Usaha keras yang telah dirintis ini akhirnya berbuah jua,. Muhammadiyah menjadi pelopor organisasi sosial kemasyarakatan yang berbasiskan agama, mempunyai corak pembaruan yang dinamis. Sebelas tahun setelah Muhammadiyah berdiri, tepatnya pada 23 Februari 1923, KH. Ahmad Dahlan meninggal dunia di Kauman, Yogyakarta, tempat dimana ia pernah dilahirkan pada tahun 1868.
Kehadiran KH. Ahmad Dahlan di pentas dakwah Indonesia memberi warisan tidak hanya berupa bengunan-bangunan fisik seperti panti asuhan, rumah sakit, sekolah. Dalam sejarah hidupnya kita bisa mengetahui bahwa KH. Ahmad Dahlan sangat terbuka untuk menerima masukan, bahkan kritikan.
Gagasan pembaharuan Ahmad Dahlan meliputi lima hal.Pertama, pembetulan arah kiblat, yang biasanya menghadap arah barat diubah menjadi arah barat laut sesuai dengan perhitungan ilmu falaq.Kedua, penghitungan 1 Syawal atau hari raya Idhul Fitri. Masyarakat sering menggunakan sistem ABOGE, yaitu sistem perhitungan Jawa, yang menggabungkan tiga kata, A-alif (huruf pertama Hijaiyah) , BO-Rebo (nama hari Jawa) GE-Wage (pasaran hari Jawa). Setelah itu Dahlan mengubahnya berdasarkan perhitungan ilmu hisab dan disetujui oleh Sultan. Ketiga, penolakan sagala praktek bid’ah dan khurafat.Keempat, mensintesiskan pendidikan Islam dengan pendidikan Barat yang sesuai jiwa Islam. Kelima, peka terhadap kehidupan masyarakat sebagaimana digariskan dalam surat Al Maun 1-7.[39]

Rumusan awal organisasi, tujuan dan maksud berdirinya Muhammadiyah mencakup dua hal. Pertama, menyebarkan pengajaran kanjeng Nabi Muhammad SAW kepada penduduk Bumi Putera di dalam residen Yogyakarta. Kedua, memajukan hal-hal agama Islam kepada Anggota-anggotanya.[40]
Muhammadiyah adalah organisasi modern yang lahir untuk merespon dan menjawab tantangan kemajuan zaman guna kemashlahatan umat Islam Indonesia. Ciri-ciri perjuangan Muhammadiyah meliputi tiga aspek penting, yaitu: Pertama, Muhammadiyah sebagai gerakan Islam. Kedua, Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah. Ketiga, muhammadiyah sebagai gerakan tajdid.



DAFTAR PUSTAKA


Alwi Shihab, Membendung Arus: Respon Gerakan Muhammadiyah terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia. Bandung : Mizan, 1998
Andi Wahyudi .1999.Muhammadiyah dalam Gonjang Ganjing Politik. Yogyakarta: Media Presindo
Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh, Studi Perbandingan, Jakarta : BulanBintang, 1993
Burhanuddin Daya. Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam Sumatera Thawalib. Yogyakarta : Tiara Wacana, 1990
Deliar Noer. 1980. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900 – 1942. Jakarta : Pustaka
Din Syamsuddin, Muhammadiyah Kini dan Esok, Jakarta; Pustaka Panjimas, 1990
Haedar Nasir, Revitalisasi Gerakan Muhammadiyah, Yogyakarta : Biograf, 2000
Herry Mohammad, dkk, TOKOH-TOKOH ISLAM yang Berpengaruh ABAD 20, Jakarta; Gem Insani Press, 2006
Ismah Salman, Strategi dan Politik Dakwah Muhammadiyah (Suatu Pengajian Pengantar), Mimbar Agama dan Budaya, Vol. XIX, No.1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2002
Jazim Hamidi dan Husnu Abadi. Intervensi Negara terhadap Agama. Yogyakarta : UII Press, 2001
M. Rusli Karim, Muhammadiyah dalam Kritik dan Komentar, Jakarta; Rajawali 1986
Mustofa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, Muhamadiyah sebagai Gerakan Islam (dalam Perspektif Historis dan Idiologis). Yogyakarta : LPPI, 2000
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Profil Muhammadiyah 2000, Yogyakarta: Rajawali, 1986
Shalahuddin Hamid dan Iskandar Ahza, Seratus Tokoh Islam yang Paling Berpengaruh di Indonesia, Jakarta; Intimedia Ciptanusantara, 2003
Sujarwanto & Haedar (Ed.). Muhammadiyah dan Tantangan Masa Depan: Dialog Intelektual. Yogyakarta : Tiara Wacana, 1990
Syaifullah, Gerak Politik Muhammadiyah dalam Masyumi, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997
Syafiq. A Mughni. Nilai–Nilai  Islam. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001
TPA dan Kemuhammadiyahan, Muhammadiyah Sejarah, Pemikiran dan Amal Usaha, Yogyakarta : UMM, 1990
Weinata  Sairin. Gerakan Pembaruan Muhammadiyah. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan 1995
W. Van Houve. Indonesia Di bawah Kekuasaan Jepang. Jakarta : Dunia Pustaka, 1987
Yusro.M.Asrofie. KH Ahmad Dahlan Pemikiran dan Kepemimpinannya. Yogyakarta : Yogyakarta Offset, 1983
Yusuf Abdullah Puar, Perjuangan dan Pengabdian Muhammadiyah, Jakarta; Pustaka Antara, 1989





[1] Syaifullah, Gerak Politik Muhammadiyah dalam Masyumi, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997), hlm. 37
[2] Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Profil Muhammadiyah 2000, (Yogyakarta: Rajawali, 1986), hlm 2-3
[3] M. Rusli Karim, Muhammadiyah dalam Kritik dan Komentar, (Jakarta; Rajawali 1986), hlm 98
[4] Ismah Salman, Strategi dan Politik Dakwah Muhammadiyah (Suatu Pengajian Pengantar), Mimbar Agama dan Budaya, Vol. XIX, No.1 (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2002), hlm 29
[5] Din Syamsuddin, Muhammadiyah Kini dan Esok, (Jakarta; Pustaka Panjimas, 1990), hlm. 35-40
[6] Yusuf Abdullah Puar, Perjuangan dan Pengabdian Muhammadiyah, (Jakarta; Pustaka Antara, 1989), hlm 116
[8] Herry Mohammad, dkk, TOKOH-TOKOH ISLAM yang Berpengaruh ABAD 20,(Jakarta; Gem Insani Press, 2006), hlm. 7-8
[9]Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh, Studi Perbandingan, (Jakarta : BulanBintang, 1993), hlm.14.
[10] Di akses dari situs web: ibid
[11] TPA dan Kemuhammadiyahan, Muhammadiyah Sejarah, Pemikiran dan Amal Usaha, (Yogyakarta : UMM, 1990) hlm. 68-70 dan  Alwi Shihab, Membendung Arus: Respon Gerakan Muhammadiyah terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia,(Bandung : Mizan, 1998),  hlm. 112-113.
[12] Herry Mohammad, dkk, ibid, hlm. 8
[13] Di akses dari situs web: ibid
[14] Shalahuddin Hamid dan Iskandar Ahza, Seratus Tokoh Islam yang Paling Berpengaruh di Indonesia, (Jakarta; Intimedia Ciptanusantara, 2003), hlm. 22
[15]Mustofa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, Muhamadiyah sebagai Gerakan Islam (dalam Perspektif Historis dan Idiologis). (Yogyakarta : LPPI, 2000), hlm. 70-71
[16] Di Yogyakarta sendiri pada tahun 1889 kesultanan Yogyakarta merasa dikecewakan oleh pemerintah kolonial Belanda. Kesultanan yang lemah memaksa Belanda membuka kegiatan-kegiatan misionaris Kristen. Pada kesepakatan awal pemerintah kolonial dan Sultan mengizinkan beroperasinya misi Kristen  tidak lebih dari  satu tahun, namun secara sewenang-wenang dilanggar
Belanda. Deliar Noer. 1980. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900 – 1942. (Jakarta : Pustaka), hlm. 172.
[17] Mustofa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby.  Muhammadiyah Sebagai…, hlm. 71-77.
[18] Syaifullah. Gerak Politik Muhammadiyah…. hlm. 25-27.
[19] Syafiq. A Mughni. Nilai–Nilai  Islam. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 117-
126  dan  Mustofa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby. Muhammadiyah Sebagai…. hlm. 79-110. Untuk  lebih jelas dalam melihat tipe, peran dan prestasi K.H..A. Azhar Basyir dan Prof. Dr .Amin
Rais. Baca : Andi Wahyudi. Muhammadiyah dalam Gonjang Ganjing Politik. (Yogyakarta: Media Presindo, 1999), hlm. 87-116.
[20] Andi Wahyudi.Muhammadiyah dalam…, hlm. 137 – 138.
[21] Alwi Shihab. Membendung Arus: Respon Gerakan Muhammadiyah terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia. (Bandung : Mizan, 1998), hlm. 107.
[22] Weinata  Sairin. Gerakan Pembaruan Muhammadiyah. (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan 1995), hlm. 44-50
[23] Alwi Shihab.Membendung Arus…, hlm. 113 dan  Deliar Noer.Gerakan Modern…hlm. 84
[24] Mutofa Kamal Pasya dan Ahmad Adaby. Muhammadiyah Sebagai…, hlm. 186
[25] Yusro.M.Asrofie. KH Ahmad Dahlan Pemikiran dan Kepemimpinannya. (Yogyakarta : Yogyakarta Offset, 1983). hlm. 33
[26] Jazim Hamidi dan Husnu Abadi. Intervensi Negara terhadap Agama.  (Yogyakarta: UII Press, 2001),  hlm.84 dan Syafiq. A .Mughni, Nilai-nilai Islam. (Yogyakarta :Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 12
[27] Sujarwanto & Haedar (Ed.). Muhammadiyah dan Tantangan Masa Depan: Dialog Intelektual. (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1990). hlm. 421-422 dan Mustofa Kamal Pasha. Muhammadiyah Sebagai…, hlm.56
[28] W. Van Houve. Indonesia Di bawah Kekuasaan Jepang. (Jakarta : Dunia Pustaka, 1987), hlm.70
[29] Mustofa Kamal Pasha. Muhammadiyah Sebagai…, hlm.58
[30] Burhanuddin Daya. Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam Sumatera Thawalib. (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1990), hlm 93 dan 369-370
[31] Syafiq A. Mughni. Nilai-Nilai…,hlm.132
[32] Mustofa Kamal Pasha & Adaby. Muhammadiyah sebagai…, hlm. 115
[33] Arbiyah Lubis. Pemikiran Muhammadiyah…, hlm. 74-78
[34] Ibid, hlm. 84-89
[35] Alwi Shihab. Membendung Arus…, hlm 134-135
[36] Haedar Nasir, Revitalisasi Gerakan Muhammadiyah, (Yogyakarta : Biograf, 2000), hlm 22-23
[37] Diakses dari situs: www.muhammadiyah.or.id/content-44-det-tentang- muhammadiyah.html
[38] Ibid.
[39]Weinata  Sairin, Gerakan Pembaruan Muhammadiyah, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1995), hlm. 44-50
[40] Alwi Shihab. Membendung Arus…, hlm. 113



Read More

Post Top Ad

Your Ad Spot