Knowledge Is Free: Hukum Pidana

Hot

Sponsor

Tampilkan postingan dengan label Hukum Pidana. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hukum Pidana. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 13 Februari 2021

Makalah Pengertian Delik Pengulangan Syarat dan Macam-Macamnya (doc)

Februari 13, 2021 0


Pengertian Delik Pengulangan (Recidive)

Recidive dalam Kamus Hukum diartikan sebagai ulangan kejahatan, kejadian bahwa seseorang yang pernah dihukum karena melakukan suatu kejahatan, melakukan lagi suatu kejahatan.
Recidive  adalah kelakuan seseorang yang mengulangi perbuatan pidana sesudah dijatuhi pidana dengan keputusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap karena perbuatan pidana yang telah dilakukanya lebih dahulu. Seseorang yang sering melakukan perbuatan pidana, dan karena dengan perbuatan-perbuatanya itu telah dijatuhi pidana bahkan lebih sering dijatuhi pidana, disebut  residivist. Kalau residive menunjukkan pada kelakuan mengulangi perbuatan pidana, maka  residivist  menunjuk kepada orang yang melakukan pengulangan perbuatan pidana.
Jadi,  recidive  itu terjadi apabila seseorang telah melakukan perbuatan pidana dan terhadap perbuatan pidana tersebut telah dijatuhi dengan putusan hakim yang tetap. Putusan tersebut telah dijalankan akan tetapi setelah ia selesai menjalani pidana dan dikembalikan kepada masyarakat, dalam jangka waktu tertentu setelah pembebasan  tersebut ia kembali melakukan perbuatan pidana.

Apabila orang yang telah dijatuhi pidana itu kemudian melakukan lagi perbuatan pidana, maka orang itu telah membuktikan tabiatnya yang kurang baik. Meskipun ia telah dipidana tetapi karena sifatnya yang kurang baik itu, ia kembali melakukan perbuatan pidana. Oleh karena sifatnya yang demikian itu, maka residivis perlu dijatuhi pidana lebih berat lagi meskipun ia telah dididik dalam Lembaga Pemasyarakatan agar mereka kemudian setelah kembali ke dalam masyarakat dapat hidup normal sebagai warga masyarakat lainya. Namun bilamana dia melakukan perbuatan pidana lagi maka terhadapnya dapat dikenakan pasal mengenai recidive dengan ancaman pidana yang lebih berat.
Pola pemberatan pidana dalam Buku II dan Buku III KUHP memiliki pola yang berbeda dengan pola pemberatan pidana dalam Buku I KUHP. Ada dua kategori pola pemberatan pidana dalam Buku II dan Buku III yakni kategori yang seragam dan kategori yang tidak seragam. Kategori seragam ini terdapat pada delik pengulangan (recidive) di mana ancaman pidana diperberat dengan penambahan sepertiga dari ancaman pidana pokok.Ancaman pidana juga diberatkan karena adanya kualitas khusus pelaku (subjek delik), misalnya karena sebagai pegawai negeri. Selain itu, ancaman pidana juga diberatkan karena kualifikasi khusus dari objek delik, seperti penganiayaan yang dilakukan terhadap ibu, bapak, istri atau anak pelaku, yang pidananya ditambah sepertiga dari maksimum khususnya.[ ]

Pengulangan tindak pidana diatur dalam:
1. Pasal 486
Pidana penjara yang dirumuskan dalam Pasal 127, 204 ayat pertama, 244-248, 353-260bis, 263, 264, 266-268, 274, 362, 363, 365 ayat pertama, kedua dan ketiga, 368 ayat pertama dan kedua sepanjang disitu ditunjuk kepada ayat kedua dan ketiga pasal 365, pasal  369, 372, 374, 375, 378, 380, 381-383, 385-388, 397, 399, 400, 402, 415, 417, 425, 432, ayat penghabisan, 452, 466, 480 dan 481, begitupun pidana penjara selama waktu tertentu yang diancam menurut pasal 204 ayat kedua, 365 ayat keempat dan 368 ayat kedua,  sepanjang disitu ditunjuk kepada ayat keempat pasal 365, dapat ditambah dengan sepertiga, jika yang bersalah ketika melakukan kejahatan belum lewat lima tahun sejak menjalani untuk seluruhnya atau sebagian dari pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, baik karena salah satu kejahatan yang dirumuskan dalam pasal-pasal itu, maupun karena salah satu kejahatan, yang dimaksud dalam salah satu dari pasal 140-143, 
145-149, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tentara, atau sejak pidana tersebut baginya sama sekali telah dihapuskan atau jika pada waktu melakukan kejahatan, kewenangan menjalankan pidana tersebut belum daluwarsa.
2.   Pasal 487
Pidana penjara yang ditentukan dalam pasal 131, 140 ayat pertama, 141, 170, 213, 214, 338, 341, 342, 344, 347, 348, 351, 353-355, 438-443, 459, dan 460, begitupun pidana penjara selama waktu tertentu yang diancam menurut pasal 104,130 ayat kedua dan ketiga, pasal 140, ayat kedua dan ketiga, 339, 340, dan 444, dapat ditambah sepertiga, jika yang bersalah ketika melakukan belum lewat lima tahun sejak m menjalani untuk seluruhnya atau sebagian dari pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, baik karena salah satu kejahatan yang dirumuskan dalam pasal-pasal itu, maupun karena salah satu kejahatan, yang dimaksud dalam salah satu dari pasal 106 ayat kedua dan ketiga,107 ayat kedua dan ketiga, 108 ayat kedua, sejauh kejahatan yang dilakukan itu atau perbuatan yang menyertainya menyebabkan luka-luka atau kematian, pasal 131 ayat kedua dan ketiga, 137, dan 138 KUHP Tentara, atau sejak  pidana tersebut baginya sama sekali telah dihapuskan atau jika pada waktu melakukan kejahatan, kewenangan menjalankan pidana tersebutbelum daluwarsa.
3.   Pasal 488
Pidana yang ditentukan dalam Pasal 134-138, 142-144, 207, 208, 310-321, 483 dan 484, dapat  ditambah sepertiga, jika yang bersalah ketika melakukan kejahatan belum lewat lima tahun sejak menjalani untuk seluruhnya atau sebagian pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya karena salah satu kejahatan yang diterangkan padapasal itu, atau sejak pidana  tersebut baginya sama sekali telah dihapuskan atau jika pada waktu melakukan kejahatan, kewenangan menjalankan pidana tersebut belum daluwarsa. 
Dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana  Tahun 2012 pada paragraf 6 pasal 24 disebutkan  tentang pengulangan yaitu:
Pengulangan tindak pidana terjadi,  apabila  orang yang sama melakukan tindak pidana lagi dalam waktu 5 (lima) tahun sejak:
a.  menjalani seluruh atau sebagian pidana pokok yang dijatuhkan;
b.  pidana pokok yang dijatuhkan telah dihapuskan; atau
c.  kewajiban menjalani pidana pokok yang dijatuhkan daluwarsa.

Macam-macam Recidive

1.  Recidive Umum (Algemene recidive atau Generale recidive)
Recidive  umum terjadi apabila seseorang yang telah melakukan delik kemudian terhadap perbuatan pidana tersebut telah dijatuhi pidana oleh hakim serta menjalani pidananya di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Setelah selesai menjalani hukumannya, bebas dan kembali ke dalam masyarakat, akan tetapi dalam jangka waktu tertentu yang ditetapkan undang-undang orang tersebut melakukan lagi perbuatan pidana yang perbuatan pidananya tidak sejenis.
2.  Recidive Khusus (Speciale Recidive)
Recidive  tersebut terjadi apabila seseorang  melakukan perbuatan pidana dan terhadap perbuatan pidana tersebut telah dijatuhi pidana oleh hakim. Setelah dijatuhi pidana dan pidana tersebut dijalaninya, kemudian kembali ke masyarakat, akan tetapi pemberatan hanya dikenakan terhadap pengulangan yang dilakukan terhadap jenis tindak pidana tertentu dan yang dilakukan dalam tenggang waktu yang tertentu pula.
yang ditetapkan oleh undang-undang kembali lagi melakukan perbuatan pidana yang sejenis dengan perbuatan pidana yang terdahulu.
3.  Tussen Stelsel (recidive tengah)
Tussen stelsel  adalah apabila seseorang melakukan perbuatan pidana dan terhadap perbuatan pidana itu ia telah dijatuhi pidana oleh hakim. Tetapi setelah ia menjalani pidana dan kemudian dibebaskan, orang tersebut dalam jangka waktu tertentu yang telah ditentukan oleh undang-undang melakukan perbuatan pidana dan perbuatan pidana yang dilakukan itu merupakan golongan tertentu yang ditetapkan oleh undang-undang. Yaitu ditentukan tenggang waktunya tapi pengulangannya tidak tidak harus perbuatan pidana yang sama namun harus sejenis.
Pengulangan tindak pidana dalam KUHP diatur secara khusus untuk sekelompok tindak pidana tertentu baik yang berupa kejahatan dalam buku II maupun yang berupa pelanggaran dalam buku III. 

Syarat-syarat Recidive

Adapun syarat-syarat  recidive  untuk tiap-tiap tindak pidana, baik terhadap kejahatan maupun pelanggaran, dibicarakan berturut-turut dibawah ini.
1. Recidive Kejahatan
Dengan dianutnya sistem  recidive  khusus, maka  recidive kejahatan menurut KUHP adalah  recidive  kejahatan-kejahatan tertentu. Mengenai  recidive  kejahatan-kejahatan tertentu ini KUHP membedakan antara lain:
a.  Recidive  terhadap kejahatan-kejahatan tertentu yang sejenis diatur secara tersebar dalam sebelas pasal-pasal tertentu buku II KUHP yaitu dalam pasal 137 (2), 144 (2), 155 (2), 157 (2),  161 (2), 163 (2), 208 (2), 216 (3), 321 (2), 393 (2), dan 303 bis (2). Dengan demikian di dalam sistem recidive kejahatan sejenis ini hanya ada 11 jenis kejahatan yang dapat merupakan alasan pemberatan pidana. Persyaratan  recidive  disebutkan dalam masing-masing pasal yang bersangkutan, yang pada umumnya mensyaratkan sebagai berikut:
1)  Kejahatan yang diulangi harus sama atau sejenis dengan kejahatan yang terdahulu;
2)  Antara kejahatan yang terdahulu dan kejahatan yang diulangi harus sudah ada keputusan hakim  berupa pemidanaan yang telah mempunyai kekuatan tetap;
3)  Si pelaku melakukan kejahatan yang bersangkutan pada waktu menjalankan pencaharianya (khusus pasal 216, 303 bis dan 393 syarat ini tidak ada);
4)  Pengulanganya dilakukan dalam tenggang waktu tertentu yang disebut dalam pasal-pasal yang bersangkutan yaitu:
a)  Dua tahun sejak adanya keputusan hakim yang tetap (untuk delik-delik dalam pasal 137, 144, 208, 216, 303 bis dan 321), atau
b)  Lima tahun sejak adanya keputusan hakim yang tetap (untuk delik-delik dalam pasal 155, 157, 161, 163 dan 393).

b.  Recidive terhadap kejahatan-kejahatan tertentu yang masuk dalam satu kelompok jenis diatur dalam pasal 486, 487, dan 488 KUHP. 

Adapun persyaratan  recidive  menurut ketentuan pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut:
Kejahatan yang diulangi harus termasuk dalam satu kelompok jenis dengan kejahatan yang pertama atau yang terdahulu. 
Kelompok jenis kejahatan yang dimaksud ialah:
a)  Kelompok jenis kejahatan dalam pasal 486  KUHP  yang pada umumnya mengenai kejahatan terhadap harta  benda dan pemalsuan misalnya:
Pemalsuan mata uang (244-248 KUHP), pemalsuan surat (263-264  KUHP), pencurian (362, 363, 365  KUHP), pemerasan (368  KUHP), pengancaman (369  KUHP), penggelapan (372, 374, 375  KUHP), penipuan (378KUHP), kejahatan jabatan (415,  417, 425, 432  KUHP), penadahan (480,481 KUHP).
Dalam pasal 486  KUHP  mengatur tentang pidana maksimum dari beberapa kejahatan dapat ditambah 1/3 karena  recidive. Dalam pasal tersebut, kejahatan-kejahatan yang digolongkan terdiri dari perbuatan-perbuatan yang dilakukan seseorang dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan yang tidak halal ataupun yang dilakukan seseorang dengan melakukan tipu muslihat. Hal tersebut 
yang dijadikan dasar untuk memperberat pidana dengan 1/3 dengan syarat:
1.  Terhadap kejahatan yang dilakukan harus sudah dipidana dengan putusan hakim yang tidak dapat dirubah lagi dan dengan hanya pidana penjara.
2.  Harus dalam jangka waktu lima tahun terhitung dari saat selesainya menjalani pidana penjara dengan saat ia melakukan perbuatan pidana untuk kedua kalinya.

b)  Kelompok jenis kejahatan dalam pasal 487  KUHP  pada umumnya mengenai kejahatan terhadap orang misalnya penyerangan dan makar terhadap Kepala Negara (131, 140, 141  KUHP), pembunuhan biasa dan berencana (338, 339, 340  KUHP), pembunuhan  anak (341, 342  KUHP), euthanasia (344  KUHP), abortus (347, 348  KUHP), penganiayaan biasa/berat dan penganiayaan berencana (351, 353, 354, 355  KUHP), kejahatan pelayaran yang berupa pembajakan (438-443  KUHP) dan insubordinasi (459-460 KUHP).
Dalam pasal tersebut terdapat segolongan kejahatan-kejahatan tentang perbuatan pidana yang dilakukan seseorang dengan menggunakan kekerasan terhadap orang 
lain yaitu pembunuhan dan penganiyaan. Kejahatan yang diatur dalam pasal 487 KUHP yang memungkinkan pidananya ditambah 1/3, asal saja memenuhi syarat-syarat seperti yang diatur dalam pasal 486 KUHP karena hanya pidana penjara dari kejahatan tersebut di dalamnya boleh ditambah dengan 1/3nya karena recidive tersebut.

c)  Kelompok jenis kejahatan dalam pasal 488  KUHP  pada umumnya mengenai kejahatan penghinaan dan yang berhubungan dengan penerbitan atau percetakan, misalnya penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden (134-137  KUHP), penghinaan terhadap Kepala Negara sahabat (142-144  KUHP), penghinaan terhadap orang pada umumnya (310-312  KUHP), dan kejahatan penerbitan atau 
percetakan (483,484 KUHP).
Pidana yang ditentukan dalam pasal 488  KUHP  dapat ditambah sepertiga jika yang bersalah ketika melakukan kejahatan belum lewat lima tahun sejak menjalani untuk seluruhnya atau  sebagian pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya karena salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal tersebut, atau sejak pidana tersebut baginya sama sekali telah dihapuskan atau jika waktu melakukan kejahatan, kewenangan menjalankan pidana tersebut kadaluwarsa. Syarat agar pidana maksimum dapat ditambah 1/3 karena recidive menurut pasal 488 KUHP, adalah:
1.  Dalam pasal 488 KUHP tersebut tidak ditentukan harus dengan penjara yang harus dilakukan berhubung dengan kejahatan pertama. Dalam pasal tersebut hanya menyebutkan pidananya, bukan pidana penjara saja. Hal tersebut berarti pidana kurungan dan denda dapat merupakan dasar pemberatan tersebut.
2.  Sama dengan syarat kedua dalam pasal 486 atau 487 KUHP.

      2. Recidive Pelanggaran
Recidive dalam pelanggaran ada 14 jenis tindak pidana, yaitu :
Pasal 489, 492, 495, 501, 512, 516, 517, 530, 536, 540, 541, 544, 545, 549 KUHP.
Syaratnya disebutkan dalam pasal yang bersangkutan.
Contoh tindak pelanggaran adalah: 
Anak tetangga kita setiap malam bersama teman-temannya duduk tepat di depan rumah kita dan selalu merokok dan bermain gitar bersama temannya. Otomatis asap rokoknya masuk ke dalam rumah kita dan sangat bahaya apabila dihirup oleh keluarga kita dan sangat berisik dengan suara gitarnya. Dia marah ketika kita melarangnya duduk di depan rumah kita karena menurutnya dia hanya duduk di depan tidak di dalam rumah, jadi bebas melakukan apa saja.
Atas hal ini dia dapat dikenakan pasal 489 ayat 1 KUHP 
“Kenakalan terhadap orang atau barang yang dapat menimbulkan bahaya, kerugian  atau kesusahan, diancam dengan pidana denda paling banyak 
Rp 225.000.”
Batasannya adalah :
1. Kenakalan itu bukan merupakan sarana untuk mencapai tujuan tertentu, melainkan kenakalan itulah tujuan sebenarnya. Misalnya melempar-lempar rumah orang untuk mengganggunya, bukan untuk mengelabui penghuni rumah agar temannya yang mencuru ayam tidak diketahui.
2. Kenakalan itu merupakan suatu perwujudan yang bergelora dalam hatinya. 
3. Kenakalan itu mengganggu keamanan orang tetapi belum sampai pada perumusan delik lainnya seperti perusakan barang pasal 406 KUHP. 

Dalam pasal 489 ayat 2 :
jika pada waktu melakukan pelanggaran itu belum lalu satu tahun sejak ketetapan putusan hukuman yang dahulu bagi si tersalah karena pelanggaran seru itu juga,maka denda itu dapat diganti dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 hari.
    
Kesimpulan
1. Delik pengulangan adalah melakukan kembali kejahatan yang pernah dilakukan setelah adanya keputusan hakim dan masih belum lebih dari 5 tahun setelah kejahatan sebelumnya terjadi, hal ini dapat memberatkan hukuman si tersalah karena dia dianggap mempunyai tabi’at yang tidak baik dan dapat membahayakan ketertiban dalam masyarakat apabila dibebaskan.
2. Jenis delik pengulangan ada 3 yaitu umum, khusus dan tussen stelsel
3. Tindak pidana pengulangan diatur dalam pasal 486, 487 dan 488
4. Kejahatan adalah suatu persoalan yang selalu melekat dimana masyarakat itu ada. Kejahatan selalu akan ada seperti penyakit dan kematian yang selalu berulang seperti halnya dengan musim yang berganti-ganti dari tahun ke tahun. 
5. Segala daya upaya dalam menghadapi kejahatan hanya dapat menekan atau mengurangi meningkatnya jumlah kejahatan dan memperbaiki penjahat agar dapat kembali sebagai warga masyarakat yang baik. 
6. Masalah pencegahan dan penanggulangan kejahatan, tidaklah sekedar mengatasi kejahatan yang sedang terjadi dalam lingkungan masyarakat, tapi harus diperhatikan pula, atau harus dimulai dari kondisi yang menguntungkan bagi kehidupan manusia. Perlu digali, dikembangkan dan dimanfaatkan seluruh potensi dukungan dan partisipasi masyarakat dalam upaya untuk menanggulangi kejahatan. Hal itu menjadi tugas dari setiap kita, karena kita adaIah bagian dari masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
eprints.walisongo.ac.id/3841/4/102211051_Bab3.pdf
http://www.aifis-digilib.org/uploads/1/3/4/6/1234665004/1._mahrus-uii.pdf
R. Soesilo.1995. KUHP serta komentar-komentarnya lengkap pasal demi pasal. Cetakan kesepuluh. Bogor: Poelita. hal 318-319

Read More

Minggu, 31 Januari 2021

Makalah Pengertian Penghapusan Pidana (doc)

Januari 31, 2021 0



Pengertian Penghapusan Pidana

Alasan penghapus pidana merupakan terjemahan dari istilah Belanda strafuitsluitingsgrond, yang dapat diartikan sebagai keadaan khusus (yang harus dikemukakan ….. tetapi tidak dibuktikan oleh terdakwa) yang jika dipenuhi menyebabkan ….. meskipun terhadap semua unsur tertulis dari rumusan delik telah dipenuhi …. dijatuhi pidana. KUHP tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan alasan penghapus pidana dan perbedaan antara alasan pembenar dan alasan pemaaf. KUHP hanya menyebutkan hal-hal yang dapat menghapuskan pidana saja. Pembahasan mengenai hal tersebut berkembang melalui doktrin dan yurispridensi.

Dalam hukum pidana ada beberapa alasan yang dapat dijadikan dasar bagi hakim untuk tidak menjatuhkan hukuman/pidana kepada (para) pelaku atau terdakwa yang diajukan ke pengadilan karena telah melakukan suatu tindak pidana. Alasan-alasan tersebut dinamakan alasan penghapus pidana. Alasan penghapus pidana adalah peraturan yang terutama ditujukan kepada hakim. Meskipun KUHPidana yang sekarang ini ada mengatur tentang alasan penghapus pidana, akan tetapi KUHPidana sendiri tidak memberikan pengertian yang jelas tentang alasan penghapus pidana tersebut.

Pada beberapa kasus yang terjadi di masyarakat, ada istilah “gugurnya hak penuntutan” atau hapusnya hak penuntutan dan hapusnya pidana. Pembentuk undang-undang telah membuat sejumlah ketentuan yang bersifat khusus, baik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana maupun di dalam perundang-undangan lainnya, di dalam keadaaan mana ketentuan-ketentuan pidana yang ada itu dianggap sebagai tidak dapat diberlakukan, hingga penuntut umum pun tidak dapat melakukan penuntutan terhadap seseorang pelaku yang telah dituduh melanggar ketentuan-ketentuan pidana tersebut, dan apabila penuntut umum telah melakukan penuntutan terhadap seseorang pelaku yang telah dituduh melanggar ketentuan-ketentuan pidana termaksud di atas, maka hakim pun tidak dapat mengadili pelaku tersebut, oleh karena di disitu terdapat sejumlah keadaan-keadaan yang telah membuat tindakan dari pelaku itu menjadi tidak bersifat melawan hukum ataupun yang telah membuat pelakunya itu menjadi tidak dapat dipersalahkan atas tindakan-tindakannya.
Alasan penghapus pidana adalah peraturan yang terutama ditujukan kepada hakim. Peraturan ini menetapkan dalam keadaan apa seorang pelaku, yang telah memenuhi perumusan delik yang seharusnya dipidana, tidak dipidana. Hakim menempatkan wewenang dari pembuat undang-undang untuk menentukan apakah telah terdapat keadaan khusus seperti dirumuskan dalam alasan penghapus pidana.
Alasan-alasan penghapus pidana ini adalah alasan-alasan yang memungkinkan orang yang melakukan perbuatan yang sebenarnya telah memenuhi rumusan delik, tetapi tidak dipidana. Berbeda halnya dengan alasan yang dapat menghapuskan penuntutan, alasan penghapus pidana diputuskan oleh hakim dengan menyatakan bahwa sifat melawan hukumnya perbuatan hapus atau kesalahan pembuat hapus, karena adanya ketentuan undang-undang dan hukum yang membenarkan perbuatan atau yang memaafkan pembuat.

Alasan Penghapusan Pidana

Dalam hukum pidana, seseorang yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dapat dipidana bila memenuhi dua hal, yaitu:
1.      perbuatannya bersifat melawan hukum.
Perbuatan yang didakwakan tersebut harus terbukti memenuhi rumusan tindak pidana yang didakwakan (melawan hukum formal), bertentangan dengan tata nilai atau norma-norma hukum yang berlaku umum dalam masyarakat (melawan hukum materiil) dan tidak ada alasan yang menghapuskan sifat melawan hukum perbuatan tersebut (alasan pembenar).
2.      Pelaku tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang didakwakan (adanya kesalahan pelaku) atau perbuatan tersebut dapat dicelakan kepada pelakunya dan tidak ada alasan pemaaf.
Seseorang yang dituduh melakukan tindak pidana, dapat mengajukan alasan pembelaan atau alasan penghapusan pidana. Alasan dapat bersifat umum (disebut general defence), artinya dapat diajukan untuk kejahatan atau tindak pidana pada umumnya, dan dapat pula bersifat khusus (disebut special defence) yang hanya dapat diajukan untuk kejahatan atau tindak pidana tertentu.
Yang termasuk general defences antara lain:
a.       Compulsion (Paksaan).
b.      Intoxication (Keracunan/mabuk alkohol).
c.       Automatism (Gerakan refkleks).
d.      Insanity (Kegilaan/ ketidakwarasan).
e.       Infancy (anak dibawah umur).
f.       Consent of the victim (Persetujuan korban).[1]
Yang termasuk special defence antara lain:
a.       Dalam hal delik abortus, apabila hal itu dilakukan berdasarkan alasan-alasan, antara lain:
1.      kehamilan itu (apabila diteruskan) akan membahayakan keselamatan jiwa si ibu.
2.      kemungkinan anak yang lahir akan menderita cacat fisik atau cacat mental yang cukup serius.
b.      Dalam hal menerbitkan atau mempublikasikan tulisan-tulisan cabul, apabila hal itu dibenarkan demi kebaikan umum, demi kepentingan ilmu pengetahuan, seni dan sebagainya.[2]

Dasar Penghapus Pidana

Harus dibedakan antara dasar peniadaan pidana, seperti penulis diuraikan dengan dasar peniadaan penuntutan. Dasar peniadaan ditujukan kepada hakim, sedangkan dasar peniadaan penuntutan ditujukan kepada penuntut umum. Seperti telah diuraikan, bahwa dasar peniadaan pidana terbagi atas dua bagian, yaitu dasar pembenar dan dasar pemaaf. Ditinjau dari pandangan dualistis maka dasar pembenar meniadakan sifat melawan hukumnya perbuatan, dan terdakwa seharusnya dibebaskan, sedangkan bilaman terdapat dasar pemaaf berarti perbuatan kriminal terdakwa terbukti, tetapi pembuat delik dimaafkan.[3]
Suatu contoh tentang dasar penghapusan penuntutan, ialah apabila suatu perbuatan telah lewat waktu. Dalam hal lewat waktu ini, penuntut umum tidak dapat lagi melakukan penuntutan: seandainya penuntut umum mengadakan penuntutan, maka akan ditolak oleh hakim atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima.
Hilangnya hak menuntut karena lewat waktu diatur dalam pasal 78 KUHP sedangkan hapusnya hak menuntut karena diatur didalam pasal 76 KUHP. Di situ dikatakan “kecuali dalam hal putusan hakim dapat diubah, maka orang tidak dapat dituntut sekali lagi sebab perbuatan yang baginya telah diputuskan oleh hakim Indonesia dengan keputusan yang telah tetap.[4]

Pembagian Alasan Penghapus pidana

Di dalam titel ketiga dari buku pertama KUHP, terdapat hal-hal yang menghapuskan, mengurangkan, atau memberatkan pidana, yaitu:
1.      Tak mampu bertanggung jawab, dalam Pasal 44 (1) yaitu:
“Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dpertanggung jawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dapat dipidana”.
2.      Belum berumur 16 tahun  , dalam Pasal 45 yaitu:
“Dalam hal penuntutan pidana terhadap orang belum dewasa karena melakukan suatu perbuatan sebelum umur enam belas tahun, hakim dapat menentukan: memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya, pemeliharanya, tanpa pidana apapun: atau memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apapun”.
3.      Daya Paksa (overmacht), dalam Pasal 48 yaitu:
“Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dipidana”.
4.      Pembelaan terpaksa, dalam Pasal 49 (1) dan (2) yaitu:
Ayat (1) “Tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kahormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum.
Ayat (2) “pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana”.
5.      Ketentuan Udang-undang, dalam Pasal 50 yaitu:
“Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana”.
6.      Perintah jabatan, dalam Pasal 51 (1) dan (2) yaitu:
Ayat (1) “Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksakan perintah jabatan yang di berikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana”
Ayat (2) “perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira perintah diberikan dengan wewenang dan pelksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya”.
7.      Pemberatan karena jabatan, dalam Pasal 52 yaitu:
“bila seorang pejabat karena melakukan perbuatan pidana melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya, atau pada waktu melakukan perbuatan pidana memakai kekkuasaan, kesempatan, atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya, pidananya dapat di tambah sepertiga”.[5]
Selain itu, terdapat pula didalam buku ke dua KUHP yaitu Pasal 310 ayat 3. Menurut Prof. Moeljatno, S.H alasan-alasan yang menghapuskan pidana dibeda-bedakan menjadi:
1.      Alasan Pembenar, yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukum sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa menjadi perbuatan yang patut dan benar, yang termasuk alasan pembenar yaitu :
a.       Keadaan darurat, diatur dala Pasal 48 KUHP
Dalam keadaan darurat tersebut di atas, tindak pidana yang dilakukan hanya dibenarkan jika (J.E. Sahetapy dan Agustinus Pohan) ;
1.      tidak ada jalan lain.
2.      kepentingan yang dilindungi secara objektif bernilai lebih tinggi dari pada kepentingan yang dikorbankan.
Contohnya ; seseorang terjun ke dalam sungai untuk menolong seorang anak kecil yang terhanyut, sementara di sungai tersebut terdapat tulisan dilarang berenang.
b.      Pembelaan terpaksa, diatur dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP.
Menurut Pasal 49 ayat (1) disyaratkan hal-hal yang bisa dikategorikan sebagai pembelaan terpaksa (J.E. Sahetapy dan Agustinus Pohan) yaitu:
1.      Ada serangan mendadak atau seketika itu terhadap raga, kehormatan, kesusilaan atau harta benda;
2.      Serangan itu bersifat melawan hukum;
3.      Pembelaan merupakan keharusan;
4.      Cara pembelaan adalah patut.
c.       Melaksanakan ketentuan undang-undang, diatur dalam Pasal 50 KUHP.
Dalam hal ini, terdapat hal dimana ada perbenturan antara kewajiban hukum dengan kewajiban hukum lainnya, artinya bahwa untuk melakukan kewajiban hukumnya, seseorang harus melanggar kewajiban hukum lainnya. Dalam melaksanakan ketentuan UU tersebut, kewajiban yang terbesar yang harus diutamakan.
Contohnya; seorang juru sita yang mengosongkan sebuah rumah dengan menaruh isi rumah dijalan, dimana pada dasarnya menyimpan prabot di jalan adalah dilarang, namun karena ketentuan dari pengadilan atau putusan pengadilan, sehingga perbuatannya tersebut tidak dapa dipidana.
2.      Alasan Pemaaf, yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa. Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum. Jadi tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi dia tidak di pidana, yang termasuk dalam alasan pemaaf yaitu:
a.       Tidak mampu bertanggungjawab, diatur dalam Pasal 44 KUHP;
Dalam Pasal 44 KUHP, membedakan pertanggungjawaban dalam dua kategori yaitu cacat dalam pertumbuhan dan gangguan penyakit kejiwaan.
Yang dimaksud gangguan adalah gangguan sejak lahir atau sejak remaja tumbuh dengan normal namun dikemudian hari muncul kelainan jiwa. Pada dasarnya cacat atau gangguan penyakit muncul pada saat perbuatan atau tindak pidana, dan ketika perbuatan itu dilakukan ada hubungan antara gangguan jiwanya dengan perbuatannya.
b.      Daya paksa, diatur dalam Pasal 48 KUHP;
Dalam memori penjelasan Pasal 48 KUHP (J.E. Sahetapy dan Agustinus Pohan, 2007 : 61), daya paksa adalah “setiap daya, setiap dorongan, atau setiap paksaan yang tidak dapat dilawan”.
Contoh : sebuah kapal tenggelam, ada dua penumpang yang berpegang pada papan yang sama, dimana papan tersebut hanya kuat menahan 1 orang. Karena takut akan mati tenggelam, maka salah seorang mendorong yang lainnya.
c.       Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, diatur dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP.
Pasal 49 ayat (2) KUHP berbunyi : “orang yang melampaui batas pembelaan yang perlu jika perbuatan tersebut dilakukannya karena sangat panas hatinya disebabkan oleh serang itu, tidak dipidana”. yang dimaksud dengan melampaui  pembelaan yang perlu ialah tidak seimbang antara pembelaan yang diberikan dengan akibat yang timbul. Hal ini disebabkan antara lain alat yang digunakan untuk membela diri tidak seimbang dengan alat yang digunakan lawannya. (misalnya; mempergunakan sepotong besi sedangkan lawannya rotan). Pembelaan melampaui batas (Noodweer exces) adalah suatu alasan pemaaf (schulduitluitingsgrond) karena perbuatan yang melampaui batas pembelaan itu tetap melawan hukum hanya pembuat yang tidak mempunyai kesalahan.
d.      Perintah yang dikeluarkan oleh jabatan yang tidak wewenang.
Pasal 51 ayat (2) KUHP berbunyi: “Perintah jabatan yang diberikan oleh kuasa yang tidak berhak tidak membebaskan dari hukuman, kecuali jika pegawai yang dibawahnya atas kepercayaannya memandang bahwa perintah itu seakan-akan diberikan kuasa yang berhak dengan sah dan menjalankan perintah itu menjadi kewajiabn pegawai yang dibawah perintah tadi”.
Berdasarkan Pasal 51 ayat (2) menerangkan melaksanakan  Perintah yang dikeluarkan oleh jabatan yang tidak wenang tidak dipidana, asalkan oleh pembuat yang melaksanakan perintah jabatan itu dipenuhi syarat:
a.       Secara subyektif yang diperintah itu tegoedertrouw yaitu dalam batin yang diperintah sama sekali tidak tahu bahwa perintah itu tidak sah, jadi ada salah kira dari pihak yang diperintah dan,
b.      Secara obyektif adalah masuk akal karena perintah jabatan yang tidak sah itu masih dalam lingkungan pekerjaannya.
3.      Alasan penuntutan, disini masalahnya bukan ada alasan pembenar maupun alasan pemaaf. Jadi, tidak ada pikiran mengenai sifat perbuatan maupun sifat orang yang melakukan perbuatan. Yang menjadi pertimbangan disini ialah kepentingan umum. Kalau perkaranya tidak di tuntut, tentunya yang melakukan perbuatan tak dapat dijatuhi pidana. Contoh: Pasal 53 kalau terdakwa dengan sukarela mengurungkan niatnya untuk melakukan suatu kejahatan.[6]
Alasan-alasan yang dimuat dalam perundang-undangan untuk hapusnya hak penuntutan adalah:
1.      Adanya suatu putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Hal ini diatur dalam pasal 76 KUHP yang berbunyi : “kecuali dalam hal putusan hakim dapat diubah,orang tidak dapat dituntut sekali lagi karena perbuatan yang baginya telah diputuskan oleh hakim di Indonesia dengan putusan yang telah tetap”.
Apabila putusan telah berkekuatan hukum tetap, upaya hukum tidak dapat digunakan lagi. Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut,dapat berupa:
a.       Putusan bebas.
b.      Putusan lepas dari segala tuntutan hokum.
c.       Putusan tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum.
d.      Putusan pemidanaan.
2.      Kematian orang yang melakukan delik
Hal ini diatur dalam pasal 77 KUHP yang berbunyi: “hak menuntut hilang oleh karena meninggalnya  si tersangka.”
3.      Daluwarsa
Hal ini diatur dalam pasal 78 KUHP yang berbunyi: hak untuk penuntutan pidana hapus karena daluwarsa :
a.       Dalam satu tahun bagi semua pelanggaran dan bagi kejahatan yang    dilakukan dengan percetakan.
b.      Dalam enam tahun bagi kejahatan-kejahatan yang diancam dengan denda, hukuman kurungan atau hukuman penjara, yang lamanya tidak lebih dari tiga tahun.
c.       Dalam dua belas tahun bagi semua kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara sementara yang lamanya lebih dari tiga tahun.
d.      Dalam delapan belas tahun bagi semua kejahatan, yang diancam dengan hukuman mati  atau hukuman penjara seumur hidup.
Untuk orang,yang sebelum melakukan perbuatan itu umurnya belum cukup delapan belas tahun,tenggang daluwarsa yang tersebut diatas itu, dikurangi sepertiga.”
4.      Penyelesaian perkara di luar pengadilan
Hal ini diatur dalam pasal 82 ayat 1 KUHP yang berbunyi antara lain sebagai berikut:
“Hak penuntutan pidana kerena pelanggaran,yang atasnya tidak ditentukan hukuman pokok lain daripada denda, hilang kalau dengan rela hati sudah dibayar maksimum denda serta juga biaya perkara.”
Ketentuan diatas secara rasional adalah hal yang logis demi efisiensi.hal ini diatur demikian untuk memberi kepastian hukum bagi pelaku pelanggaran maupun bagi aparat penunan
1.      Alasan penghapus pidana adalah peraturan yang terutama ditujukan kepada hakim. Peraturan ini menetapkan dalam keadaan apa seorang pelaku, yang telah memenuhi perumusan delik yang seharusnya dipidana, tidak dipidana.
2.      Dalam hukum pidana, seseorang yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dapat dipidana bila memenuhi dua hal, yaitu:
a.       perbuatannya bersifat melawan hukum.
b.      Pelaku tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang didakwakan (adanya kesalahan pelaku) atau peruatan tersebut dapat dicelakan kepada pelakunya dan tidak ada alasan pemaaf.
3.      Di dalam titel ketiga dari buku pertama KUHP, terdapat hal-hal yang menghapuskan, mengurangkan, atau memberatkanidana, yaitu:
a.       Tak mampu bertanggung jawab.
b.      Belum berumur 16 tahun.
c.       Daya Paksa.
d.      Pembelaan terpaksa.
e.       Ketentuan Udang-undang.
f.       Perintah jabatan.
g.      Pemberatan karena jabatan.

B.     Saran-Saran
1.Makalah Hukum Pidana ini diharapkan menjadi masukan dan bahan tambahan dalam memahami perkara-perkara Demokrasi.  Penulis juga mengharapkan makalah ini dapat dikembangkan oleh para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994.
Andi Hamzah,  Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 1994.
Pipin Syarifin, Hukum Pidana Di Indonesia, Bandung: Pustaka Setia, 2000.
Ismu Gunawan, dkk, Hukum Pidana, Jakarta: Kencana Pranata Group, 2014.
Zainal Abidin Farid,  Hukum Pidana I, Jakarta, Sinar Grafika, 1995.


[1]Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), hal, 50-51.
[2] Barda Nawawi Arief.…, hal, 51.
[3] Zainal Abidin Farid,  Hukum Pidana I, (Jakarta, Sinar Grafika, 1995), hal, 401.
[4] Andi Hamzah,  Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994),  hal, 139.
[5] Pipin Syarifin, Hukum Pidana Di Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hal, 69-70.
[6] Pipin Syarifin…., hal, 70

Read More

Sabtu, 12 Desember 2015

MAKALAH ASAS HUKUM PIDANA DAN JENIS-JENIS HUKUM PIDANA BESERTA TINDAKANNYA

Desember 12, 2015 0



A.    JENIS-JENIS PIDANA

            KUHP sebagai induk atau sumber utama hukum pidana telah merinci jenis-jenis pidana, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 10 KUHP. Pidana dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu :
1.         Pidana Pokok Terdiri dari:
a.                               Pidana Penjara

            Dalam pasal 10 KUHP, ada dua jenis pidana hilang kemerdekaan bergerak, yakni pidana penjara dan pidana kurungan. Dari sifatnya menghilangkan dan atau membatasi kemerdekaan bergerak, dalam arti menempatkan terpidana dalam suatu tempat (Lembaga Permasyarakatan) di mana terpidana tidak bebas untuk keluar masuk dan di dalamnya wajib untuk tunduk, menaati dan menjalankan semua peraturan tata tertib yang berlaku, maka kedua jenis pidana itu tampaknya sama. Akan tetapi, dua jenis pidana itu sesungguhnya berbeda jauh
            Perbedaan antara pidana penjara dengan pidana kurungan adalah dalam segala hal pidana kurungan lebih ringan dari pada pidana penjara.[4]
            Bentuk dari pidana penjara ini merupakan jenis pidana di mana terpidana harus dimasukkan dalam Lembaga Permasyarakatan (LP) yang sudah disediakan seperti halnya dengan KUHP (RUU) juga menganut pola pidana penjara seumur hidup dan penjara untuk waktu tertentu.
            Sedangkan pidana penjara dalam waktu tertentu polanya terbagi menjadi dua yaitu pola minimum dan maksimum. Dalam konsep KUHP (RUU) pola minimum yang bersifat umum yaitu berupa penjara satu hari dan untuk pola minimum yang bersifat khusus bervariasi antara satu sampai lima tahun. Sedangkan untuk pola maksimum khusus bervariasi dengan konsep KUHP (RUU) adalah dalam pola minmum khusus diman didalamnya tidak dijelaskan secara tepat.
            Adapun sanksi pidan penjara ini tertulis di dalam KUHP (WvS) pasal 12 sampai dengan pasal 20. Sedangkan dalam konsep KUHP (RUU) tercantum dalam pasal 64 sampai 70. [5]
b.                              Pidana Tutupan
            Berlainan dengan pidana penjara, pada pidana tutupan hanya dapat dijatuhkan apabila (Rancangan RUU) :
1)        Orang yang melakukan tindak pidana yang di ancam dengan pidana penjara, mengingat keadaan pribadi dan perbuatannya dapat dijatuhi pidana tutupan;
2)        Terdakwa yang melakukan tindak pidana karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati.
            Pengecualian terhadap ketentuan di atas adalah jika cara melakukan atau akibat dari perbuatan tersebut sedemikian rupa sehingga terdakwa lebih tepat untuk dijatuhi pidana penjara.[6]
            Pidana tutupan ini ditambahkan ke dalam Pasal 10 KUHP melalui UU No. 20 Tahun 1946, yang maksudnya sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 ayat 1 yang menyatakan bahwa dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan, yang diancam dengan pidana penjara karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati, hakim boleh menjatuhkan pidana tutupan. Pasal ayat 2 dinyatakan bahwa pidana tutupan tidak dijatuhkan apabila perbuatan yang merupakan kejahatan itu, cara melakukan perbuatan itu atau akibat dari perbuatan itu adalah sedemikian rupa sehingga hakim berpendapat bahwa pidana penjara lebih tepat.
            Dari ketentuan-ketentuan yang diatur dalam PP Nomor 8 Tahun 1948, dapat diketahui bahwa narapidana  tutupan itu lebih banyak mendapatkan fasilitas dari pada narapidana penjara. Hal ini disebabkan karena orang yang dipidana tutupan itu tidak sama dengan orang-orang yang dipidana penjara. Tindak pidana yang dilakukannya itu merupakan tindak pidana yang didorong oleh maksud yang patut dihormati.
            Berdasarkan bunyi Pasal 2 ayat 1 PP ini, tempatnya pidana tutupan bukan jenis pidana yang berdiri sendiri, melainkan pidana penjara juga. Perbedaannya hanyalah terletak pada orang yang dapat dipidana tutupan hanya bagi orang yang melakukan tindak pidana karena didorong oleh maksud yang patut dihormati. Sayangnya dalam UU itu maupun PP pelaksanaannya itu tidak dijelaskan tentang unsur maksud yang patut dihormati itu. Karena penilaiannya, kriterianya diserahkan sepenuhnya kepada hakim.
            Dalam praktik hukum selama ini, hampir tidak pernah ada putusan hakim yang menjatuhkan pidana tutupan. Sepanjang sejarah praktik hukum di Indonesia, pernah terjadi hanya satu kali hakim menjatuhkan pidana tutupan, yaitu putusan Mahkamah Tentara Agung RI pada tanggal 27 Mei 1948 dalam hal mengadili para pelaku kejahatan yang dikenal dengan sebutan peristiwa 3 Juli 1946.[7]
c.                               Pidana Kurungan
            Pidana ini biasanya dikenakan pada kejahatan tentang politik untuk tidak keluar rumah, kota dan keluar wilayah negara RI. Pidana kurungan ini juga dikenal dengan tahanan rumah, kota dan negara. Hal ini sesuai dengan pasal 21 KUHP, bahwa pidana kurungan harus dijalani dalam daerah dimana terpidana berdiam. Ketika putusan hakim dijalankan atau jika tidak mempunyai tempat kediaman di dalam daerah dimana ia berada. Kecuali kalau Menteri Kehakiman atas permintaan terpidana, maka terpidana diperbolehkan menjalani pidananya di daerah lain.
            Adapun sanksi pidana penjara ini tertulis di dalam KUHP (WvS) pasal 12 sampai dengan pasal pasal 20, sedangkan dalam konsep KUHP (RUU) tercantum dalam pasal 64 sampai 70.
d.                              Pidana Denda
            Pola pidana denda dalam KUHP hanya mengenal minimum umum dan maksimum khusus. Minimum umum pidana denda sebesar 25 sen (pasal 30 ayat 1) yang berdasarkan perubahan menurut UU No. 18 Rp.1960 dilipat gandakan menjadi 15 kali sehingga menjadi Rp.375. Sedangkan maksimum khususnya bervariasi baik untuk tindak kejahatan maupun tindak pelanggaran.
            Adapun konsep KUHP (RUU) pasal 75-78 mengenal minimum umum, minimum khusus dan maksimum khusus. Pidana denda minimum umumnya sebesar Rp.1500,-. Ancaman maksimum khusus dibagi menjadi enam kategori dimana kategori terendah adalah Rp.150.000,-. Sedangkan untuk kategori tertinggi adalah Rp.300.000.000,-. Dan untuk ancaman maksimum khusus denda bervariasi menurut bobot deliknya.
            Pidana denda diancamkan pada banyak jenis pelanggaran (Buku III) baik sebagai alternatif dari pidana kurungan maupun berdiri sendiri.  Begitu juga terhadap jenis kejahatan-kejahatan ringan maupun kejahatan Culpa, pidana denda sering diancamkan sebagai alternatif dari pidana kurungan. Sementara itu, bagi kejahatan-kejahatan selebihnya jarang sekali diancam dengan pidana denda baik sebagai alternatif dari pidana penjara maupun berdiri sendiri.
            Apabila denda tidak dibayar, maka harus menjalani kurungan pengganti denda. Pidana kurungan pengganti denda ini dapat ditetapkan yang lamanya berkisar antara satu hari sampai enam bulan. Dalam keadaan-keadaan tertentu yang memberatkan, batas waktu maksimum enam bulan ini dapat dilampui sampai paling tinggi menjadi delapan bulan (pasal 30 ayat 5, 6).
            Terpidana yang dijatuhi pidana denda boleh segera menjalani kurungan pengganti denda dengan tidak perlu menunggu sampai habis waktu untuk membayar denda. Akan tetapi, bila kemudian ia membayar denda, ketika itu demi hukum ia harus dilepaskan dari kurungan penggantinya.
e.                               Pidana Kerja Sosial
            Dalam konsep KUHP (RUU) khususnya pasal 78-79, pasal ini memuat adanya pidana kerja sosial akan tetapi rumusan deliknya tidak dicantumkan. Begitu juga di dalam KUHP (WvS), pidana kerja sosial ini tidak dicantumkan secara khusus di dalam pasal-pasalnya.
            Dalam penjatuhan pidana selain dipenuhi syaratnya, juga perlu pertimbangan dan syarat-syarat tertentu, misalnya pidana relatif pendek atau dendanya ringan. Garis besar yang perlu dicermati sehubungan pidana kerja sosial adalah sebagai berikut (Rancangan KUHP) :
1)        Apabila pidana penjara yang dijatuhkan tidak lebih dari enam bulan atau pidana denda yang tidak lebih dari denda kategori I maka pidana penjara atau pidana denda tersebutdapat diganti dengan pidana kerja sosial.
2)        Hal-hal yang harus dipertimbangkan:
a)        Pengakuan terpidana terhadap tindak pidana yang dilakukan;
b)        Usia yang layak kerja terpidana menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c)        Persetujuan terpidana sesudah dijelaskan mengenai tujuan dan segala hal yang berhubungan dengan pidana kerja sosial;
d)       Riwayat sosial terpidana;
e)        Perlindungan keselamatan kerja terpidana.
3)        Pidana kerja sosial tidak boleh dikomersilkan dan bertentang dengan keyakinan agama dan politik terpidana.
4)        Jika pidan kerja sosial sebagai pengganti denda maka sebelumnya harus ada permohonan terpidana dengan alasan tidak mampu membayar denda tersebut. Pidana kerja sosial paling singkat tujuh jam.
5)        Waktu pidana kerja sosial dijatuhkan paling lama:
a)        240 jam bagi terpidana yang telah berusia 18 tahun ke atas;
b)        120 jam bagi terpidana yang berusia dibawah 18 tahun.
6)        Pelaksanaan pidan kerja sosial dapat diangsur paling lama 12 bulan
            dengan dengan tetap diperhatikan :
a)        Kegiatan terpidana dalam menjalankan mata pencahariannya dan atau
b)        Kegiatan lain yang bermanfaat.
7)        Apabila terpidana gagal memenuhi seluruh atau sebagian kewajiban untuk menjalankan pidana kerja sosial tanpa alasan wajar maka terpidana dapat diperintahkan:
a)        Mengulangi seluruh atau sebagian pidana kerja sosial tersebur;
b)        Menjalani seluruh atau sebagian pidana penjara diganti dengan pidana kerja sosial tersebut; atau
c)        Membayar seluruh atau sebagian pidana dengan tidak dibayar yang diganti dengan pidana kerja sosial tersebut atau menjalani pidan penjara sebagai pengganti denda yang tidak dibayar.
2.         Pidana Tambahan Terdiri dari:
a.                               Pencabutan Hak-hak Tertentu
            Menurut hukum, pencabutan seluruh hak yang dimiliki seseorang yang dapat mengakibatkan kematian perdata (Burgerlijke Daad) tidak diperkenankan (Pasal 3 BW). UU hanya memberikan kepada negara wewenang (melalui alat/lembaganya) melakukan pencabutan hal tertentu saja, yang menurut Pasal 35 ayat 1 KUHP, hak-hak yang dapat dicabut tersebut adalah:
1)        Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu;
2)        Hak menjalankan jabatan dalam Angkatan Bersenjata/TNI;
3)        Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum;
4)        Hak menjadi penasihat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas atas anak yang bukan anak sendiri;
5)        Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak sendiri;
6)        Hak menjalankan mata pencaharian.
            Sifat hak-hak tertentu yang dapat dicabut oleh hakim, tidak untuk selama-lamanya melainkan dalam waktu tertentu saja, kecuali bila yang bersangkutan dijatuhi pidana penjara seumur hidup atau pidana mati.
            Perlu diperhatikan bahwa hakim baru boleh menjatuhkan pidana pencabutan hak-hak tertentu sebagaimana diterangkan di atas apabila secara tegas diberi wewenang oleh UU yang diancamkan pada rumusan tindak pidana yang bersangkutan. Tindak pidana yang diancam dengan pidana pencabutan hak-hak tertentu antara lain tindak pidana yang dirumuskan dalam Pasal-pasal: 317, 318, 334, 347, 348,350, 362, 363, 365, 372, 374, 375.
b.                              Perampasan Barang-barang Tertentu dan Tagihan
            Salah satu ketentuan yang sangat menarik adalah dapat dijatuhkannya pidana tambahan ini tanpa dijatuhkannya pidana pokok. Pidana ini dapat dijatuhkan apabila ancaman pidana penjara tidak lebih dari tujuh tahun atau jika terpidana hanya dikenakan tindakan. Adapun barang-barang yang dapat dirampas adalah :
1)        Barang milik terpidana atau orang lain yang seluruhnya atau sebagian besar diperoleh dari tindak pidana;
2)        Barang yang ada hubungannya dengan terwujudnya tindak pidana;
3)        Barang yang digunakan untuk mewujudkan atau mempersiapkan tindak pidana;
4)        Barang yang digunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana; atau
5)        Barang yang dibuat atau diperuntukkan bagi terwujudnya tindak pidana.
            Apabila penjatuhan pidana perampasan atas barang yang tidak disita maka dapat ditentukan barang tersebut harus diserahkan atau diganti dengan sejumlah uang menurut penafsiran Hakim. Jika terpidana tidak mau menyerahkan barang yang disita maka Hakim dapat menetapkan harga lawanya. Akhirnya, jika terpidana tidak mampu membayar seluruh atau sebagian harga lawan tersebut maka berlaku ketentuan pidana penjara pengganti untuk pidana denda (vide Pasal 99 Rancangan KUHP).
c.                               Pengunguman Putusan Hakim
            Dalam hal diperintahkan supaya putusan diumumkan maka harus ditetapkan cara melaksanakan perintah tersebut dan jumlah biaya pengunguman yang harus ditanggung oleh terpidana. Namun, apabila biaya pengunguman itu tidak dibayar oleh terpidana maka berlaku ketentuan pidana pengganti untuk pidana denda.
            Setiap putusan hakim memang harus diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum (Pasal 195 KUHAP, dulu Pasal 317 HIR). Bila tidak, putusan itu batal demi hukum.
            Hakim bebas menentukan perihal cara melaksanakan pengunguman. Hal tersebut dapat dilakukan melalui surat kabar, plakat yang ditempelkan pada papan pengunguman, melalui media radio maupun televisi, yang pembiayaanya dibebankan pada terpidana.
            Maksud dari pengunguman putusan hakim yang demikian ini, adalah sebagai usaha Preventif, mencegah bagi orang-orang tertentu agar tidak melakukan tindak pidana yang sering dilakukan orang. Maksud yang lain adalah memberitahukan kepada masyarakat umum agar berhati-hati dalam bergaul dan berhubungan dengan orang-orang yang dapat disangka tidak jujur sehingga tidak menjadi korban dari kejahatan (tindak pidana).

d.                              Pemenuhan Kewajiban Adat.
            Beberapa hal dapat dikemukakan berkaitan dengan pidana tambahan ini (Pasal 102 jo. Pasal 5 Ayat (2) Rancangan KUHP) yaitu sebagai berikut:
1)    Dalam putusan dapat ditetapkan pemenuhan adat setempat, utamanya jika tindak pidana yang dilakukan menurut adat setempat seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.
2)    Kewajiban adat tersebut dianggap sebanding dengan pidana denda kategori I dan dapat dikenakan pidana pengganti jika kewajiban adat itu tidak dipenuhi atau tidak dijalani oleh terpidana yang dapat berupa pidana ganti kerugian.
3.         Pidana Khusus
a.                               Pidana Mati
            Dalam Rancangan KUHP baru disebut bersifat khusus, penerapan pidana mati dalam praktek sering menimbulkan perdebatan di antara yang setuju dan yang tidak setuju. Bagaimanapun pendapat yang tidak setuju adanya pidana mati, namun kenyataan yuridis formal pidana mati memang dibenarkan. Ada beberapa pasal di dalam KUHP yang berisi ancaman pidana mati, seperti makar pembunuhan terhadap Presiden (Pasal 104), pembunuhan berencana (Pasal 340), dan sebagainya.[8]
            Pidana mati merupakan bentuk pidana yang mana terpidana ditembak oleh satu peleton brimob dengan mata tertutup. Di Prancis terpidana dipotong lehernya (Quilotine). Di negara Arab dikenakan hukuman qishash. Dalam konsep KUHP (RUU) pidana mati yang termasuk pidana khusus ini dicantumkan dalam pidana mati Pasal 61, Pasal 80 sampai Pasal 83. Sedangkan dalam KUHP (WvS) termasuk bagian pidana pokok.[9]
B.     TINDAKAN
1.            Tindakan Bagi Orang Dewasa
            Dalam pengenaan tindakan, pelaku tindak pidana dibagi dua kelompok yaitu tidak dapat dan kurang dapat dipertanggung jawabkan. Terhadap yang tidak dapat dipertanggung jawabkan maka tidak dapat dijatuhi pidana. Terhadap yang kurang dapat dipertanggung jawabkan, pidananya dapat dikurangi atau dikenakan tindakan. Adapun penyebab tidak dapat dan kurang dapat dipertanggung jawabkan tersebut adalah sama yaitu menderita gangguan jiwa, penyakit jiwa atau retardisi mental (vide Pasal 41, 42 Rancangan KUHP).[10]
Bagi orang yang tidak atau kurang mampu bertanggung jawab tindakan dijatuhkan tanpa pidana. Diantara bentuk-bentuk tindakan yang tercantum dalam konsep KUHP (RUU) adalah:
1.      Perawatan di rumah sakit jiwa            (Pasal 96)
2.      Penyerahan kepada pemerintah          (Pasal 97)
3.      Penyerahan kepada seseorang             (Pasal 98)
            Adapun bentuk-bentuk tindakan bagi orang pada umumnya yang mampu bertanggung jawab maka dijatuhkan bersama-sama dengan pidana sesuai dengan konsep KUHP (RUU) ayat (2) Pasal 103 yang menyebutkan:
1.      Pencabutan surat izin mengemudi
2.      Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana
3.      Perbaikan akibat-akibat tindak pidana
4.      Latihan kerja
5.      Rehabilitas
6.      Perawatan disuatu lembaga[11]
            Dari rumusan Pasal 105-112 Rancangan KUHP dapat diketengahkan hal-hal pokok sebagai berikut:
1.      Tindakan Perawatan di Rumah Sakit Jiwa
a.       Dijatuhkan setelah pembuat tindak pidana dilepaskan dari segala tuntutan hukum dan yang bersangkutan masih dianggap berbahaya berdasarkan surat keterangan dari dokter ahli.
b.       Pembebasan dari tindakan perawatan di rumah sakit jiwa dikenakan, jika yang bersangkutan dianggap tidak berbahaya lagi dan tidak memerlukan perawatan lebih lanjut berdasarkan surat keterangan dokter ahli.
2.      Tindakan Penyerahan Kepada Pemerintah atau Seseorang
a.       Tindakan penyerahan ini dapat dikenakan, baik kepada pembuat tindak pidana dewasa atau anak-anak.
b.       Tindakan penyerahan ini, bagi orang dewasa dilakukan demi kepentingan masyarakat. Bagi anak dilakukan demi kepentingan anak yang bersangkutan.
c.       Tindakan Pencabutan Surat Izin Mengemudi
Hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam tindakan pencabutan surat izin mengemudi:
a.       Keadaan yang menyertai tindak pidana yang dilakukan,
b.       Keadaanyang menyertai pembuatan tindak pidana, ayau
c.       Kaitan pemilikan surat izin mengemudi dengan usaha mencari nafkah di wilayah negara Indonesia.
Apabila surat izin mengemudi dikeluarkan oleh negara lain maka pencabutan dapat diganti dengan larangan menggunakan surat izin tersebut di wilayah negara Indonesia.
Jangka waktu pencabutan surat izin mengemudi berlaku antara satu sampai lima tahun.
3.      Tindakan Perampasan Keuntungan
a.       Segala keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, baik berupa uang, barang, atau keuntungan lain dirampas.
b.      Jika keuntungan tersebut tidak berupa uang maka pembuat tindak pidana dapat mengganti dengan yang jumlahnya ditentukan oleh hakim.
4.         Tindakan Perbaikan
            Tindakan perbaikan akibat tindak tindak pidana dapat berupa perbaikan, penggantian, atau pembayaran harga kerusakan sebagai akibat tindak pidana tersebut.
5.         Tindakan Latihan Kerja
a.       Dalam penanganan tindakan latihan kerja, yang wajib dipertimbangkan adalah :
1.                  Kemanfaatan bagi pembuat tindak pidana
2.      Kemampuan pembuat tindak pidana, dan
3.      Jenis latihan kerja.
b.      Hal yang wajib diperhatikan dalam penanganan tindakan latihan kerja adalah pengalaman kerja yang pernah dilakukan dan tempat tinggal pembuatan tindak pidana.
6.         Tindakan Rehabilitasi
a.       Pengenaan tindakan rehabilitasi dijatuhkan kepada pembuat tindak pidana yang kecanduan alkohol, obat bius, obat keras, narkotika, yang mengidap kelainan seksual, atau yang mengidap kelainan jiwa.
b.      Rahabilitasi dilaksanakan di dalam suatu lembaga pengobatan dan pembinaan, baik swasta maupun pemerintah.
7.         Tindaka Perawatan
a.       Perawatan di dalam suatu lembaga dapat dikenakan terhadap pembuat tindak pidana dewasa atau anak-anak.
b.      Tindakan perawatan kepada pembuat tindak pidana orang dewasa harus didasarkan atas sifat berbahayanya perbuatan melakukan tindak pidana tersebut sebagai suatu kebiasaan. Tindak perawatan kepada pembuat tindak pidana terhadap anak dimaksudkan untuk membantu orang tua dalam mendidik anak yang bersangkutan.
2.            Tindakan Bagi Anak Nakal
Beberapa tindaka yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal (Pasal 24 ayat (1) ialah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997) adalah:
1. Mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asu
2. Menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja, atau
3. Menyerahkan kepada departemen sosial, atau organisasi sosial kemasyarakatan yang bergerak dibidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja.
            Selain tindakan tersebut, Hakim dapat memberi teguran dan menetapkan syarat tambahan. Teguran adalah peringatan dari Hakim baik secara langsung terhadap anak yang dijatuhi tindakan maupun secara tidak langsung melalui orang tua, wali, atau orang tua asuhnya agar anak tersebut tidak mengulangi perbuatan. Syarat tambahan itu misalnya kewajiban untuk melapor secara periodik kepada pembimbiing kemasyarakatan. (vide penjelasan Pasal 24 ayat (2).
            Penjatuhan tindakan oleh Hakim dilakukan kepada kepada anak yang melakukan pembuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain. Namun terhadap anak yang melakukan tindak pidana, Hakim menjatuhkan pidana pokok dan atau pidana tambahan atau tindakan.
            Dalam segi usia, pengenaan tindakan terutama bagi anak yang masih berumur 8 (delapan) tahun samapi 12 (dua belas) tahun. Terhadap anak yang telah melampaui umur 12 (dua belas) sampai 18 (delapan belas) tahun dijatuhkan pidana. Hal itu dilakukan mengingat pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial anak.
            Jenis tindakan yang dapat dijatuhkan kepda anak berdasar Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Pasal 24 ayat (1) ternyata lebih sempit (sedikit) apabila dibandingkan dengan rumusan Rancangan KUHP baru. Rumusan pengenaan tindakan terhadap anak (Pasal 132 Rancangan KUHP) adalah:
a.         Pengembalian kepada orang tua, wali atau pengasuhnya
b.        Penyerahan kepada pemerintah atau seseorang
c.         Keharusan menngikuti suatu latihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta
d.        Pencabutan surat izin mengemudi
e.         Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana
f.         Perbaikan akibat tindak pidana
g.        Rehabilitasi dan atau,
h.        Perawatan di dalam suatu lembaga[12]








KASUS PEMBUNUHAN DI PASAR BINTAN CENTRE

Tersangka        : A Hiang/ Kie Hai/ Apek koboy
Korban                        : A bak/ Tjia Mei
Waktu             : 4 Oktober 2010 sekitar pukul 04.00 WIB.
Tempat            : Pasar Bestari Bintan Center
Modus             : cek-cok mulut dan rasa kesal yang berkepanjangan

  1. Kronologi Kasus
            Kejadian diawali dengan cekcok mulut saat dagangan mulai dipersiapkan. Ketika itu, A Hiang sedang duduk di kedai kopi. Dari kejauhan A Hiang melihat Tjiang Ming alias A Bak sedang memindahkan kayu untuk menggantung kantong plastik miliknya.
            A Hiang mendatangi A Bak dan menanyakan tentang pemindahan gantungan kantong plastik tersebut, A Bak mengungkapkan bahwa gantungan kantong plastik itu mengenai gantungan plastik miliknya. Cekcok mulut pun terjadi hingga A Bak mengeluarkan bahasa kotor dalam bahasa Cina.
            Mendengar bahasa kotor tersebut, A Hiang naik darah dan mengambil parang yang berada di dekatnya dan mendaratkan ke batang leher sebelah kiri A Bak hingga mengeluarkan darah segar.
            A Bak berusaha melarikan diri dengan membalikkan badannya. Tapi tebasan kedua kalinya hinggap di kepalanya dan lalu tersungkur di lantai. Setelah menebas leher A Bak dan meninggalkannya dalam kondisi bersimbah darah, A Hiang mendatangi Polsek Tanjungpinang Timur yang berada di depan Pasar Bestari.
            A Hiang mengatakan ke petugas jaga bahwa ia baru saja membunuh orang dengan parang yang masih berada di tangannya.





  1. Analisa Kasus
Berdasarkan kasus di atas kami menganalisis bahwa tersangka A Hiang/ Kie Hai/ Apek koboy, melakukan pembacokan sebanayk dua kali terhadap korban A bak/ Tjia Mei, bacokan pertama tidak menyebabkan kematian karena hanya mengenai leher dari korban sedangkan bacokan kedua yang dilayangkan oleh tersangka terhadap korban telah menyebabkan korban meninggal di tempat kejadian perkara (TKP) karena mengenai kepala dari si korban.
Pembunuhan yang dilakukan oleh tersangka masuk dalam Pasal 338 KUHP tentang Pembunuhan.
“Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”
Dari Pasal di atas jika dikaitkan dengan kasus, maka sudah jelas bahwa tersangka memang dengan sengaja ingin menghilangkan nyawa korban (membunuh) korban, karena pada saat korban sudah terkena bacokan yang pertama yaitu di lehernya, korban masih bisa bangun dan melarikan diri dari tersangka tetapi tersangka malah mengejar korban dan kembali membacok korban di kepalanya sehingga korban jatuh ke lantai dan bersimbah darah dan korban seketika itu meninggal di tepat kejadian perkara.
Setelah melakukan pembunuhan tersebut tersangka langsung pergi ke kantor polisi terdekat untuk menyerahkan dirinya ke pihak yang berwajib dengan menceritakan semua yang telah tersangka lakukan yaitu tersnagka telah melakukan pembunuhan. Dari tindakan yang dilakukan oleh tersangka yaitu dia langsung menyerahkan diri kepada pihak yang berwajib dapat dikatagorikan sebagai tindakan yang tepat dan dapat meringankan hukuman yang akan dijatuhkan terhadap tersangka, tetapi dalam UU hal tersebut memang tidak diatur.
Dengan tindakan yang dilakukan oleh tersangka yang telah menghilangkan nyawa seseorang maka hal ini dapat di kategorikan sebagai jenis pidana pokok, jenis pidana pokok di sini ada lima, tetapi dalam kasus di atas maka jenis pidana yang dapat di jatuhkan kepada tersangka adalah pidana penjara.
Bentuk dari pidana penjara ini merupakan jenis pidana di mana terpidana harus dimasukkan dalam Lembaga Permasyarakatan (LP) yang sudah disediakan seperti halnya dengan KUHP juga menganut pola pidana penjara seumur hidup dan penjara untuk waktu tertentu.
Dalam hal ini tersangka memang harus di masukkan ke dalam LP karena telah melakukan pembunuhan dan harus dihukum penjara kurang lebih lima belas tahun (15 tahun) dan dapat berubah sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh Hakim yang mengadili.


























BAB III
PENUTUP

            Hukum merupakan suatu pedoman yang mengatur pola hidup manusia yang memiliki peranan penting dalam mencapai tujuan ketentraman hidup bagi masyarakat. Oleh karena itulah, hukum mengenal adanya adagium ibi societes ibi ius.
            Dalam hal pemidanaan, KUHPidana telah mengklasifikasikan beberapa jenis Pidana yang terdapat pada Pasal 10, yang berupa :
A.    Pidana pokok terdiri dari:
1.      Pidana Mati
2.      Pidana Penjara
3.      Pidana Kurungan
4.      Pidana Denda
B.     Pidana Tambahan terdiri dari:
1.      Pencabutan Hak-hak Tertentu
2.      Perampasan Barang-barang Tertentu
3.      Pengunguman Putusan Hakim
            Sebuah pro dan kontra atau pertentangan pendapat yang masih terus berlangsung dalam domain hukum pidana sebagaimana tersebut di atas ialah mengenai keberadaan lembaga pidana mati baik dalam kedudukan sebagai hukum positif maupun dalam upaya pembaharuan hukum pidana sebagai bagian dari hukuman (pidana).  Sebagaimana diketahui eksistensi lembaga pidana pidana mati



DAFTAR PUSTAKA

Chamzawi, Adami, Pelajaran Hukum Pidana 1, Jakarta: Grafindo Persada, 2005

Darmodiharjo, Darji, Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama, , 1995.

Moeljatno, Kitab Undang Undang Hukum Pidana, Bumi Aksara, Jakarta, 2005

Sahetapy, J.E., Pidana Mati dalam Negara Pancasila, Bandung: P.T. Citra Aditya Bakti, 2007.

Syaifullah, Buku Ajar Konsep Dasar Hukum Pidana. 2004.

Waluyo, Bambang, Pidana dan Pemidanaan, Jakarta: Sinar Grafika, 2004.




[1] Darji Darmodiharjo & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, P.T. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995, hlm. 73.
[2] Moeljatno, Kitab Undang Undang Hukum Pidana, (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), h. 5-6.
[3] J.E. Sahetapy, Pidana Mati dalam Negara Pancasila,( Bandung: P.T. Citra Aditya Bakti, 2007), h. 5-6.
[4] Adami Chamzawi, Pelajaran Hukum Pidana 1 (Jakarta: Grafindo Persada, 2005), h. 32.
[5] Syaifullah, Buku Ajar Konsep Dasar Hukum Pidana. 2004, h. 42-43
[6] Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan (jakarta: Sinar Grafika, 2004), h. 18-19.
[7] Adami Chamzawi, Pelajaran Hukum Pidana , h. 43-44.
[8] Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, h. 12-13.
[9] Syaifullah, Buku Ajar Konsep Dasar Hukum Pidana. 2004, h. 45.
[10] Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta: Sinar grafika, 2004) h. 23
[11] Saifullah, Buku Ajar Konsep Dasar Hukum Pidana, (Malang, 2004) h. 45
[12] Bambang, Pidana dan Pemidanaan, h. 22-28

Read More

Post Top Ad

Your Ad Spot