Knowledge Is Free: Filsafat

Hot

Sponsor

Tampilkan postingan dengan label Filsafat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Filsafat. Tampilkan semua postingan

Kamis, 09 Mei 2019

Makalah Aliran Filsafat Pendidikan Pragmatisme, Aliran Filsafat Pendidikan Eksistensialisme, Filsafat Pendidikan Progresivisme

Mei 09, 2019 0



A.    Aliran Filsafat Pendidikan Pragmatisme

Paham ini memandang bahwa realita merupakan interaksi antara manusia dan lingkungannya. Manusia sebagai makhluk fisik hasil evolusi biologis, sosial dan psikologis. Manusia hakikatnya plastis dan dapat berubah, sedang pengetahuan sebagai transaksi manusia dengan lingkungannya, dan kebenaran merupakan bagian dari pengetahuan. Nilai sesuatu yang relatif, selalu berubah, dan tidak tetap. Mengenai pendidikan, paham ini berpandangan bahwa pendidikan merupakan suatu proses reorganisasi dan rekontruksi dari pengalaman-pengalaman individu (Sadullah, 2007: 125). Pembentukan pribadi anak merupakan proses menata dan membangun kembali pengalaman-pengalaman anak, bukan proses pembentukan dari luar dan bukan pemerkahan potensi diri. Pendidikan adalah kehidupan itu sendiri bukan persiapan untuk kehidupan. Tujuan pendidikan adalah suatu kehidupan yang baik. Oleh karena pelajaran yang diberikan harus didasarkan fakta-fakta yang sudah diobservasi, dipahami dan dibicarakan. Dan kurikulumnya, setiap pelajaran merupakan suatu kesatuan, perpaduan antara pengalaman di sekolah dan luar sekolah. Pendidik di sini hanya sebagai fasilitator dan memberi dorongan pada peserta didik hingga dapat berpikir ilmiah dan logis.
Pragmatisme adalah aliran pemikiran yang memandang bahwa benar tidaknya suatu  ucapan, dalil, atau teori, semata-mata bergantung kepada berfaedah atau tidaknya ucapan, dalil, atau teori tersebut bagi manusia untuk bertindak dalam kehidupannya. Ide ini merupakan budaya dan tradisi berpikir Amerika khususnya dan Barat pada umumnya, yang lahir sebagai sebuah upaya intelektual untuk menjawab problem-problem yang terjadi pada awal abad ini. Pragmatisme dari bahasa Yunani: pragma, artinya yang dikerjakan, yang dilakukan, perbuatan, tindakan, merupakan sebutan bagi filsafat yang dikembangkan oleh William James (1842 - 1910) di Amerika Serikat.[1] Menurut filsafat ini, benar tidaknya suatu ucapan, dalil atau teori semata-mata bergantung pada manusia dalam bertindak. Istilah pragmatisme ini diangkat pada tahun 1865 oleh Charles S. Pierce (1839-1914) sebagai doktrin pragmatisme.
Diakui atau tidak, paham pragmatisme menjadi sangat berpengaruh dalam pola pikir bangsa Amerika Serikat. Pengaruh pragmatisme menjalar di segala aspek kehidupan, tidak terkecuali di dunia pendidikan. Salah satu tokoh sentral yang sangat berjasa dalam pengembangan pragmatisme pendidikan adalah John Dewey (1859 - 1952). Pragmatisme Dewey merupakan sintensis pemikiran-pemikiran Charles S. Pierce dan William James. Dewey mencapai popularitasnya di bidang logika, etika epistemologi, filsafat politik, dan pendidikan. Pragmatisme tak dapat dilepaskan dari keberadaan dan perkembangan ide-ide sebelumnya di Eropa, sebagaimana tak bisa diingkari pula adanya pengaruh dan imbas baliknya terhadap ide-ide yang dikembangkan lebih lanjut di Eropa. William James mengatakan bahwa Pragmatisme yang diajarkannya, merupakan “nama baru bagi sejumlah cara berpikir lama”. Dan dia sendiri pun menganggap pemikirannya sebagai kelanjutan dari Empirisme Inggris, seperti yang dirintis oleh Francis Bacon (1561-1626), yang kemudian dikembangkan oleh Thomas Hobbes (1558-1679) dan John Locke (1632-1704). Pragmatisme, di samping itu telah mempengaruhi filsafat Eropa dalam berbagai bentuknya, baik filsafat Eksistensialisme maupun Neorealisme dan Neopositivisme.
Pragmatisme telah menjadi semacam ruh yang menghidupi tubuh ide-ide dalam ideologi kapitalisme yang telah disebarkan barat ke seluruh dunia melalui penjajahan dengan gaya lama maupun baru. Dalam konteks inilah, Pragmatisme dapat dipandang berbahaya karena telah mengajarkan dua sisi kekeliruan sekaligus kepada dunia yakni standar kebenaran pemikiran dan standar perbuatan manusia.
Atas dasar itu, mereka yang bertanggung jawab terhadap kemanusiaan tak dapat mengelak dari sebuah tugas mulia yang menantang, yakni menjinakkan bahaya Pragmatisme dengan mengkaji dan mengkritisinya sebagai landasan strategis untuk melakukan dekonstruksi (penghancuran bangunan ide). Pragmatisme sekaligus untuk mengkonstruk ideologi dan peradaban Islam sebagai alternatif dari kapitalisme yang telah mengalami pembusukan dan hanya menghasilkan penderitaan pedih bagi umat manusia. Pemikiran John Dewey banyak dipengaruhi oleh teori evolusi Charles Darwin (1809-1882) yang mengajarkan bahwa hidup di dunia ini merupakan suatu proses, dimulai dari tingkatan terendah dan berkembang maju dan meningkat. Hidup tidak statis, melainkan bersifat dinamis. All is in the making, semuanya dalam perkembangan. Pandangan Dewey mencerminkan teori evolusi dan kepercayaannya pada kapasitas manusia dalam kemajuan moral dan lingkungan masyarakat, khususnya melalui pendidikan. Menurut Dewey, dunia ini penciptaannya belum selesai. Segala sesuatu berubah, tumbuh, berkembang, tidak ada batas, tidak statis, dan tidak ada finalnya. Bahkan, hukum moral pun berubah, berkembang menjadi sempurna. Tidak ada batasan hukum moral dan tidak ada prinsip-prinsip abadi, baik tingkah laku maupun pengetahuan.
Pengalaman adalah salah satu kunci dalam filsafat pragmatisme. Pengalaman merupakan keseluruhan aktivitas manusia yang mencakup segala proses yang saling mempengaruhi antara organisme yang hidup dalam lingkungan sosial dan fisik. Filsafat pragmatisme Dewey dibangun berdasarkan asumsi bahwa pengetahuan berpangkal dari pengalaman-pengalaman dan bergerak kembali menuju pengalaman. Untuk menyusun kembali pengalaman-pengalaman tersebut diperlukan pendidikan yang merupakan transformasi yang terawasi dari keadaan tidak menentu ke arah keadaan tertentu. Pandangan Dewey mengenai pendidikan tumbuh bersamaan dengan kerjanya di laboratorium sekolah untuk anak-anak di University of Chicago. Di lembaga ini, Dewey mencoba untuk mengupayakan sekolah sebagai miniatur komunitas yang menggunakan pengalaman-pengalaman sebagai pijakan. Dengan model tersebut, siswa dapat melakukan sesuatu secara bersama-sama dan belajar untuk memantapkan kemampuannya dan keahliannya. Sebagai tokoh pragmatisme, Dewey memberikan kebenaran berdasarkan manfaatnya dalam kehidupan praktis, baik secara individual maupun kolektif. Oleh karenanya, ia berpendapat bahwa tugas filsafat memberikan garis-garis arahan bagi perbuatan. Filsafat tidak boleh tenggelam dalam pemikiran metafisik yang sama sekali tidak berfaedah. Filsafat harus berpijak pada pengalaman dan menyelidiki serta mengolah pengalaman tersebut secara aktif dan kritis. Dengan cara demikian, filsafat menurut Dewey dapat menyusun norma-norma dan nilai-nilai.

B.     Aliran Filsafat Pendidikan  Eksistensialisme

Konsep eksistensialisme dikembangkan oleh ahli filsafat asal Jerman, Martin Heidegger (1889-1976), merupakan bagian filsafat dan akar metodologinya berasal dari metodologi fenomenologi yang dikembangkan oleh Hussel (1859 – 1938). Kemunculan eksistensialisme berawal dari ahli filsafat Soren Kierkegaard dan Nietzche. Soren Kierkegaard ingin menjawab pertanyaan “Bagaimanakah aku menjadi seorang diri?”, dasar pertanyaan tersebut mengemukakan bahwa kebenaran itu tidak berada pada suatu system yang umum tetapi berada dalam eksistensi individu yang konkret.[2]
Pandangan tersebut tentunya bukan suatu yang muncul dengan sendirinya, melainkan sesuatu yang lahir ketika dunia mengalami krisis eksistensial, ketika manusia melupakan sifat individualisnya. Kierkegaard berusaha untuk menemukan jawaban untuk pertanyaan tersebut manusia (aku) bisa menjadi individu yang autentik jika memiliki gairah, keterlibatan, dan komitmen pribadi dalam kehidupan.
Dari kierkegaard kemudian diteruskan oleh Nitzche (1844-1900), pemikiran filsafat Nitzche terarah pada upaya melahirkan ide yang bisa menjadi jalan keluar untuk menjawab pertanyaan filosofisnya, yaitu “bagaimana cara menjadi manusia unggul”. Jawabannya adalah manusia bisa menjadi unggul jika mempunyai keberanian untuk merealisasikan diri secara jujur dan berani.
Sebagai pandangan baru, filsafat eksistensialisme merupakan filsafat yang secara khusus mendeskripsikan eksistensial dan pengalaman manusia dengan metodologi fenomenologi atau cara manusia berada. Eksistensialisme adalah suatu reaksi terhadap materialisme dan idealisme. Pendapat materialisme terhadap manusia adalah manusia merupakan benda dunia, manusia adalah materi, manusia adalah sesuatu yang ada tanpa menjadi subyek. Pandangan manusia menurut idealism adalah manusia hanya sebagai subyek atau hanya sebagai suatu kesadaran. Eksistensialisme berkeyakinan situasi manusia selalu berpangkalkan eksistensi sehingga aliran eksistensialisme penuh dengan lukisan-lukisan yang konkret.
Disini bagi eksistensialisme, individu bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar. Sebenarnya, bukannya tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialisme dasar bahwa kebenaran bersifat relative, karenanya masing-masing individu bebas menentukan sesuatu yang menurutnya benar.
Sementara, dalam ruang ontology, eksistensialisme banyak mempersoalkan makna keberadaan manusia yang diyakini mesti dihadirkan lewat kebebasan. Oleh karenanya, pertanyaan utama eksistensialisme nyaris selalu bersinggungan dengan persoalan kebebasan; mulai dari apakah kebebasan itu? bagaimanakah manusia yang bebas itu? Eksistensialisme menolak mentah-mentah bentuk determinasi terhadap kebebasan kecuali kebebasan tersebut.
Sementara, di perancis eksistensialisme dikenal lewat Jean Paul Sartre, dengan diktumnya “human is condemned to be free”. Manusia demikian menurut Sartre, dikutuk untuk bebas. Dengan kebebasannya itulah kemudian manusia bertindak. Dalam sisi ini, pertanyaan yang sering muncul sebagai akibat dari adanya kebebasan eksistensialis : sejauh mana kebebasan manusia itu? Atau, sesuatu yang dalam istilah dikenal “orde baru”. Apakah eksistensialisme mengenal kebebasan yang bertanggung jawab? Para penganut eksistensialisme meyakini kebebasan adalah satu-satunya universalitas manusia. Maka, batasan kebebasan setiap individu adalah kebebasan individu lain.
Namun, menjadi eksistensialis bukan harus menjadi seseorang yang lain daripada yang lain, sebaliknya menjadi sadar betapa keberadaan dunia selalu menjadi sesuatu yang berada di luar kendali manusia. Meski hal itu bukan berarti membuat sesuatu yang unik ataupun yang baru yang menjadi esensi eksistensialisme.
Membuat sebuah pilihan atas dasar keinginan sendiri dan sadar akan tanggung jawabnya di masa depan adalah inti eksistensialisme. Sebagai contoh, mau tidak mau kita akan terjun ke berbagai profesi seperti dokter atau lainnya tetapi yang dipersoalkan oleh eksistensialisme apakah kita menjadi dokter atau lainnya merupakan keinginan orang tua atau kita sendiri. Adapun secara umum, eksistensialisme membagi problem filsafat menjadi empat masalah filosofis : eksistensi manusia, bagaimana bereksistensi secara aktif, eksistensi manusia adalah eksistensi yang terbuka dan belum selesai, serta pengalaman eksistensial.
Dalam membicarakan kesadaran, Sartre membagi menjadi dua, yaitu kesadaran prareflektif dan kesadaran reflektif. Kesadaran prafeflektif adalah kesadaran aktivitas harian. Menurut Sartre, tidak ada “aku” dalam kesadaran prareflektif. Sedangkan, kesadaran reflektif adalah kesadaran akan diri. Selama seseorang berkonsentrasi, ia mengalami kesadaran reflektif. Kesadaran ini membuat manusia mampu membayangkan apa yang mungkin terjadi dan apa yang bisa ia lakukan. Singkatnya, eksistensialisme selalu menjadi pemikiran filsafat yang berupa untuk agar manusia menjadi dirinya, mengalami individualitasnya. Eksistensi berarti berdiri sendiri sebagai diri sendiri. Menurut eksistensialisme, ada dua jenis filsafat tradisional, yaitu filsafat spekulatif dan filsafat skeptif. Filsafat spekulatif menyatakan bahwa pengalaman tidak banyak berpengaruh pada individu. Filsafat skeptif menyatakan bahwa semuanya pengalaman itu adalah palsu, tidak ada sesuatu yang dapat kita kenal dari realita.


v  Eksistensialisme Dalam Pendidikan
1)      Pengetahuan
Teori pengetahuan eksistensialisme banyak dipengaruhi oleh filsafat fenomenologi, suatu pandangan yang menggambarkan penampakan benda-benda dan peristiwa-peristiwa sebagaimana benda-benda tersebut menampakan dirinya terhadap kesadaran manusia. Pengetahuan manusia tergantung kepada pemahamannya tentang realitas, tergantung pada interpretasi manusia terhadap realitas, pengetahuan yang diberikan di sekolah bukan sebagai alat untuk memperoleh pekerjaan atau karir anak, melainkan untuk dapat dijadikan alat perkembangan dan alat pemenuhan diri. Pelajaran di sekolah akan dijadikan alat untuk merealisasikan diri, bukan merupakan suatu disiplin yang kaku dimana anak harus patuh dan tunduk terhadap isi pelajaran tersebut. Biarkanlah pribadi anak berkembang untuk menemukan kebenaran-kebenaran dalam kebenaran.

2)      Nilai
Pemahaman eksistensialisme terhadap nilai, menekankan kebebasan dalam tindakan. Kebebasan bukan tujuan atau suatu cita-cita dalam dirinya sendiri, melainkan merupakan suatu potensi untuk suatu tindakan. Manusia memiliki kebebasan untuk memilih, namun menentukan pilihan-pilihan di antara pilihan-pilihan yang terbaik adalah yang paling sukar. Berbuat akan menghasilkan akibat, dimana seseorang harus menerima akibat-akibat tersebut sebagai pilihannya. Kebebasan tidak pernah selesai, karena setiap akibat akan melahirkan kebutuhan untuk pilihan berikutnya. Tindakan moral mungkin dilakukan untuk moral itu sendiri, dan mungkin juga untuk suatu tujuan. Seseorang harus berkemampuan untuk menciptakan tujuannya sendiri. Apabila seseorang mengambil tujuan kelompok atau masyarakat, maka ia harus menjadikan tujuan-tujuan tersebut sebagai miliknya, sebagai tujuan sendiri, yang harus ia capai dalam setiap situasi. Jadi, tujuan diperoleh dalam situasi.


3)      Pendidikan
Eksistensialisme sebagai filsafat sangat menekankan individualitas dan pemenuhan diri secara pribadi. Setiap individu dipandang sebagai makhluk unik, dan secara unik pula ia bertanggung jawab terhadap nasibnya. Dalam hubungannya dengan pendidikan, Sikun Pribadi (1971) mengemukakan bahwa eksistensialisme berhubungan erat sekali dengan pendidikan, karena keduanya bersinggungan satu dengan yang lainnya pada masalah-masalah yang sama, yaitu manusia, hidup, hubungan anatar manusia, hakikat kepribadian, dan kebebasan. Pusat pembicaraan eksistensialisme adalah “keberadaan” manusia, sedangkan pendidikan hanya dilakukan oleh manusia.





4)      Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan adalah untuk mendorong setiap individu agar mampu mengembangkan semua potensinya untuk pemenuhan diri. Setiap indivudu memiliki kebutuhan dan perhatian yang spesifik berkaitan dengan pemenuhan dirinya, sehingga dalam menentukan kurikulum tidak ada kurikulum yang pasti dan ditentukan berlaku secara umum.
5)      Kurikulum
Kaum eksistensialisme menilai kurikulum berdasarkan pada apakah hal itu berkontribusi pada pencarian individu akan makna dan muncul dalam suiatu tingkatan kepekaaan personal yang disebut Greene “kebangkitan yang luas”. Kurikulum ideal adalah kurikulum  yang memberikan para siswa kebebasan individual yang luas dan mensyaratkan mereka untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan, melaksanakan pencarian-pencarian mereka sendiri, dan menarik kesimpulan-kesimpulan mereka sendiri. Menurut pandangan eksistensialisme, tidak ada satu mata pelajaran tertentu yang lebih penting daripada yang lainnya. Mata pelajaran merupakan materi dimana individu akan dapat menemukan dirinya dan kesadaran akan dunianya. Mata pelajaran yang dapat memenuhi tuntutan di atas adalah mata pelajaran IPA, sejarah, sastra, filsafat, dan seni. Bagi beberapa anak, pelajaran yang dapat membantu untuk menemukan dirinya adalah IPA, namun bagi yang lainnya mungkin saja bisa sejarah, filsafat, sastra, dan sebagainya. Dengan mata-mata pelajaran tersebut, siswa akan berkenalan dengan pandangan dan wawasan para penulis dan pemikir termasyhur, memahami hakikat manusia di dunia, memahami kebenaran dan kesalahan, kekuasaaan, konflik, penderitaan, dan mati. Kesemuanya itu merupakan tema-tema yang akan melibatkan siswa baik intelektual maupun emosional. Sebagai contoh kaum eksistensialisme melihat sejarah sebagai suatu perjuangan manusia mencapai kebebasan. Siswa harus melibatkan dirinya dalam periode apapun yang sedang ia pelajari dan menyatukan dirinya dalam masalah-masalah kepribadian yang sedang dipelajarinya. Sejarah yang ia pelajari harus dapat membangkitkan pikiran dan perasaannya serta menjadi bagian dari dirinya.
Kurikulum eksistensialisme memberikan perhatian yang besar terhadap humaniora dan seni. Karena kedua materi tersebut diperlukan agar individu dapat mengadakan instrospeksi dan mengenalkan gambaran dirinya. Pelajar harus didorong untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat mengembangkan keterampilan yang dibutuhkan, serta memperoleh pengetahuan yang diharapkan. Eksistensialisme menolak apa yang disebut penonton teori. Oleh karena itu, sekolah harus mencoba membawa siswa ke dalam hidup yang sebenarnya.
6)      Proses Belajar Mengajar
Menurut Kneller (1971), konsep belajar mengajar eksistensialisme dapat diaplikasikan dari pandangan Martin Buber tentang “dialog”. Dialog merupakan percakapan antara pribadi dengan pribadi, dimana setiap pribadi merupakan subjek bagi yang lainnya. Menurut Buber kebanyakan proses pendidikan merupakan paksaan. Anak dipaksa menyerah kepada kehendak guru, atau pada pengetahuan yang tidak fleksibel, dimana guru menjadi penguasanya. Selanjutnya Buber mengemukakan bahwa, guru hendaknya tidak boleh disamakan dengan seorang instruktur. Jika guru disamakan dengan instruktur maka ia hanya akan merupakan perantara yang sederhana antara materi pelajaran dan siswa. Seandainya ia hanya dianggap sebagai alat untuk mentransfer pengetahuan, dan siswa akan menjadi hasil dari transfer tersebut. Pengetahuan akan menguasai manusia, sehingga manusia akan menjadi alat dan produk dari pengetahuan tersebut.
Dalam proses belajar mengajar, pengetahuan tidak dilimpahkan melainkan ditawarkan. Untuk menjadikan hubungan antara guru dengan siswa sebagai suatu dialog, maka pengetahuan yang akan diberikan kepada siswa harus menjadi bagian dari pengalaman pribadi guru itu sendiri, sehingga guru akan berjumpa dengan siswa sebagai pertemuan antara pribadi dengan pribadi. Pengetahuan yang ditawarkan guru tidak merupakan suatu yang diberikan kepada siswa yang tidak dikuasainya, melainkan merupakan suatu aspek yang telah menjadi miliknya sendiri.




7)      Peranan Guru
Menurut pemikiran eksistensialisme, kehidupan tidak bermakna apa-apa, dan alam semesta berlainan dengan situasi yang manusia temukan sendiri di dalamnya. Kendatipun demikian dengan kebebasan yang kita miliki, masing-masing dari kita harus commit sendiri pada penentuan makna bagi kehidupan kita. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Maxine Greene (Parkay, 1998), seorang filosof pendidikan terkenal yang karyanya didasarkan pada eksistensialisme “kita harus mengetahui kehidupan kita, menjelaskan situasi-situasi kita jika kita memahami dunia dari sudut pendirian bersama”. Urusan manusia yang paling berharga yang mungkin paling bermanfaat dalam mengangkat pencarian pribadi akan makna merupakan proses edukatif. Sekalipun begitu, para guru harus memberikan kebebasan kepada siswa memilih dan memberi mereka pengalaman-pengalaman yang akan membantu mereka menemukan makna dari kehidupan mereka. Pendekatan ini berlawanan dengan keyakinan banyak orang, tidak berarti bahwa para siswa boleh melakukan apa saja yang mereka suka. Guru hendaknya memberi semangat kepada siswa untuk memikirkan dirinya dalam suatu dialog. Guru menyatakan tentang ide-ide yang dimiliki siswa, dan mengajukan ide-ide lain, kemudian membimbing siswa untuk memilih alternatif-alternatif, sehingga siswa akan melihat bahwa kebenaran tidak terjadi pada manusia melainkan dipilih oleh manusia. Lebih dari itu, siswa harus menjadi faktor dalam suatu drama belajar, bukan penonton. Siswa harus belajar keras seperti gurunya. Guru harus mampu membimbing dan mengarahkan siswa dengan seksama sehingga siswa mampu berpikir relative dengan melalui pertanyaan-pertanyaan. Dalam arti, guru tidak mengarahkan dan tidak member instruksi. Guru hadir dalam kelas dengan wawasan yang luas agar betul-betul menghasilkan diskusi tentang mata pelajaran. Diskusi merupakan metode utama dalam pandangan eksistemsialisme. Siswa memiliki hak untuk menolak interpretasi guru tentang pelajaran. Sekolah merupakan suatu forum dimana para siswa mampu berdialog dengan teman-temannya, dan guru membantu menjelaskan kemajuan siswa dalam pemenuhan dirinya.



C.     Aliran Filsafat Pendidikan Progressivisme

Pengertian dasar yang menjadi cirri dari aliran ini adalah progress, yang berarti maju. Progressivisme lebih mengutamakan perhatiannya ke masa depan, kurang memperhatikan ke masa lalu. Ciri utama aliran ini ialah bahwa aliran ini memandang manusia sebagai subyek yang memiliki kemampuan untuk menghadapi dunia dan lingkungan hidupnya dengan keterampilan dan kekuatan sendiri. Dan dengan kemampuan itu manusia dapat memecahkan semua problemanya secara intelligent, dengan intelegensi aktif. Aliran progressivisme mengakui dan berusaha mengembangkan asas progressivisme dalam semua realita, terutama dalam kehidupan adalah tetap survive terhadap semua tantangan hidup manusia, harus praktis dalam melihat segala sesuatu dari segi keagungannya.[3]
Progressivisme dinamakan instrumentalisme, karena aliran ini beranggapan bahwa kemampuan intelegensi manusia sebagai alat untuk hidup, untuk kesejahteraan, untuk mengembangkan kepribadian manusia. Dinamakan eksperimentalisme, karena aliran tersebut menyadari dan mempraktekkan asas eksperimen yang merupakan untuk menguji kebenaran suatu teori. Progressivisme dinamakan environmentalisme karena aliran ini menganggap lingkungan hidup itu mempengaruhi pembinaan kepribadian. Dalam pendapat lain, progressivisme berpendapat bahwa suatu keterangan itu benar, kalau kebenaran itu sesuai dengan realitas, atau suatu keterangan akan dikatakan benar, kalau kebenaran itu sesuai dengan kenyataan. Aliran progressivisme memiliki kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan yang meliputi Ilmu hayat, bahwa manusia mengetahui kehidupan semua masalah. Antropologi yaitu bahwa manusia mempunyai pengalaman, pencipta budaya, dengan demikian dapat mencari hal baru. Psikologi yaitu manusia akan berpikir tentang dirinya sendiri, lingkungan, dan pengalaman-pengalamannya, sifat-sifat alam, serta dapat menguasai dan mengaturnya. Filsafat pendidikan Progressivisme dikembangkan oleh para ahli pendidikan seperti John Dewey, William Kilpatrick, George Count, dan Harold Rugg diawal abad 20. Progressivisme merupakan pendidikan yang berpusat pada siswa dan memberi penekanan lebih besar pada kreativitas, aktivitas, belajar "naturalistik", hasil belajar "dunia nyata" dan juga pengalaman teman sebaya.
Salah seorang bapak pendiri filsafat progressivisme, Dewey mengembangkan progressivisme dalam bentuknya yang orisinil, tapi meskipun demikian, namanya sering pula dihubungkan terutama sekali dengan versi pemikiran yang disebut instrumentalisme. Adapun ide filsafatnya yang utama, berkisar dalam hubungan dengan problema pendidikan yang konkrit, baik teori maupun praktek. Dan reputasi (nama baik) internasionalnya terletak dalam sumbangan pikirannya terhadap filsafat pendidikan Progressivisme Amerika. Dewey tidak hanya berpengaruh dalam kalangan ahli filsafat profesional, akan tetapi juga karena perkembangan idenya yang fundamental dalam bidang ekonomi, hukum, antropologi, teori politik dan ilmu jiwa.




























BAB III
PENUTUP

1.      Kesimpulan

Filsafat Pendidikan adalah ilmu yang mempelajari atau membahas pendidikan secara filosofis. Filsafat dan filsafat pendidikan memiliki hubungan erat yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya, filsafat melandasi dan melatarbelakangi lahirnya filsafat pendidikan. Senada juga filsafat dan pendidikan memiliki hubungan yang berkait, filsafat menjadi kerangka dasar yang melandasi praktik pendidikan, dan pendidikan menjadi media aktualisasi konsep-konsep filsafat.
Demikian pula filsafat pendidikan dan pendidikan memiliki hubungan timbal-balik yang saling membangun dan menguntungkan untuk kemajuan dunia pendidikan yang terus berkembang pesat, filsafat pendidikan sebagai landasan filosofis, kaidah nilai dan pola pelaksanaan pendidikan, dan pendidikan menjadi bahan pemecahan filsafat pendidikan. Paham pragmatis memandang bahwa realita merupakan interaksi antara manusia dan lingkungannya. Manusia sebagai makhluk fisik hasil evolusi biologis, sosial dan psikologis. Filsafat eksistensialisme lebih menfokuskan pada pengalaman-pengalaman manusia. Dengan mengatakan bahwa yang nyata adalah yang dialaminya bukan diluar kita.  Jika manusia mampu menginterpretasikan semuanya terbangun atas pengalamannya.
Aliran progressivisme mengakui dan berusaha mengembangkan asas progressivisme dalam semua realita, terutama dalam kehidupan adalah tetap survive terhadap semua tantangan hidup manusia, harus praktis dalam melihat segala sesuatu dari segi keagungannya.

2.      Saran
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini, masih banyak terdapat kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami mengharapkan sumbangsi pikiran dari para pembaca demi penyempurnaan makalah ini.



                                                    DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, Asmoro (2003). Filsafat Umum. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Amri, Amsal (2009). Studi Filsafat Pendidikan. Banda Aceh: Yayasan Pena.
           
Purba Edward, Yusnadi (2013). Filsafat Pendidikan. Medan: Univesitas Negeri Medan.

Sadulloh, Uyoh (2003). Pengantar Filsafat pendidikan. Bandung: Alfabeta.

Soedojo, Peter (2004). Pengantar Sejarah Dan Filsafat Ilmu Pengetahuan Alam. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.









[1] Peter Soedojo, Pengantar Sejarah Dan Filsafat Ilmu Pengetahuan Alam (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2004), hal.59.
[2] Asmoro Achmadi, Filsafat Umum (Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 123.
[3] Amsal amri, Studi Filsafat Pendidikan, (Banda Aceh: Yayasan PeNA Banda Aceh, 2009), hal.61-62.
Read More

Sabtu, 04 Mei 2019

Makalah Pengertian dan Teori-Teori Kebenaran (Filsafat Ilmu)

Mei 04, 2019 0


BAB I
PEMBAHASAN
A.     PENGERTIAN KEBENARAN

Maksud dari hidup ini adalah untuk mencari kebenaran. Tentang kebenaran ini, Plato pernah berkata: “Apakah kebenaran itu? lalu pada waktu yang tak bersamaan, bahkan jauh belakangan Bradley menjawab; “Kebenaran itu adalah kenyataan”, tetapi bukanlah kenyataan (dos sollen) itu tidak selalu yang seharusnya (dos sein) terjadi. Kenyataan yang terjadi bisa saja berbentuk ketidakbenaran (keburukan). Jadi ada 2 pengertian kebenaran, yaitu kebenaran yang berarti nyata-nyata terjadi di satu pihak, dan kebenaran dalam arti lawan dari keburukan (ketidakbenaran)
.[1]
Dalam bahasan ini, makna “kebenaran” dibatasi pada kekhususan makna “kebenaran keilmuan (ilmiah)”. Kebenaran ini mutlak dan tidak sama atau pun langgeng, melainkan bersifat nisbi (relatif), sementara (tentatif) dan hanya merupakan pendekatan.[2]
 Kebenaran intelektual yang ada pada ilmu bukanlah suatu efek dari keterlibatan ilmu dengan bidang-bidang kehidupan. Kebenaran merupakan ciri asli dari ilmu itu sendiri. Dengan demikian maka pengabdian ilmu secara netral, tak bermuara, dapat melunturkan pengertian kebenaran sehingga ilmu terpaksa menjadi steril. Uraian keilmuan tentang masyarakat sudah semestinya harus diperkuat oleh kesadaran terhadap berakarnya kebenaran.
Selaras dengan Poedjawiyatna  yang mengatakan bahwa persesuaian antara pengatahuan dan obyeknya itulah yang disebut kebenaran. Artinya pengetahuan itu harus yang dengan aspek obyek yang diketahui. Jadi pengetahuan benar adalah pengetahuan obyektif.[3]
Meskipun demikian, apa yang dewasa ini kita pegang sebagai kebenaran mungkin suatu saat akan hanya pendekatan kasar saja dari suatu kebenaran yang lebih jati lagi dan demikian seterusnya. Hal ini tidak bisa dilepaskan dengan keberadaan manusia yang transenden,dengan kata lain, keresahan ilmu bertalian dengan hasrat yang terdapat dalam diri manusia. Dari sini terdapat petunjuk mengenai kebenaran yang trasenden, artinya tidak henti dari kebenaran itu terdapat diluar jangkauan manusia.[4]

B.     TEORI-TEORI KEBENARAN
Dalam perkembangan pemikiran filsafat perbincangan tentang kebenaran sudah dimulai sejak Plato yang kemudian diteruskan oleh Aristoteles. Melalui metode dialog Plato yang membangun teori pengetahuan yang cukup lengkap sebagai teori pengetahuan yang paling awal. Sejak itulah teori pengetahuan berkembang terus untuk mendapatkan berbagai penyempurnaan sampai kini.
Untuk mengetahui apakah pengetahuan kita mempunnyai nilai kebenaran atau tidak. Hal ini berhubungan erat dengan sikap, bagaimana cara memperoleh pengetahuan ? Apakah hanya kegiatan dan kemampuan akal pikir ataukah melalui kegiatan indra ? Yang jelas bagi seorang skeptis pengetahuan tidaklah mempunyai nilai kebenaran, karena semua diragukan atau keraguan itulah yang merupakan kebenaran.[5]
Dalam kajian filsafat ilmu, kebenaran dapat dibagi dalam tiga jenis menurut telaah dalam filsafat ilmu, yaitu sebagai berikut :
·         Kebenaran Epistemologikal : kebenaran dalam hubungannya dengan pengetahuan manusia, yang berkaitan antara subjek dan objek (kenyataan).
·         Kebenaran Ontologikal : kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat kepada segala sesuatu yang ada maupun diadakan.
·         Kebenaran semantikal : kebenaran yang terdapat serta melekat didalam tutur kata dan bahasa.

Ada beberapa teori tentang kebenaran yang berkembang dalam kajian filsafat ilmu. Beberapa diantaranya, antara lain sebagai berikut.
1.      Teori Kebenaran Saling Berhubungan (Coherence Theory of Truth)
Teori ini menganggap bahwa sesuatu dianggap benar apabila pernyataan itu koheren atau konsistent dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Proporsi cenderung benar jika proposisi tersebut dalam keadaan saling berhubungan dengan proposisi-proposisi lainnya yang benar, atau makna yang dikandungnya dalam keadaan saling berhubungan dengan pengalaman kita. Biasanya, kita mengatakan orang berbohong dalam banyak hal dan kita mengetahuinya dengan cara menunjukkan bahwa apa yang dikatakannya tidak cocok dengan hal-hal lain yang telah dikatakannya atau dikerjakanya.
Bila kita menganggap bahwa “Semua manusia akan mati” adalah suatu pernyataan yang benar, maka “Si Dadang adalah seorang manusia dan ia pasti akan mati” adalah pernyataan yang tentunya pasti benar (tak mungkin salah) sebab pernyataan kedua ini konsistent dengan pernyataan pertama. Contoh kebenaran koherensi ini banyak ada dalam matematika karena matematika adalah ilmu yang disusun atas dasar beberapa dasar pernyataan yang dianggap benar, yaitu aksioma. Plato dan Aristoteles adalah dua Filsuf Yunani yang mengembangkan teori koherensi berdasarkan pola pemikiran yang dipergunakan Euclid dalam menyusun ilmu ukurnya. Setelah itu teori ini juga banyak digunakan para filsuf idealis.
2.      Teori Kebenaran Saling Bersesuaian (Correspondence Theory of Truth)
Bagi penganut teori kebenaran ini, suatu pernyataan dianggap benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan objek yang dituju oleh pernyataan tersebut. Sebuah pernyataan itu benar jika apa yang diungkapkannya merupakan fakta. Jika penulis mengatakan, “Di luar hawanya dingin” maka, memang begitulah kenyataanya berdasarkan keadaannya yang nyata. Jika ada yang mengtakan, “Ibukota Jawa Timur adalah Surabaya” Maka, pernyataan itu dianggap benar sebab hal itu cocok dengan objek materialnya, bersifat faktual (berdasarkan fakta).
Salah satu tokoh teori ini adalah Bertrand russel (1872-1870) dan para penganut aliran realis yang berpandangan bahwa fakta material itu sifatnya mandiri dan tak terpengaruh oleh ide. Ada atau tidaknya ide, fakta tetap ada. Kalau ide mau benar, ia harus sesuai dengan kenyataan yang ada.




3.      Teori Kebenaran Inherensi/Pragmatis (Inherent Theory of Truth)
Teori ini berpandangan bahwa sesuatu dianggap benar apabila berguna. Artinya, kebenaran suatu  pernyataan bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Ajaran pragmatisme memang memiliki banyak corak (variasi). Tetapi, yang menyamakan di antara mereka adalah bahwa ukuran kebenaran diletakkan dalam salah satu konsenkuensi. William James, misalnya, mengatakan, “Tuhan ada.” Benar bagi seorang yang hidupnya mengalami perubahan karena percaya adanya Tuhan. Artinya, proposisi-proposisi yang membantu kita mengadakan penyesuaian-penyesuaian yang memuaskan terhadap pengalaman-pengalaman kita adalah benar.
Teori pragmatisme dicetuskan oleh Charles S. Pierce (1839-1914) dalam sebuah makalah yang terbit pada tahun 1878 yang berjudul “How to Make Our Ideas Clear”. Teori ini lalu dikembangkan oleh beberapa filafaat yang kebanyakan adalah orang Amerika, karena itulah filsafaat Amerika identik dengan aliran pragmatisme ini.[6]
4.      Teori Kebenaran Berdasarkan Arti (Semantic Theory of Truth)
Yaitu proposisi itu ditinjau dari segi arti atau maknanya. Apakah proposisi yang merupakan pangkal tumpunya mempunyai referen yang jelas. Oleh sebab itu, teori ini mempunyai tugas untuk menguakkan kesahan dari proposisi dalam referensinya.
Teori kebenaran semantick dianut oleh paham filsafat analitika bahasa yang dikembangkan paska filsafat Bertrand Russell sebagai tokoh pemula dari filsafat analitika Bahasa.

5.      Teori Kebenaran Sintaksis
Para penganut teori kebenaran sintaksis, berpangkal tolak pada keteraturan sintaksis atau gramatika yang dipakai oleh suatu pernyataan atau tata bahasa yang melekatnya. Dengan demikian, suatu pernyataan  memiliki nilai benar apabila pernyataan itu mengikuti aturan sintaksis yang baku. Atau dengan kata lain apabila proposisi itu tidak mengikuti syarat atau keluar dari hal yang disyaratkan maka proposisi itu tidak mempunyai arti. Teori ini berkembang diantara para filsuf analisis bahasa, terutama yang begitu ketat terhadap pemakaian gramatika.
6.      Teori Kebenaran Nondeskripsi
Teori kebenaran nondeskripsi dikembangkan oleh penganut filsafat fungsionalisme. Karena pada dasarnya suatu statement atau pernyataan akan mempunyai nilai benar yang amat tergantung peran dan fungsi daripada pernyataan itu. Misalnya pernyataan ‘matahari adalah sumber energi’ itu telah terbukti fungsinya dalam kehidupan bahwa cahaya matahari bisa digunakan sebagai sumber energi listrik. [7]
7.      Teori Kebenaran Logis yang Berlebihan (Logical Superfluity of truth)
Teori ini dikembangkan oleh kaum positivistik yang diawali oleh Ayer. Pada dasarnya menurut teori kebenaran ini, bahwa problema kebenaran hanya merupakan kekacauan bahasa saja dan berakibat suatu pemborosan, karena pada dasarnya apa yang hendak dibuktikan kebenarannya memiliki derajat logis yang sama yang masing-masing saling melingkupinya. Dengan demikian, sesungguhnya setiap proposisi yang bersifat logik dengan menunjukkan bahwa proposisi itu mempunyai isi yang sama, memberikan informasi yang sama dan semua orang sepakat, maka apabila kita membuktikannya lagi hal yang demikian itu hanya merupakan bentuk logis yang berlebihan. Hal yang demikian itu sesungguhnya karena suatu pernyataan yang hendak dibuktikan nilai kebenarannya sesungguhnya telah merupakan fakta atau data yang telah memiliki evidensi, artinya bahwa objek pengetahuan itu sendiri telah menunjukkan kejelasan dalam dirinya sendiri (Gallagher, 1984). Misalnya suatu lingkaran adalah bulat, ini telah memberikan kejelasan dalam pernyataan itu sendiri tidak perlu diterangkan lagi, karena pada dasarnya lingkaran adalah suatu yang terdiri dari rangkaian titik yang jaraknya sama dari satu titik tertentu, sehingga berupa garis yang bulat.













BAB II
PENUTUPAN

A.    KESIMPULAN
Semua teori kebenaran itu ada dan dipraktekkan manusia di dalam kehidupan nyata. Yang mana masing-masing mempunyai nilai di dalam kehidupan manusia. Teori Kebenaran mempunyai Kelebihan Kekurangan Korespondensi sesuai dengan fakta dan empiris kumpulan fakta-fakta Koherensi bersifat rasional dan Positivistik Mengabaikan hal-hal non fisik Pragmatis fungsional-praktis tidak ada kebenaran mutlak Performatif Bila pemegang otoritas benar, pengikutnya selamat Tidak kreatif, inovatif dan kurang inisiatif Konsensus Didukung teori yang kuat dan masyarakat ilmiah Perlu waktu lama untuk menemukan kebenaran.
Dari beberapa Teori Tentang Kebenaran dapat disimpulkan :
      Teori Korespondensi : "Kebenaran/keadaan benar itu berupa kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh sebuah pendapat dengan apa yang sungguh merupakan halnya/faktanya"
Jadi berdasarkan teori korespondensi ini, kebenaran/keadaan benar itu dapat dinilai dengan membandingkan antara preposisi dengan fakta atau kenyataan yang berhubungan dengan preposisi tersebut. Bila diantara keduanya terdapat kesesuaian (korespondence), maka preposisi tersebut dapat dikatakan memenuhi standar kebenaran/keadaan benar.



[1] Ibnu kencana Syafi’i, Filsafat kehidupan (Prakata), Jakarta: Bumi Aksara, 1995
[2] Jujun S. Sumiasumantri (ed), Ilmu dalam Prespektif, Jakarta: Gramedia, cet. 6, 1985 hal. 238-239
[3] I.R. Poedjawijatna, Tahu dan Pengetahuan, Pengantar ke IImu dan Filsafat, Jakarta: Bina Aksara. 1987 hal. 16
[4] mawardiumm. Kebenaran dalam perspektif islam, 2 Juni 2008(kebenaran-dalam-perspektif-filsafat-ilmu)
[5] Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, Jakarta: PT Bumi Aksara. 2008 hal: 57-58
[6] Soyomukti Nurani, Pemgantar Filsafat Umum, Depok: Ar Ruzz Media. 2011 hal: 174-176
[7] Surajiyo. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: PT Bumi Aksara. 2008, hal: 59
Read More

Selasa, 15 Januari 2019

Sejarah Perkembangan Pemikiran Filsafat Islam (Makalah)

Januari 15, 2019 0




Sejarah Perkembangan Pemikiran Filsafat Di dunia Timur (Islam)


Menurut Mustofa Abdur Razik pemakaian kata filsafat dikalangan umat Islam adalah kata hikmah atau hakim. Sehingga kata hakim ditempatkan pada kata filusuf atau hukum Al-Islam (hakim-hakim islam) Islam dalam perjalanannya telah menempuh waktu yang cukup lama yakni 15 tahun. Dalam perjalanan yang demikian panjang terdapat lima abad perjalanan yang menakjubkan dalam kegiatan pemikiran filsafat, yaitu antara abad ke-7 hingga abad ke-12. Dalam kurun waktu lima abad itu para ahli pikir Islam merenungkan kedudukan manusia di dalam hubungannya dengan sesama, dengan alam, dan dengan Tuhan dengan menggunakan akal pikirnya. Mereka berpikir secara sistematis dan analitis serta kritis sehingga lahirlah para filsuf Islam yang mempunyi kemampuan tinggi karena kebijaksanaanya.

Dalam kegiatan pemikiran filsafat tersebut, terdapat dua macam kekuatan dalam berfikir, antara lain sebagai berikut :[4]

1.      Para ahli pikir Islam berusaha menyusun sebuah sistem yang disesuaikan dengan ajaran Islam.

2.      Para ulama menggunakan metode rasional dalam menyelesaikan soal-soal ketauhidan.



Dari sekian banyak ulama Islam, ada yang berkeberatan terhadap pemikiran filsafat Islam (pemikiran filsafat yang berdasarkan ajaran Islam), tetapi ada juga yang menyetujuinya. Ulama yang berkeberatan terhadap pemikiran filsafat ini berpendapat bahwa “adanya pemikiran filsafat dianggapnya sebagai bid’ah dan menyesatkan. Al-Qur’an tidak untuk diperdebatkan, dipikirkan dan ditakwilkan menurut akal pikir manusia, tetapi Al-Qur’an untuk diamalkan sehingga dapat dijadikan tuntunan hidup di dunia dan di akhirat. Sedangkan ulama yang tidak berkeberatan terhadap pemikiran filsafat ini, berpendapat bahwa pemikiran filsafat sangat membantu dalam menjelaskan isi dan kandungan Al-Qur’an dengan penjelasan yang dapat diterima oleh akal pikir manusia. Di dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang menekankan pentingnya manusia untuk berpikir tentang dirinya sendiri, tentang alam semesta dan mengimani Tuhan Sang Pencipta.

Dalam sejarah perkembangan pemikiran filsafat di dunia islam ini terdapat beberapa ahli pikir yang memiliki kemampuan tinggi karena kebijaksanaannya, yang mana mereka menekankan pada metode berpikir yang sistematis, analitis serta kritis.



Para ahli pikir tersebut antara lain : [5]



1.         Al-Kindi

Nama Al-Kindi ini merupakan  cikal bakal terbentuknya Banu Kindah, yaitu suku keturunan kindah yang sejak dulu menempati daerah selatan Jazirah Arab yang tergolong memiliki apresiasi kebudayaan yang cukup tinggi dan cukup dikagumi orang.

Dalam sejarah hidupnya, Al-Kindi mengahasilkan beberapa karya. Kebanyakan dari karyanya ini berbentuk makalah, tetapi jumlahnya amat banyak sekitar 200 lebih. Salah satunya dalam bidang filsafat. Menurut George N. Atiyeh, karangan makalah Al-Kindi itu sebanyak 270. Karangannya ini pernah diterbitkan oleh Prof. Abu Ridah (1950) dengan judul Rasail Al-Kindi Al-Falasifah (makalah-makalah filsafat Al-Kindi).



2.         Al-Razi

Al-Razi berlatar belakang sebagai seorang yang senang mempelajari ilmu kimia, tak heran jika kedua matanya buta akibat dari eksperimen yang dilakukannya. Di kota kelahirannya yaitu kota Rayy, ia lebih sering dipanggil sebagai seorang dokter, sehingga ia dipercayakan memimpin rumah sakit kota oleh gubernur. Al-Razi termasuk orang yang aktif berkarya, karyanya ini kebanyakan berbentuk buku, seperti ilmu fisika, kimia, logika, matematika dan astronomi.



3.         Al-Farabi

Al-Farabi mempunyai nama lain Abu Nashr Ibnu Audagh Ibnu Thorhan Al-Farabi. Nama Al-Farabi diambil dari nama kota dimana ia dilahirkan pada tahun 257 H (870 M). Ia hijrah ke kota Baghdad yang pada waktu itu disebut sebagai kota ilmu pengatahuan. Beliau menimba ilmu kepada Suraj tentang tata bahasa Arab, dan mantiq (logika) pada Bisyr Matta Ibn Yunus.



Karya dari Al-Farabi antara lain :

1)      Al-Jami’u Baina Ra’yi Al-Hakimain Afalatoni Al-Hahiy Wa Aristho-thails (pertemuan/ penggabungan pendapat antara Plato dan Aristoteles)

2)      Tahsilu as Sa’adah (mencari kebahagiaan)

3)      As Suyasatu Al Madinah (politik pemerintahan)

4)      Fususu Al Taram (hakikat kebenaran)

5)      Arroo’u Ahli Al Madinati Al Fadilah (pemikiran-pemikiran utama pemerintahan)



4.         Ibnu Sina

Ibnu Sina memiliki nama lain Abu Ali Al Husain ibn Abdullah ibn Sina. Berasal dari kota Avicenna. Beliau belajar Al-Qur’an dengan menghafalnya dan belajar ilmu-ilmu agama serta ilmu-ilmu umum seperti astronomi, matematika, fisika, logika, kedokteran dan ilmu metafisika. Beliau menguasai ilmu kedokteran ketika umurnya belum mencapai 16 tahun. Sungguh kecerdasan dan prestasi yang sangat menakjubkan tentunya.

Hasil karya dari Ibnu Sina antara lain seperti As-Syifa, merupakan buku filsafat yang terpenting dan terbesar dan terdiri dari 4 bagian, yaitu logika, fisika, matematika dan metafisika. Kemudian buku An-Najat, merupakan buku ringkasan dari buku As-Syifa, dan lain sebagainya.



5.         Ibnu Maskawaih

Ibnu maskawaih termasuk filosuf islam yang memusatkan pemikirannya kepada etika islam. Nama lengkapnya adalah Abu Ali Al-Khasim ahmad bin ya’qub bin maskawaih.





Karya dari Ibnu maskawaih antara lain :

1)      Kitab Al-Fauz Al-Ashgar (tentang ketuhanan, jiwa dan kenabian (metafisika))

2)      Kitab Thabarat Al-Nafs, (tentang etika)

3)      Kitab Al-Jami’, (kitab tentang ketabiban)

4)      Kitab Al-Adwiyah, (tentang obat-obatan)

5)      Kitab Al-Mustaudi, (tentang kumpulan syair-syair pilihan, dll)



6.         Al-Ghazali

Al-Ghazali ini memiliki nama lengkap yang cukup unik yaitu Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Abu Hamid Al-Ghazali. Lahir dikota thus, suatu kota di Khurasan. Setelah ayahnya meninggal, Al-Ghazali kemudian diasuh oleh seorang ahli tasawuf. Pada masa kecilnya ia mempelajari ilmu fiqh pada Syekh bin Muhammad Ar Rasikani. Beliau hijrah ke Nishabur dan belajar kepada Al haromain. Dari sinilah mulai terlihat ketajaman otaknya yang luar biasa dan menguasai beberapa ilmu seperti mantiq (logika), falsafah dan fiqh madzhab Syafi’i. Karena kecerdasannya itulah imam Al Haromain mengatakan bahwa Al-Ghazali itu adalah “Lautan  Tak Bertepi . . . “

Karya-karya Al-Ghazali meliputi berbagai macam ilmu pengetahuan seperti ilmu kalam (theologi islam), fiqh (hukum islam), akhlak tasawuf dan masih banyak lagi. Diantara karyanya terdapat beberapa kitab yang terkenal seperti Ihya Ulumuddin (menghidupkan ilmu-ilmu agama) yang dikarangnya beberapa tahun dalam keadaan berpindah-pindah antara Syam, Yerusalem, Hijaj dan Yus, yang berisi paduan indah antara fiqh, tasawuf dan filsafat, bukan saja terkenal dikalangan muslim tapi juga dikalangan dunia barat dan luar islam.



[4] Ahmadi, Asmoro. 2007. Pengantar Ilmu dan  Sejarah Filsafat. Jakarta:PT. Rineka Cipta. Hal.85.



[5] Mustofa, Ahmad. 2004. Pintu Masuk ke Dunia Filsafat. Yogyakarta: Penerbit kanisius.hal.79-89.
Read More

Post Top Ad

Your Ad Spot