MAKALAH BIMBINGAN KONSELING MAKALAH LANDASAN FILOSOFIS BIMBINGAN KONSELING - Knowledge Is Free

Hot

Sponsor

Selasa, 08 Desember 2015

MAKALAH BIMBINGAN KONSELING MAKALAH LANDASAN FILOSOFIS BIMBINGAN KONSELING





A.    Makna, Fungsi, Prinsip-Prinsip Filosofis Bimbingan dan Konseling

“Landasan”
di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (pusat bahasa diknas.go.id) diartikan sebagai alas, dasar, atau tumpuan. Adapun istilah landasan sebagai dasar dikenal pula sebagai fundasi. Mengacu kepada pengertian tersebut, kita dapat memahami bahwa landasan adalah suatu alas atau dasar pijakan dari sesuatu hal; suatu titik tumpu atau titik tolak dari sesuatu hal; atau suatu fundasi tempat berdirinya sesuatu hal.

“Filosofis” , berasal dari bahasa Yunani yang terdiri atas suku kata philein/philos yang artinya cinta dan sophos/Sophia yang artinya kebijaksanaan, hikmah, ilmu, kebenaran, jadi filosofis berarti kecintaan terhadap kebijaksanaan Secara maknawi filsafat dimaknai sebagai suatu pengetahuan yang mencoba untuk memahami hakikat segala sesuatu untuk mencapai kebenaran atau kebijaksanaan.
Sikun Pribadi mengartikan filsafat sebagai suatu “usaha manusia untuk memperoleh pandangan atau konsepsi tentang segala yang ada, dan apa makna hidup manusia di alam semesta ini”. Dapat diartikan juga sebagai perenungan atau pemikiran tentang kebenaran, keadilan, kebaikan, religi, serta sosial-budaya.[1]
Berarti landasan filosofis bimbingan dan konseling adalah asumsi filosofis yang dijadikan titik tolak dalam rangka studi dan praktek bimbingan dan konseling, asumsi tersebut adalah jawaban menyangkut pertanyaan tentang apakah makna hidup itu? Dari mana asal manusia dan ke mana perginya?, Siapa manusia itu? Dan pertanyaan sulit lainnya.
Fungsi filsafat dalam kehidupan manusia, yaitu bahwa (1) setiap manusia harus mengambil keputusan atau tindakan, (2) keputusan yang diambil adalah keputusan diri sendiri, (3) dengan berfilsafat dapat mengurangi salah faham dan konflik, dan (4) untuk menghadapi banyak kesimpangsiuran dan dunia yang selalu berubah. Dengan berfilsafat seseorang akan memperoleh wawasan atau cakrawala pemikiran yang luas sehingga dapat mengambil keputusan yang tepat. Keputusan tersebut mempunyai konsekuensi tertentu yang harus dihadapi secara penuh tanggung jawab. Oleh karena itu, keputusan yang diambil akan terhindar dari kemungkinan konflik dengan pihak lain, bahkan sebaliknya dapat mendatangkan kenyamanan atau kesejahteraan hidup bersama, walaupun berada dalam iklim kehidupan yang serba kompleks.
Makna dan fungsi filsafat dalam kaitanya dengan layanan bimbingan dan konseling, Prayitno dan Erman Amti mengemukakan pendapat Belkin (1975) yaitu bahwa, “Pelayanan bimbingan dan konseling meliputi kegiatan atau tindakan yang semuanya diharapkan merupakan tidakan yang bijaksana. Untuk itu diperlukan pemikiran filsafat tentang berbagai hal yang tersangkut-paut dalam pelayanan bimbingan dan konseling. Pemikiran dan pemahaman filosofis menjadi alat yang bermanfaat bagi pelayanan bimbingan dan konseling pada umumnya, dan bagi konselor pada khususnya, yaitu membantu konselor dalam memahami situasi konseling dalam mengambil keputusan yang tepat. Disamping itu pemikiran dan pemahaman filosofis juga memungkinkan konselor menjadikan hidupnya sendiri lebih mantap, lebih fasilitatif, serta lebih efektif dalam penerapan upaya pemberian bantuannya.[1]
John J. Pietrofesa et.al. (1980: 30-31) mengemukakan bahwa terdapat beberapa prinsip yang berkaitan dengan landasan filosofis dalam bimbingan, yaitu sebagai berikut.
Objective Viewing. Dalam hal ini konselor membantu klien agar memperoleh suatu perspektif tentang masalah khusus yang dialaminya, dan membantunya untuk menilai atau mengkaji berbagai alternatifi atau strategi kegiatan yang memungkinkan klien mampu merespon interes, minat atau keinginannya secara konstruktif.
The Counselor must have the best interest of the client at heart. Dalam hal ini konselor harus merasa puas dalam membantu klien mengatasi masalahnya. Konselor menggunakan keterampilan untuk membantu klien dalam upaya mengembangkan keterampilan klien dalam mengatasi masalah (coping) dan keterampilan hidupnya (life skills).[1]
John J. Pietrofesa et.al. (1980) dalam (Yusuf, 2010) selanjutnya mengemukakan pendapat James Cribbin tentang prinsip-prinsip filosofis dalam bimbingan sebagai berikut.
  1. Bimbingan hendaknya didasarkan pada pengakuan akan keilmuan dan harga diri individu (klien) dan atas hak-haknya untuk mendapat bantuan.
  2. Bimbingan merupakan proses pendidikan yang berkesinambungan. Artinya bimbingan merupakan bagian integral dalam pendidikan.
  3. Bimbingan harus respek terhadap hak-hak setiap klien yang meminta bantuan atau pelayanan.
  4. Bimbingan bukan prerogratif kelompok khusus profesi kesehatan mental. Bimbingan dilaaksanakan melalui kerjasama, yang masing-masing bekerja berdasarkan keahlian atau kompetensinya sendiri.
  5. Fokus bimbingan adalah membantu individu dalam merealisasikan potensi dirinya.
  6. Bimbingan merupakan elemen pendidikan yang bersifat individualisasi, personalisasi dan sosialisasi.

B.     Hakikat Manusia
Beberapa pendapat para ahli atau mazhab konseling tentang hakikat manusia diantaranya dapat dipaparkan sebagai berikut:
  1. Viktor E.Frankl mengemukakan bahwa hakikat manusia itu sebagai berikut.
1)   Manusia, selain memiliki dimensi fisik dan psikologis, juga memiliki dimensi spiritual. Ketiga dimensi itu harus dikaji secara mendalam apabila manusia itu hendak dipahami dengan sebaik-baiknya. Melalui dimensi spiritualnya itulah manusia mampu mencapai hal-hal yang berada di luar dirinya dan mewujudkan ide-idenya.
2)   Manusia adalah unik, dalam arti bahwa manusia mengarahkan kehidupannya sendiri.
3)   Manusia adalah bebas merdeka dalam berbagai keterbatasannya untuk membuat pilihan-pilihan yang menyangkut perikehidupannya sendiri. Kebebasan ini memungkinkan manusia berubah dan menentukan siapa sebenarnya diri manusia itu sendiri.

  1. Sigmund Freud mengemukakan sebagai berikut.
1)   Manusia pada dasarnya bersifat pesimistis, deserministik, mekanistik, dan reduksionistik.
2)   Manusia dideterminasi oleh kekuatan-kekuatan irasional, motivasi-motivasi tak sadar, dorongan-dorongan biologis, dan pengalaman masa kecil.
3)   Dinammika kepribadian berlangsung melalui pembagian enerji psikis kepada Id, Ego dan Superego yang bersifat saling mendominasi.
4)   Manusia memiliki naluri-naluri seksual (libido seksual) dan agresif, naluri kehidupan (eros) dan kematian (tanatos).
5)   Manusia bertingkah laku dideterminasi oleh hasrat memperoleh kesenangan dan menghindari rasa sakit (pleasure principle).

  1. Passons (Robert L.Gibson dan Marianne H. Mitchel, 1986: 121) mengemukakan delapan asumsi tentang hakikat manusia menurut kerangka kerja teori konseling Gestalt yang dikembangkan oleh Frederick Perls (1884-1970) sebagai berikut.
1)   Individu memiliki kepribadian yang utuh, menyeluruh, bukan terdiri dari bagian-bagian badan, emosi, pikiran, sensasi, dan persepsi. Individu dapat dipahami apabila dilihat dari keterpaduan semua bagian-bagian tersebut.
2)   Individu merupakan bagian dari lingkungannya. Oleh karena itu individu baru dapat dipahami apabila memperhatikan konteks lingkungannya.
3)   Individu memilih bagaimana dia merespon rangsangan internal maupun eksternal. Individu adalah aktor bukan reaktor.
4)   Individu kemampuan potensial untuk menyadari secara penuh semua sensasi, pikiran, emosi, dan persepsinya.
5)   Individu memiliki kemampuan untuk melakukan pilihan, sebab dia menyadarinya.
6)   Individu memiliki kapasitas untuk membangun kehidupannya secara efektif.
7)   Individu tidak dapat mengalami masa lalu dan masa yang akan datang, tetapi dia hanya dapat mengalami masa sekarang.
8)   Individu pada dasarnya tidak dapat dikatakan baik atau buruk.

  1. Beck (Blocher, 1974) mengemukakan beberapa asumsi eksistensialis tentang hakikat manusia, yaitu sebagai berikut.
1)   Manusia bertanggung jawab terhadap perbuatannya sendiri. Dia punya pilihan dan harus melakukan pilihan untuk dirinya sendiri.
2)   Manusia harus memandang atau memperhatikan orang lain sebagai bagian dari dirinya, dan perhatiannya ini direfleksikan dalam pergaulan dengan warga masyarakat yang lebih luas.
3)   Manusia eksis di duni nyata, dan hubungan dengan dunianya di satu sisi merupakan ancaman yang dalam banyak hal tidak dapat merubahnya.
4)   Hidup yang bermakna harus menghilang ancaman yang dihadapi, baik fisik maupun psikis. Tujuannya adalah untuk membebaskan manusia dari ancaman, sehingga dapat mencapai perkembangan yang optimum.
5)   Setiap manusia memiliki pembawaan dan pengalaman yang unik, sehingga memungkinkan berperilaku yang berbeda satu sama lainnya.
6)   Manusia berperilaku sesuai dengan pandangan subjektifnya tentang realitas.
7)   Secara alami manusia tidak dapat dikatakan “baik” atau “buruk” (jahat).
8)   Manusia mereaksi situasi secara menyeluruh tidak bersifat serpihan (seperti hanya intelektual atau emosional).
  1. B.F Skinner dan Watson (Gerald Corey, terjemahan E. Koeswara, 1988) mengemukakan tenntang hakikat manusia sebagai berikut.
1)   Manusia dipandang memiliki kecenderungan-kecenderungan positif dan negatif yang sama.
2)   Manusia pada dasarnya dibentuk dan ditentukan oleh lingkungan social budayanya. Dalam arti bahwa lingkungan merupakan pembentuk utama keberadaan manusia.
3)   Segenap tingkah laku manusia itu dipelajari.
4)   Manusia tidak memiliki kemampuan untuk membentuk nasibnya sendiri.

  1. Albert Ellis penggagas terapi rasional-emotif berpendapat bahwa hakikat manusia adalah:
1)   Manusia dilahirkan dengan potensi, baik untuk berpikir rasional dan jujur maupun untuk berpikir irasional dan jahat.
2)   Manusia memiliki kecenderungan untuk memelihara diri, berbahagia, berpikir, mencintai, bergabung dengan orag lain, serta tumbuh dan mengaktualisasikan diri.
3)   Manusia juga memiliki kecenderungan ke arah menghancurkan diri, menghindari pemikiran, berlambat-lambat, menyesali kesalahan secara tak berkesudahan, takhayul, intoleransi, perfeksionisme, mencela diri, serta menghindari pertumbuhan dan aktualisasi diri.
4)   Manusia dilahirkan dengan kecwenderungan untuk mendesakkan pemenuhan keinginan, tuntutan, hasrat dan kebutuhan dalam dirinya, jika tidak segera mencapai apa yang diinginkannya manusia mempersalahkan dirinya sendiri ataupu orang lain.
5)   Manusia berpikir, beremosi dan bertindak secara simultan. Jarang manusia beremosi tanpa berpikir, sebab perasaan-perasaan biasanya dicetuskan oleh persepsi atas sesuatu situasi yang spesifik.

  1. Aliran Humanistik memiliki pandangan yang optimistik terhadap hakikat manusia. Para ahli teori humanistik mempunyai keyakinan sebagai berikut.
1)   Manusia memiliki dorongan bawaan untuk mengembangkan diri.
2)   Manusia memiliki kebebasan untuk merancang atau mengembangkan tingkah lakunya, yang dalam hal ini manusia bukan poin yang diatur sepenuhnya oleh lingkungan.
3)   Manusia adalah makhluk rasional dan sadar, tidak dikuasai oleh ketidaksadaran, kebutuhan irrasional atau konflik.

  1. Aliran Realitas berpendapat bahwa manusia membutuhkan identitas dan mampu mengembangkan “identitas keberhasilan” maupun “identitas kegagalan”. Pendekatan realitas berlandaskan motivasi pertumbuhan dan antideterministik.
Menurut Pancasila dalam sila ke-dua yang berbunyi “Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Kemanusiaan adalah prinsip yang berisi keharusan untuk bersesuaian dengan hakikat manusia. Hakikat manusia menurut pancasila adalah manusia seutuhnya, yaitu monopluralisme, manusia adalah dari keseluruhan unsur-unsur hakiki yang berpasangan, monodualis raga jiwa, monodualis individu sosial, makhluk Tuhan-pribadi mandiri. Yang kesemua unsur tersebut berstu secara organis, harmonis dan dinamis.
Dengan memahami hakikat manusia tersebut maka setiap upaya bimbingan dan konseling diharapkan tidak menyimpang dari hakikat tentang manusia itu sendiri. Seorang konselor dalam berinteraksi dengan kliennya harus mampu melihat dan memperlakukan kliennya sebagai sosok utuh manusia dengan berbagai dimensinya.[1]
C.    Tugas dan Tujuan Kehidupan Manusia Serta implikasi terhadap Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling
Secara naluriah manusia memiliki kebutuhan untuk hidup bahagia,sejahtera, nyaman dan menyenangkan. Prayitno dan Erman (dalam yusuf, 2010) mengemukakan model witney sweeney tentang kebahagiaan dan kesejahteraan hidup serta upaya mengembangkan dan mempertahankannya sepanjang hayat. Menurut mereka ciri-ciri hidup sehat ditandai dengan 5 kategori tugas kehidupan, yaitu:
a.       Spiritualitas; Agama sebagai sumber inti bagi hidup  sehat. Dimensi  dari aspek spiritual adalah; kemampuan manusia memberikan arti  kepada  kehidupannya, optimisme terhadap  kejadian-kejadian yang akan datang dan diterapkannya nilai-nilai dalam hubungan antar orang serta  dalam pembuatan keputusan.

b.      Pengaturan diri; Seseorang yang  mengamalkan hidup  sehat pada dirinya terdapat sejumlah ciri, termasuk rasa diri berguna,  pengendalian diri,  pandangan   realistik,  spontanitas  dan  kepekaan  emosional, kemampuan rekayasa intelektual, pemecahan masalah, dan kreativitas, kemampuan berhumor, kebugaran jasmani   dan   kebiasaan   hidup  sehat,  maka  orang  mampu   mengkoordinasikan hidupnya  dengan  pola  tingkah  laku yang bertujuan,  melalui  pengarahan, pengendalian dan pengelolan diri sendiri.

c.       Bekerja; Dengan  bekerja  orang  akan  memperoleh  keuntungan  ekonomis,  psikologis  ( percaya diri, merasa  berguna ),  dan   sosial  (  tempat   bertemu   orang    lain,  persahabatan,   dan  status ) kesemuanya akan menunjang kehidupan yang sehat bagi diri sendiri dan orang lain.


d.      Persahabatan ; Persahabatan memberikan 3 kautamaan kepada hidup yang sehat, yaitu :
-       Dukungan emosional, kedekatan , perlindungan, rasa aman, kegembiraan.
-       Dukungan keberadaan, penyediaan kebutuhan fisik, bantuan keuangan.
-       Dukungan informasi, pemberian data yang diperlukan, petunjuk peringatan, nasehat.

e.    Cinta; Dengan  cinta  hubungan  seseorang  dengan  orang lain cenderung menjadi sangat intim, saling  mempercayai,  saling  terbuka,  saling  bekerjasama, dan  saling  memberikan  komitmen  yang  kuat.
Paparan tentang hakikat, tujuan, dan tugas kehidupan manusia di atas sebagai hasil olah pikir para ahli, mempunyai implikasi kepada layanan bimbingan dan konseling, dalam hal ini terutama terkait dengan perumusan tujuan bimbingan dan konseling, dan cara pandang konselor terhadap konseli yang sebaiknya didasarkan pada harkat dan martabat manusia.

Sedangkan menurut Sukmadinata, 2007 Aliran filsafat juga memiliki pandangan tentang hakikat manusia, tujuan hidup manusia dan implikasinya terhadap bimbingan konseling yaitu sebagai berikut:

a.      Idealisme
Idealisme merupakan faham filsafat yang mengakui adanya dunia ide di samping dunia riil dimana sekarang kita berada. Dunia ide ini merupakan dunia rohani, spiritual yang bersifat abadi, sedang dunia riil merupakan dunia materi yang dapat diamati dengan indra, dunia ini bersifat fana. Kehidupan di dunia riil bersifat sementara, serta terbatas. Sedang dunia ide bersifat kekal, tidak lagi terbatas oleh ruang dan waktu.
Para idealis mengakui adanya nilai-nilai abadi yang bersifat mutlak, baik nilai nilai moral (etika) maupun nilai nilai kultural (estetika). Tujuan kehidupan manusia adalah mencari kebenaran dan kebahagiaan spiritual yang abadi yakni dunia ide.
Bimbingan konseling diarahkan pada pengembangan anak dan remaja agar menguasai nilai-nilai, hidup sejalan dengan nilai-nilai moral dan estetika. Bimbingan dan Konseling berfungsi membantu anak-anak dan remaja dalam memahami kebahagiaan abadi, membantu menyiapkan diri dalam mencapai kehidupan abadi.

b.   Realisme
Realisme merupakan faham filsafat yang lebih menekankan dunia nyata, kenyataan tunduk pada hukum alam yang bersifat universal. Manusia berusaha menemukan hukum universal melalui penelitian empiris dan fakta yang telah dibuktikan dalam penelitian menjadi acuan dalam kehidupan manusia.
Nilai merupakan standar yang telah dirumuskan secara ilmiah, etika merupakan tuntutan moral yang didasarkan pada pemikiran ilmiah. Keindahan atau estetika ada pada alam dan hubungan yang bersifat ilmiah.
Manusia harus mengerti hukum universal tersebut, tujuan kehidupan manusia adalah mengembangkn dan menyempurnakan pemahamannya tentang alam melalui kajian dan penelitian ilmiah.
Bimbingan dan konseling diarahkan pada pengembangan pengetahuan dan kemampuan siswa pada alam, tuntutan, prinsip dan hukum alam.

c.    Pragmatisme
Pragmatisme memandang kenyataan atau kehidupan selalu berubah. Dalam kehidupan manusia selalu berinteraksi dengan lingkungan. Interaksi ini yang membut manusia berubah atau lingkungannya yang berubah.
Pragmatisme tidak mengakui kebenaran yang universal atau kebenaran mutlak. Kebenaran hanyalah generalisasi atau prinsip tentatif yang menjadi pegangan dalam berinteraksi dengan lingkungan yang akan diuji dalam penelitian selanjutnya. Konsep pragmatisme tentang nilai sangat situasional.

d.   Eksistensialisme
Konsep eksistensialisme lebih menekankan pada aspek pribadi dan sosial. Pendidikan dan bimbingan diarahkan pada menimbulkan perubahan-perubahn pribadi dan sosial. Bimbingan dan konseling diarahkan pada pengembangan kepribadian anak agar memiliki secara pribadi maupun sosial. Pemberian layanan bimbingan ditujukan agar siswa memiliki pemahaman terhadap segala potensi dan kekuatan dirinya, segala tuntutan dan masalah yang dihadapinya. Tugas para pembimbing adalah pengembangan semua potensi dan kekuatan anak, agar mereka menjadi manusia yang sehat dan produktif.
Bagi bangsa indonesia yang menjadi landasan filosofis bimbingan dan konseling adalah pancasila, yang nilai-nilainya sesuai dengan fitrah manusia sebagai makhluk Tuhan yang bermartabat. Maka pembuatan program bimbingan dan konseling harus merujuk kepada nilai-nilai yang terkandung dalam kelima sila pancasila tersebut. Pancasila sebagai landasan bimbingan dan konseling mempunyai implikasi sebagai berikut:
1.      Tujuan bimbingan dan konseling harus selaras dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sila pancasila. Dengan demikian tujuan bimbingan dan konseling adalah memfasilitasi peserta didik agar mampu ; (1) mengembangkan potensi, fitrah dan jati dirinya sebagai makhluk Tuhan Yang maha Esa dengan cara mengimani, memahami dan mengamalkan ajaranNya. (2) mengembangkan sikap-sikap yang positif seperti respek terhadap harkat dan martabat sendiri dan orang lain, dan bersikap empati. (3) mengembangkan sikap-sikap kooperatif, kolaboratif, toleransi dan altruis (ta’awun bil ma’ruf) (4) mengembagkan sikap demokratis, menghargai pendapat orang lain, dan bersikap mengayomi masyarakat. (5). Mengembangkan kesadaran untuk membangun bangsa dan negara yang sejahtera dan berkeadilan dalam berbagai aspek kehidupan (ekonomi, hukum, pendidikan, dan pekerjaan).
2.      Konselor seyogyanya menampilkan kualitas pribadi yang sesuai dengan nilai-nilai pancasila, yaitu beriman dan bertaqwa, bersikap respek terhadap orang lain, mau bekerja sama dengan orang lain. Bersikap demokratis, dan bersikap adil terhadap para siswa.
Perlu melakukan penataan lingkungan (fisik dan sosial budaya) yang mendukung twrwujudnya nilai-nilai pancasila dalam kehidupan perorangan maupun masyarakat pada umumnya. Upaya itu diantaranya:
1.      menata kehidupan lingkungan yang hijau berbunga, bersih dari polusi
2.      mencegah dan memberantas kriminalitas
3.      menghentikan tayangan televisi yang merusak nilai pancasila, seperti tayangan yang merusak akidah, moral masyarakat
4.      mengontrol secara ketat penjualan alat kontrasepsi
5.      memberantas korupsi dan melakukan clean government.[1]

















BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari pembahasan yang diuraikan dapat ditarik kesimpulan bahwa landasan filosofis memberikan pemikiran-pemikiran tentang hakikat dan tujuan hidup manusia untuk menemukan hakikat manusia secara utuh mengingat bimbingan konseling akan selalu berkaitan dengan manusia sebagai objeknya.
Pemikiran tentang hakikat manusia, Tujuan dan Tugas kehidupan manusia diharapkan akan berimplikasi positif terhadap pelaksanaan bimbingan dan konseling, yakni konselor akan memiliki pedoman yang akurat dalam melaksanakan layanan bimbingan, konseling dilaksanakan dan diarahkan sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan manusia.


















DAFTAR PUSTAKA


Sukmadinata, Nana, Syaodih. (2007). Bimbingan dan Konseling dalam Praktek. Bandung: Maestro.
Yusuf, Syamsu dan Nurihsan, Juntika. (2010). Landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Wreksosuhardjo, sunarjo.2005. Ilmu Pancasila Yuridis Kenegaraan dan Ilmu Filsafat Pancasila. Yogjakarta: Andi


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad

Your Ad Spot