MAKALAH PENGERTIAN HUKUM PIDANA (PEMIDANAAN) - Knowledge Is Free

Hot

Sponsor

Sabtu, 12 Desember 2015

MAKALAH PENGERTIAN HUKUM PIDANA (PEMIDANAAN)






A.    Pengertian Pidana (Sanksi Pidana)

Pidana adalah istilah yuridis sebagai terjemahan dari bahasa Belanda straf, dan dalam bahasa Inggris disebut sentence,  serta dalam bahasa latin sanctio. Digunakannya istilah pidana di sini dan  bukan hukuman  adalah bertujuan untuk memfokuskan makna yang terkandung dari istilah pidana tersebut. Selain itu, hukuman merupakan istilah konvesional  yang mempunyai arti yang luas. Karena dapat berkaitan dengan bidang-bidang lainnya.[1]

Menurut  Pradjodikoro pidana berarti hal yang dipidanakan olen istansi yang berkuasa dan dilimpahkan kepada seseorang sebagai hal yang tidak enak dirasakan. Sedangkan Soesilo mendefinisikan pidana sebagai suatu perasaan tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh hukum dwngan vonis kepada orang yang telah  melanggar undang-undang hukum pidana.[2]
Selain itu menurut Soedarto bahwa pidana adalah nestapa yang diberikan oleh negara kepada seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap  ketentuan Undang-undang (hukum pidana), sengaja agar dirasakan sebagai nestapa.[3]
Dari berbagai pengertian pidana tersebut dapat disimpulkan bahwa pidana mengandung unsur-unsur sebagai berikut :[4]
a.       Penggunaan atau pemberian penderitaan atau norma yang tidak enak dirasakan atau yang tidak menyenangkan.
b.      Diberikan dengan sengaja oleh penguasa atau instansi yang berkuasa.
c.       Dibebankan atau dilimpahkan kepada seseorang yang dipersalahkan melakukan tindak pidana menurut ketentuan undang-undang.
Sebagaimana penjelasan dari definisi pidana tersebut, bahwasanya tujuan pemidanaan ini berkaitan dengan aliran-aliran dalam hukum pidana yang mana aliran-aliran ini berusaha untuk memperoleh suatu sistem hukum pidana positif  yang prektis yang bermanfaat sesuai dengan perkembangan persepsi manusia tentang hak-hak asasi manusia. Aliran tersebut antara lain.
a.       Aliran Klasik
Aliran ini menghendaki hukum pidana tersusun secara sistematis serta menitikberatkan kepada kepastian hukum.  Dengan pandangan yang identerminis mengenai kebebasan kehendak manusia, aliran ini juga menitikberatkan kepada perbuatan, tidak kepada orang yang melakukan tindak pidana.[5]
Aliran ini juga bersifat retributif dan represif terhadap tindak pidana karena tema aliran klasik ini, sebagaimana dinyatakan oleh Beccarian adalah doktrin pidana harus sesuai dengan kejahatan.Sebagai konsekuensinya, hukum harus dirumuskan dengan jelas dan tidak memberikan kemungkinan bagi hakim untuk melakukan penafsiran.[6]
Pada masa permulaan timbulnya aliran klasik pembentukan undang-undang sangat ketat sekali dalam menentukan sanksi pidananya. Hakim sama skali tidak mempunyai kebebasan untuk menetapkan sendiri jenis pidana dan ukuran pidananya. Artinya hakim diikat oleh sistem pidana yang ketat dan tidak boleh berubah, hal ini sebagaimana pendapat Cesare Beccaria. Jika seseorang melakukan salah satu perbuatan yang oleh undang-undang pidana diancam dengan pidana, maka pidana harus dijatuhkan tanpa menghiraukan tabiat dan sifat si pelaku.
Salah satu tokoh aliran klasik Jeremy Bentham menyatakan bahwa pidana berat harus dapat difahami dan harus diterima oleh rakyat sebelum diterapkan. Hukum pidana jangan dijadikan sebagai sarana pembalasan terhadap kejahatan, tetapi tetap harus dipergunakan untuk tujuan mencegah kejahatan. [7]
Indonesia masih menggunakan aliran ini dalam Hukum Pidana Adat seperti yang terdapat di derah Papua pedalaman yang masih kental dengan hukum adatnya. Sanksi adat yang dijatuhkan terhadap pelaku pembunuhan bagi masyarakat adat adalah pihak dari korban yang meninggal dunia harus membalas membunuh pihak dari pelaku pembunuhan sesuai dengan jumlah korban yang telah meninggal dunia, jadi antara parah pihak korbannya harus sama / seimbang atau dengan istilah “ Nyawa ganti dengan nyawa” sehingga dengan adanya jumlah korban yang telah disebut di atas maka persoalan atau peperanagn akan berakhir (usai).

b.      Aliran Modern/Aliran Positif
Aliran ini menitikberatkan perhatiannya kepada orang yang melakukan tindak pidana. Para pengnut paham ini berpendapat bahwa  kejahatan adalah sebagai fenomena alam. Menurut aliran ini pemberian pidana atau tindakan dimaksudkan untuk melindungi masyarakat terhadap bahaya yang ditimbulkan oleh pelaku tindak pidana.
Manusia dipandang tidak mempunyai kebebasan berkehendak, tetapi dipengaruhi oleh watak lingkungannya, sehingga dia tidak dapat dipersalahkan atau dipertanggungjawabkan dan dipidana. Aliran ini menolak pandangan pembalasan berdasarkan kesalahan yang subyektif.
Disamping itu aliran ini juga lebih memperhatikan kepada pelaku dan sebab-sebab yang mendorong pelaku melakukan kejahatan dan jenis pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku kejahatan, sehingga pidana tersebut bermanfaat bagi pelaku dan supaya tindakan pidana tersebut tidak terulang agi.
Aliran ini menyatakan bahwa sistem hukum pidana, tindak pidana sebagai perbuatan yang diancam pidana oleh undang-undang, penilaian hakim yang didasarkan pada konteks hukum yang murni atau sanksi pidana itu sendiri harus tetap dipertahankan. Hanya saja dalam menggunakan hukum pidana, aliran ini menolak penggunaan fiksi-fiksi yuridis dan teknik-teknik yuridis yang terlepas dari kenyataan sosial.[8]
Salah satu tokoh aliran modern Cesare Lombroso mengemukakan bahwasanya pidana yang kejam pada masa lampau tidak memerikan pemecahan terhadap pencegahan kejahatan. Sebab setiap penjahat mempunyai kebutuhan yang berbeda, sehingga pidana tersebut merupakan suatu kebudakan bagi setiap orang yang telah melakukan tindak pidana.[9]
Penganut Lomoroso, yaitu Enrico frri, dalam bukunya Chriminal Sosiologymemberikan suatu rumusan tentang kejahatan, bahwa setiap kejahatan adalah resultante dari keadaan individu, fsik dan sosial.[10]


c.       Aliran Neo klasik/ Aliran Sosiologis
Aliran ini sebagai kompromis antara aliran klasik dan aliran modern. Dari aliran klasik diterima sistem pidana dan hukum pidana didasarkan atas kesalahan (schudstrafrecht). Dari aliran modern diterima suatu sistem tindakan-tindakan (maatregelen) yang melindungi masyarakat terhadap beberapa golongan penjahat tertentu.[11]
Sistem pidana dan hukum pidana yang dikemukakan oleh ahli hukum pidana yang tergolong dalam aliran ke 3 ini  pada garis besarnya didasarkan atas rumusan Ferri. Aliran ini memperhatikan tabiat dan sifat pribadi pelaku, lingkungan maupun tempat pelaku hidup dan melakukan perbuatannya sebagai faktor-faktor terjadinya kejahatan. Indonesia menganut aliran ini  yang mana sesuai dengan putusan hakim pengadilan.
B.     Teori Dan Tujuan Pidana
Diantara tujuan pidana yang dipandang kuno adalah pembalasan (revenge), yaitu pidana yang bertujuan untuk memuaskan pihak yang dendam baik masyarakat maupun pihak yang menjadi korban tindak pidana, dan retribusi  yang bertujuan untuk melepaskan pelanggar hukum dari perbuatan tindak pidana atau menciptakan  balance yaitu memperbaiki keseimbangan moral yang dirusak oleh kejahatan.
Adapun tujuan pidana atau pemidanaa yang berlaku sekarang adalah :[12]
a.       Penjeraan  yang ditujukan  kepada pelanggar hukum sendiri maupun kepada mereka yang mempunyai potensi menjadi penjahat.
b.      Perlindungan masyarakat dari perbuatan tindak pidana.
c.       Perbaikan terhadap pelaku tindak pidana.
Sedangkan tujuan pidana atau pemidanaan yang palin modern dewasa ini adalah memperbaiki kondisi pemanjaraan dan mencari alterntif lain yang bukan bersifat pidana dalam membina pelanggar hukum.
KUHP Baru (baca ; RUU) merumuskan secara tegas tujuan pidana sebagaimana tercantum dalam pasal 47 yang berbunyi :[13]
1.      Pemidanaa bertujuan :
a.       Mencegah dilakukannya pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat.
b.      Memasasyarakatan terpidana dengan mengadakan pembinaan dengan menjadi orang baik dan berguna.
c.       Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.
d.      Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
2.      Pemidanaan tidak dmaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia dengan alasan bahwa:
a.       Tujuan pemidanaan adalah sebagai sarana perlindungan masyarakat, pemenuan pandangan hukum adat serta aspek untuk menghilagkan rasa bersalah bagi yang bersangkutan.
b.      Pada dasarnya pidana merupakan suatu nestapa. Namun pemidanaan tidak dimaksudkan  untuk menderitakan dan tidak merendahkan martabat manusia.
Tujuan pemidanaan tersebut pada hakekatnya sebagai penjabaran perpaduan teori  gabungan (perpaduan teori pembebasan dan teori tujuan). Sedangkan teori pembinaan  yaitu meliputi provesi, konfeksi, perdamaian dalam masyarakat, memperbaiki dan membebaskan rasa bersalah pada diri tepidana.
Dalam sejarah hukum pidana, tujuan pemidanaan dapat dilacak dengan  empat teori yan berkaitan dengan tujuan pidana dan keempat teori itu membenarkan adanya penjatuhan pidana, teori-teori tersebut adalah sebagai berikut :[14]
1.      Teori Absolut (Teori Pembalasan)
Teori ini membenarkan pemidanaan terhadap seseorang yang telah melakukan suatu tindakan pidana terhadap pelaku tindak pidana. Hal ini  mutlak harus diadakan pembalasan yang berupa pidana (nestapa, penderitaan).  Teori pembalasan ini tidak mempunya tujuan praktis.
Tindakan pembalasan di dalam penjatuhan pidana mempunyai 2 arah, yaitu :[15]
a.       Ditujukan pada penjahat (sudut subyektif dari pembalasannya).
b.      Ditujukan untuk memenuhi kepuasan dari perasaan dendam dikaangan masyarakat (sudut obyektif dari pembalasan).
Penganjur teori ini adalah Immanuel Kant yang mengatakan, walaupun besok dunia kiamat, namun penjahat terakhir harus menjalankan pidananya. Kant mendasarkan teorinya pada etika. Penganjur lain adalah Hegel yang mengatakan bahwa hukum adalah perwujudan kemerdekaan, sedangkan kejahatan adalah tantangan kepada hukum dan keadilan.
Jadi menurutnya penjahat itu harus dilenyapkan. Menurut Thomas Aquinas pembalasan sesuai dengan ajaran tuhan  karena itu harus dilakukan pembalasan terhadap penjahat.[16]
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa teori pembalasan penjatuhan pidana bertitik pangkal pada pembalasan yang diberikan oleh negara kepada penjahat. Siapa saja yang berbuat jahat harus dibalas dengan memberikan pidana dan tidak melihat akibat-akibat apa saja yang timbul dari dijatuhkannya pidana. Teori pembalasan ini secara  praktik tidak mepunyai relevasi, namun secara teoritik  akademik masih ada relevasinya.
2.      Teori Tujuan (Teori Relative)
Teori ini membenarkan pemidanaan berdasarkan kepada tujuan pemidanaan yaitu untuk melindungi masyarakat atau pencegahan terjadinya kejahatan. Untuk mencapai tujuan tersebut harus ada ancaman pidana dan pemidanaan (penjatuhan) pidana kepada si pelaku kejahatan atau tindak pidana. Adapun kedua hal tersebut dimaksudkan :
a.       Menakut-nakuti calon penjahat atau penjahat sendiri serta mencegah dilakukannya tindak pidana.
b.      Memperbaiki atau reclasering terpidana.
c.       Membinasakan atau menyingkirkan terpidana.
Sedangkan sifat pencegahan dari teori ini adalah:[17]
a.       Pencegahan umum
Diantara teori-teori penceahan umum ini, teori pidana yang bersifat menakut-nakuti adalah teori yang paling lama dianut orang. Menurut teori pencegahan umum ini ialah pidana yang dijatuhkan pada penjahat ditujukan agar orang-orang menjadi takut untuk berbuat kejahatan dan penjahat yang dijatuhi pidana dijadikan sebaai contoh agar masyarakat tidak meniru.
b.      Pencegahan khusus
Menurut teori ini, tujuan pidana adalah mencegah pelaku kejahatan yang telah dipidana agar ia tidak mengulangi lagi melakukan kejahatan, dan mencegah agar orang yang telah berniat buruk untuk mewujudkan niatnya itu kedalam kedalam bentuk perbuatan nyata.
Penganjur teori ini adalah Paul Anselm van Feurbach yang mengemukakan hanya dengan mengadakan ancaman pidana saja  tidak akan memadai, melainkan diperlukan penjatuhan pidana kepada si penjahat.[18]
Pembalasanitusendiritidakmempunyainilaitetapisebagaisaranauntukmelindungikepentinganmasyarakat ,makateoriinidisebutteoriperlindunganmasyarakat.
Penjatuhan pidana yang dimaksudkan agar tidak ada perbuatan jahat sebenarnya tidak begitu bisa dipertanggung jawabkan , karena terbukti semangkin hari kualitas dan kuantitas kejahatan semangkin bertambah, jadi penjatuhan pidana tidak menjamin berkurangnya kejahatan.
Teori ini lebih mempersoalkan akibat-akibat dari pemidanaan kepada terpidana atau kepada kepentingan masyarakat juga dipertimbangkan  pencegahannya untuk masa mendatang.[19]
3.      Teori Gabungan (Teori Absolut dan teori Relative)
Teori ini mendasarkan pidana atas azas pembalasan  dan azas pertahanan tata tertib hukum masyarakat. Teori gabungan ini dibagi menjadi 3 golombang yaitu :[20]
a.       Teori gabungan yang menitikberatkan pada pembalasan, tetapi pembalasan tersebut tidak boleh melampaui batas dan cukup untuk dapat mempertahankan tata tertib.Grotius mengembangkanteorigabungan yang menitikberatkankeadilanmutlak yang diwujudkandalampembalasan, tetapi yang bergunabagimasyarakat. Dasartiap- tiappidanaialahpenderitaan yang beratnyasesuaidenganberatnyaperbuatan yang dilakukanolehterpidana, tetapisampaibatasmanaberatnyapidanadanberatnyaperbuatan yang dilakukanolehterpidanadapatdiukur, ditentukanolehapa yang bergunabagimasyarakat.
b.      Teori gabungan yang menitikberatkan pada pertahanan tata tertib masyarakat, namun penderitaan  atas pidana yang dijatuhkan tidak boleh lebih berat dari pada yang dilakukan oleh terpidana.
c.       `Teori gabungan yang menganggap bahwa pidana memenuhi keharusan pembala an keharusan melindungi masyarakat. Tujuan pidana menurut teori ini adalah mencerminkan jiwa pandangan hidup serta stuktur sosial budaya bangsa yang bersangkutan.
Menurut teori ini pelaku tindak pidana mutlak harus dibalas atau dilakukan pembalasan kepadanya berupa pidana. Dan pidana di sini merupakan pembalasan karena dilakukan tindak pidana. Oleh karena itu pembalasan merupakan sifat pidana bukan merupakan tujuan pidana. Penganut teori ini adalah Binding.[21]
4.      Teori Pembinaan
Menurut teori pembinaan, tujuan pemidanaan adalah untuk merubah tingkah laku atau prilaku terpidana agar ia meninggalkan kebiasaan jelek yang bertentangan atau melawan norma-norma hukum, dan agar supaya ia lebih cenderung menaati norma-norma yang berlaku. Dengan singkat tujuan pidana atau pemidanaan menurut teori ini adalah memperbaiki diri terpidana. [22]







                                                  KESIMPULAN
1.      Pengertian Pidana (Sanksi Pidana)
Pidana adalah istilah yuridis sebagai terjemahan dari bahasa Belanda straf, dan dalam bahasa Inggris disebut sentence,  serta dalam bahasa latin sanctio. Digunakannya istilah pidana di sini dan  bukan hukuman  adalah bertujuan untuk memfokuskan makna yang terkandung dari istilah pidana tersebut.
Dari  penjelasan  definisi pidana tersebut, tujuan pemidanaan ini berkaitan dengan aliran-aliran dalam hukum pidana yang mana aliran-aliran ini berusaha untuk memperoleh suatu sistem hukum pidana positif  yang prektis yang bermanfaat sesuai dengan perkembangan persepsi manusia tentang hak-hak asasi manusia. Aliran tersebut antara lain:
a.       Aliran Klasik
b.      Aliran Modern/Aliran Positif
c.       Aliran Neo klasik/ Aliran Sosiologis
2.      Teori Dan Tujuan Pidana
Tujuan pidana atau pemidanaa yang berlaku sekarang adalah :
a.       Penjeraan  yang ditujukan  kepada pelanggar hukum sendiri maupun kepada mereka yang mempunyai potensi menjadi penjahat.
b.      Perlindungan masyarakat dari perbuatan tindak pidana.
c.       Perbaikan terhadap pelaku tindak pidana.
Dalam sejarah hukum pidana, tujuan pemidanaan dapat dilacak dengan  empat teori yan berkaitan dengan tujuan pidana dan keempat teori itu membenarkan adanya penjatuhan pidana, teori-teori tersebut adalah sebagai berikut :
1.      Teori Absolut (Teori Pembalasan)
2.      Teori Tujuan (Teori Relative)
3.      Teori Gabungan (Teori Absolut dan teori Relative)
4.      Teori Pembinaan




                                          DAFTAR PUSTAKA
Chazawi Adami,Pelajaran Hukum PidanaBagian 1, Jakarta,PT Raja Grafindo Persada: 2002.
Effendi Erdianto, Hukum Pidana Indonesia, Bandung, PT Refika Aditama : 2011.
Maramis Frans, Hukum Pidana Umum dan tertulis di Indonesia, Pt Raja Grafindo Persada, jakarta:2012
Saifullah, Buku Ajar Konsep Dasar Hukum Pidana.2004
Suparni Ninik, Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta : 2007























                      














[1]Dr. Saifullah, Sh,M.Hum, Buku Ajar Konsep Dasar Hukum Pidana, Hal 35
[2]ibid
[3] Ninik Suparni, S.H. Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika (Jakarta : 2007) hal 11
[4]Dr. Saifullah, Sh,M.Hum, Buku Ajar Konsep Dasar Hukum Pidana, Hal 35
[5]Dr. Saifullah, Sh,M.Hum, Buku Ajar Konsep Dasar Hukum Pidana, Hal 36
[6]http://donxsaturniev.blogspot.com/2010/08/aliran-dalam-hukum-pidana-1-aliran.html
[7] Dr. Saifullah, Sh,M.Hum, Buku Ajar Konsep Dasar Hukum Pidana, Hal 37
[8]http://thezmoonstr.blogspot.com/2013/07/teori-teori-pemidanaan-dan-tujuan.html
[9] Dr, Saifullah,SH, M.Hum, Hal:37
[10]Frans Maramis, S.H.,M.H. Hukum Pidana Umum dan tertulis di Indonesia, Pt Raja Grafindo Persada, (jakarta:2012)
[11]ibid
[12] Erdianto Effendi, SH.,Hum. Hukum Pidana Indonesia, Bandung ( PT Refika Aditama : 2011)
[13] Dr, Saifullah,SH, M.Hum, Hal:39
[14] Ibid, hal:40
[15] Drs, Adami Chazawi,S.H. Pelajaran Hukum PidanaBagian 1, Jakarta (PT Raja Grafindo Persada: 2002), hal 154
[16] Erdianto Effendi, SH.,Hum. Hukum Pidana Indonesia, Bandung ( PT Refika Aditama : 2011), Hal 141
[17] Drs, Adami Chazawi,S.H, hal:158
[18] ibid
[19]Frans Maramis, S.H.,M.H. Hukum Pidana Umum dan tertulis di Indonesia, Pt Raja Grafindo Persada, (jakarta:2012)
[20]Dr, Saifullah,SH, M.Hum, Hal:41
[21] Erdianto Effendi, SH.,Hum, hal 143
[22] Dr, Saifullah,SH, M.Hum, Hal:42

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad

Your Ad Spot