Makalah Tafsir Ahkam Mu’amalah - PRINSIP-PRINSIP DASAR EKONOMI ISLAM - Knowledge Is Free

Hot

Sponsor

Rabu, 28 Oktober 2015

Makalah Tafsir Ahkam Mu’amalah - PRINSIP-PRINSIP DASAR EKONOMI ISLAM






2.1 PRINSIP – PRINSIP DASAR EKONOM ISLAM
2.1.1    Pengertian Ekonomi Islam
Menurut Prof. Dr. Ahmad Muhammad ‘Assal & Prof. Dr. Fathi Ahmad Abdul Karaim adalah : Sesungguhnya ekonomi Islam adalah bagian integral dari sistem Islam yang sempurna. Apabila ekonomi konvensional dengan sebab situasi kelahirannya terpisah secara sempurna dari agama. Maka keistimewaan terpenting  ekonomi Islam adalah keterkaitannya secara sempurna dengan Islam itu sendiri, yaitu aqidah dan syariah.[1]
Apabila ekonomi Islam menjadi bagian dari Islam yang sempurna, maka tidak mungkin memisahkannya dari sistem aturan Islam yang lain dari aqidah, ibadah dan akhlak.[2]
Berdasarkan ini, maka tidak boleh kita mempelajari ekonomi Islam secara berdiri sendiri yang terpisah dari aqidah Islam dan syariahnya, karena sistem ekonomi Islam bagian dari syariah Islam. Dengan demikian ia terkait secara mendasar dengan aqidah.[3]

Sedangkan menurut Muhammad Rawwas Qal’ah Ekonomi Islam adalah Sesungguhnya ekonomi Islam adalah aturan Tuhan. Setiap ketaatan terhadap aturan ini merupakan ketaatan kepada Allah Swt. Setiap ketaatan kepada Allah adalah ibadah. Jadi menerapkan sistem ekonomi Islam adalah ibadah.[4]
2.1.2    Prinsip – Prinsip Dasar Ekonomi Islam
Prinsip-prinsip Ekonomi Islam itu secara garis besar dapat

diuraikan sebagai berikut: Ekonomi Islam memiliki sifat dasar sebagai ekonomi Rabbani dan Insani. Disebut ekonomi Rabbani karena sarat dengan arahan dan nilai-nilai Ilahiah. Dikatakan ekonomi Insani karena system ekonomi ini dilaksanakan dan ditujukan untuk kemakmuran manusia
.
Keimanan sangat penting dalam ekonomi Islam karena secara langsung akan mempengaruhi cara pandang dalam membentuk kepribadian, perilaku, gaya hidup, selera dan preferensi manusia. Dalam ekonomi Islam sumber daya insani menjadi faktor terpenting. Manusia menjadi pusat sirkulasi manfaat ekonomi dari berbagai sumber daya yang ada.
Dalam Ekonomi Islam, berbagai jenis sumber daya dipandang sebagai pemberian atau titipan Tuhan kepada manusia. Manusia harus memanfaatkannya seefisien dan seoptimal mungkin dalam produksi guna memenuhi kesejahteraan secara bersama di dunia yaitu untuk diri sendiri dan untuk orang lain. Namun yang terpenting adalah bahwa kegiatan tersebut akan dipertanggung-jawabkannya di akhirat nanti.

Tujuan ekonomi islam adalah bahwa setiap kegiatan manusia didasarkan kepada pengabdian kepada Allah dan dalam rangka melaksanakan tugas dari Allah untuk memakmurkan bumi, maka dalam berekonomi umat islam harus mengutamakan keharmonisan dan pelestarian alam.
Secara umum prinsip-prinsip ekonomi menjadi 2 kelompok besar. Masing-masing kelompok besar ini membentuk suatu bangunan yang akan menjadi prinsip ekonomi islam.
v Berdasarkan pada definisi dan ruang lingkup ekonomi islam, maka terdapat berbagai prinsip yang harus dipegang teguh dalam menjalankan ekonomi islam. Bagian bangunan  pertama ekonomi islam didasarkan atas lima nilai universal yakni: tauhid (keimanan), ‘adl (keadilan), nubuwwah (kenabian), khilafah (pemerintah), dan ma’ad (hasil).[5]
1.      Tauhid
Tauhid merupakan fondasi ajaran islam. Isi tauhid itu sendiri jelas terpampang pada dua kalimat syahadat yang menyatakan bahwa: “Tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah”. Dengan tauhid, manusia menyaksikan bahwa tiada satupun yang layak disembah selain Allah, tidak ada pemilik langit, bumi dan isinya, selain daripada Allah. Jadi Allah adalah pencipta alam semesta dan isinya sekaligus pemiliknya, termasuk pemilik manusia dan seluruh sumber daya yang ada. Karena itu segala aktivitas manusia tak terkecuali aktivitas ekonomi dibingkai dengan kerangka hubungan dengan Allah. Dan segala sesuatu yang kita perbuat di dunia nantinya akan dipertanggung jawabkan kepada Allah SWT. Sehingga termasuk didalamnya aktivitas ekonomi dan bisnis nantinya akan dipertanggungjawabkan juga. Dengan tauhid yang benar, pelaku ekonomi menjadikan landasan ketauhidan dalam setiap aktivitasnya. Dengan tauhid yang benar pula, pelaku ekonomi melakukan aktivitas ekonomi dengan senantiasa mengingat bahwa pertanggungjawaban yang hakiki adalah pertanggungjawaban akhirat. Dengan pondasi yang kokoh ini, diharapkan agar setiap pelaku ekonomi dapat memahami dan melaksanakan islam secara benar, lalu meyakini bahwa ekonomi islam tidak terlepas dari islam itu sendiri.
2.      ‘Adl
Dalam islam didefinisikan sebagai “tidak menzalami dan tidak dizalimi”. Implikasi (keterlibatan masalah) ekonomi dari nilai ini adalah bahwa pelaku ekonomi tidak dibolehkan untuk mengejar keuntungan pribadi bila hal itu merugikan orang lain atau merusak alam.
3.      Nubuwwah
Nubuwwah merupakan perwujudan dari rahman, rahim dan kebijaksanaan Allah. Manusia tidak dibiarkan begitu saja didunia tanpa mendapat bimbingan. Karena itulah diutus para nabi dan rasul untuk menyampaikan petunjuk dari Allah kepada manusia tentang bagaimana hidup yang baik dan benar didunia. Sebagaimana di dalam Al Qur’an juga sudah di jelaskan yaitu Telah ada pada diri Rasulullah suri teladan yang baik. Rasul merupakan “manusia model” Model percontohan ideal bagi umat manusia. Maha Suci Allah yang telah menciptakan para Nabi agar senantiasa memberi kita pedoman dan bimbingan untuk senantiasa selamat menjalani bahtera dunia menuju kampung akhirat untuk diteladani manusia, karenanya Rasulullah memiliki sifat-sifat utama yaitu siddiq (benar, jujur), amanah (kepercayaan), tabligh (keterbukaan/menyampaikan), dan fatanah (kecerdasan).
Sifat nabi di atas menjadi acuan bagi aktivitas ekonomi. Sifat di atas juga sangat manusiawi sehingga dalam pelaksanaanya sangat nyata untuk dilakukan. Juga sifat di atas adalah lambang profesionalitas, prestatif, dan kontributif dalam pelaksanaan aktivitas ekonomi.
4.      Khilafah
Khilafah artinya manusia memiliki misi untuk menjadi pemimpin dan pemakmur bumi. Nilai mendasari prinsip kehidupan kolektif manusia, fungsi dan peran utamanya adalah agar menjaga keteraturan interaksi (mu’amalah) antar kelompok termasuk bidang ekonomi, dan memastikan bahwa perekonomian suatu negara berjalan dengan baik tanpa distorsi dan telah sesuai dengan syariah.
5.      Ma’ad
Ma’ad secara harfiah berarti kemballi. Maksudnya manusia akan kembali pada Tuhan untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya, karena kehidupan manusia bukan hanya berlangsung didunia saja melainkan terus berlajut diakhirat.[6]
Dan bisa juga di artikan sebagai hasil atau imbalan, sesuai dengan kata Imam Ghazali bahwa motif para pelaku ekonomi adalah untuk mendapatkan keuntungan/profit/laba. Dalam islam, ada laba/keuntungan di dunia dan ada laba/keuntungan di akhirat. Oleh karena itu pencapaian adalah suatu hal yang mutlak 

v Bagian kedua, Kelima nilai yang telah diuraikan di atas menjadi dasar inspirasi untuk menyusun teori-teori ekonomi. Dari kelima nilai ini kita dapat menurunkan tiga prinsip derivatif yang menjadi ciri-ciri sistem ekonomi islam yang juga menjadi tiang ekonomi islam. Prinsip derivatif tersebut adalah sebagai berikut:

·      Multitype Ownership (kepemilikan multijenis)
Nilai tauhid dan nilai adil melahirkan konsep multitype ownership. Dalam islam, berlaku prinsip kepemilikan multijenis, yakni mengakui bermacam-macam bentuk kepemilikan baik oleh swasta, negara atau campuran. Prinsip ini adalah terjemahan dari nilai tauhid: pemilik primer langit, bumi dan seisinya adalah Allah, sedangkan manusia diberi amanah untuk mengelolanya. Dan untuk menjamin adanya keadilan, maka cabang-cabang produksi yang strategis dapat dikuasai oleh negara.

·      Freedom to Act (kebebasan untuk bergerak/usaha)
Ketika menjelaskan nilai nubuwwah, kita sudah sampai pada kesimpulan bahwa penerapan nilai ini akan melahirkan pribadi-pribadi yang profesional dalam segala bidang, termasuk bidang ekonomi dan bisnis. Keempat nilai nubuwwah ini bila digabungkan dengan nilai keadilan dan nilai khilafah akan melahirkan konsep  freedom to act pada setiap muslim. Freedom to act bagi setiap individu akan menciptakan mekanisme pasar dalam perekonomian karena setiap individu bebas untuk bemuamalah. Pemerintah akan bertindak sebagai wasit yang adil dan mengawasi pelaku-pelaku ekonomi serta memastikan bahwa tidak terjadi distorsi dalam pasar dan menjamin tidak dilanggarnya syariah.

·      Social Justice (keadilan sosial)
Gabungan nilai khilafah dan nilai ma’ad melahirkan prinsip keadilan sosial. Dalam islam, pemerintah bertanggung jawab menjamin pemenuhan kebutuhan dasar rakyatnya dan menciptakan keseimbangan sosial antara yang kaya dan yang miskin.[7]


Teori ekonomi islam dan sistemnya belumlah cukup tanpa adanya manusia yang menerapkan nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Dengan kata lain, adanya manusia yang berakhlak adalah hal mutlak dalam ekonomi. Kinerja suatu bisnis atau ekonomi tidaklah bergantung kepada teori dan sistemnya saja, melainkan pada man behind the gun-nya. Oleh karena itu akhlak menjadi bagian ketiga dan merupakan atap yang menaungi ekonomi islam.









            2.2 TAFSIRAN QUR’AN
            2.2.1 Tafsiran Alqur’an Surat
Surat al jum’ah ayat 10
A.        
Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.(QS: Al-Jumuah Ayat: 10)
B.        Kosakata

لِلصَّلاةِ : shalat                           فَانْتَشِرُوا : Maka bertebaranlah kamu
الأرْضِ فِي : Di muka bumi         وَابْتَغُوا  : Dan carilah
للَّهِ افَضْلِ مِنْ Karunia Allah          اللَّهَ وَاذْكُرُوا Dan ingatlah Allah
كَثِيرًا Banyak-banyak                لَعَلَّكُمْ Supaya kamu
تُفْلِحُونَ Beruntung

C.        Makna mufradat serta I’rab nya
الصَّلَاةُ قُضِيَتِ ( ditunaikan akan shalat) , قُضِيَتِ merupakan fi’il madhi yang dibinakan bagi majhul ( tidak di ketahuikan) asal katanya adalah قضي , الصَّلَاةُ( shalat), ia merupakan isem bagi قُضِيَتِ , الصَّلَاةُ maksud kata-katanya ini adalah shalat jum’at, kenapa berhunbungan dengan kata – kata قُضِيَتِ, karena tidak di ketahui shalat apa, dan di ketahui nya karena ada ال pada kata – kata shalatu, al ال if lam itu adalah ال ma’rifah ( yang di tujukan pada shalat jum’at), فَانْتَشِرُوا, merupakan fi’il amar, atas wazan انتشر, berfaedah mutawa’ah, yaitu hasil bekas sesuatu dari fi’il muta’adi maksudnya sesudah shalat boleh bertebaran di muka bumi, menurut tafsir jalalain perintah ini menunjukkan pengertian ibahah (boleh), وَابْتَغُوا  : Dan carilah, ابتغوا adalah fi’il amar ( perintah) agar kita di mencari akan karunia Allah, contohnya seperti mencari rezeki tetapi wajib dengan cara yang halal,dan faedah nya juga mutawa’ah,  اللَّهَ وَاذْكُرُوا Dan ingatlah Allah, اذكروا juga fi’il amar ( berupa perintah) menunjukkan akan dalam kita bertebaran, kita mencari rezeki di wajibkan atas kita selalu mengingat akan Allah, كَثِيرًا, bila kita I’rab dia adalah ke hal, dengan arti, hal keadaan sebanyak-banyaknya,  لَعَلَّكُمْ, kata-kata لعل menurut ilmu nahwu memili faedah taraji yaitu mengharap sesuatu yang kemungkinan terjadi, تُفْلِحُونَ (kamu beruntung), dia merupakan fi’il mudhari’ asal kata nya yaitu افلح
D.    Asbabun Nuzul
Diriwayatkan dalam sebuah hadits ,Ketika Rasul sedang berkhutbah jumat, tiba-tiba datanglah para pedagang dengan membawa dagangannya. Dan para sahabat yang sedang mendengarkan khutbah itu berdiri mengerumuni para pedagang yang baru datang tersebut. Melihat kejadian itu turunlah Q.S al-jumuah ayat 9-10.

E.     Munasabah
Pada ayat ini, Allah SWT menerangkan bahwa setelah selesai melakukan shalat Jumat boleh bertebaran di muka bumi melaksanakan urusan duniawi, berusaha mencari rezeki yang halal, sesudah menunaikan yang bermanfaat untuk akhirat.
Pada ayat ini, Allah SWT menerangkan bahwa setelah shalat. Hendaklah mengingat Allah sebanyak-banyaknya di dalam mengerjakan usahanya dengan menghindarkan diri dari kecurangan, penyelewengan dan lain-lainnya, karena Allah Maha Mengetahui segala sesuatu, yang tersembunyi apalagi yang nampak nyata, sebagaimana firman Allah SWT: Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata. Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Q.S At Taghabun: 18) Dengan demikian tercapailah kebahagiaan dan keberuntungan di dunia dan di akhirat.
F.      Tafsir
Dalam ayat ini (surah Al-Jumu’ah(62) ayat:10), Allah menegaskan bahwa ketika shalat Jum’at telah ditunaikan, maka manusia diperintahkan untuk segera kembali melakukan aktivitasnya masing-masing dalam rangka mencari karunia Allah baik berupa rezeki harta maupun ilmu pengetahuan. Jadi, pelajar dan guru kembali ke kelasnya, para pegawai kembali ke kantornya, para pekerja kembali ke pabriknya, para petani kembali ke sawahnya, dan begitu pula yang lainnya. Hal ini merupakan perintah Allah agar manusia memiliki etos kerja yang tinggi, disiplin yang kuat dan mampu menghargai waktu. Kemudian setelah manusia mendapatkan karunia Allah maka janganlah lupa “wadzkurulloha katsiro” harus kembali mengingat Allah, karena semua karunia yang telah didapat itu semata-mata karena kemurahan Allah dan harus dikembalikan kepada Allah dengan cara syukur kepadanya agar kita senantiasa beruntung. Kedua ayat di atas juga menunjukkan bahwa manusia harus pandai mempergunakan waktu dan mengaturnya sedemikian rupa, sehingga tidak ada waktu yang terbuang percuma. Dengan demikian etos kerja yang tinggi akan terwujud dalam diri seseorang.
Menurut kami Jika Surah al-Jumu’ah [62] ayat 9–10 dikaitkan dengan tema PRINSIP-PRINSIP EKONOMI ISLAM, penjelasannya sebagai berikut.
Hendaknya bersegeralah memenuhi panggilan Allah dengan menunaikan ibadah salat jum’at bagi laki-laki walaupun sedang melakukan aktifitas perniagaan yang sangat menarik keuntungan bisnisnya, kecuali berhalangan seperti sakit atau dalam perjalanan jauh. Hal ini menunjukkan bahwa urusan akhirat lebih penting dari pada urusan dunia. Karena akhirat lebih kekal sedangkan dunia sementara.begitulah pondasi tauhid sebagaimana sesuai dengan prinsip yang tadi sudah dijelaskan.
Namun demikian setelah menunaikan ibadah salat jum’at tidak boleh mengabaikan urusan dunia, bersegeralah, bergegas untuk mencari nafkah demi kepentingan hidup diri dan keluarganya dan tidak boleh malas, karena karunia Allah yang terbentang dijagat raya ini diperuntukkan bagi manusia yang harus diusahakan. Ayat ini mengajarkan kita untuk bekerja keras dalam meraih kebahagiaan dunia. Dan Ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang tidak hanya memikirkan akhirat saja tapi dunia juga penting. Dunia juga sangat menunjang kehidupan akhirat, karena dengan kelebihan rizki kita bisa bersadaqah dan itu adalah investasi akhirat. Tentang kerja keras dan keseimbangan dunia dan akhirat sesuai sabda Rasulullah SAW. : “Bekerjalah untuk (kebutuhan) duniamu seolah-olah kamu akan hidup selamanya, dan beribadahlah untuk akhiratmu seolah-olah kamu akan mati esok pagi” (H.R. Ibnu Azakir) begitulah prinsip Freedom to Act (kebebasan untuk bergerak/usaha)
Pada kesempatan lain Rasulullah sering memotivasi umatnya untuk senantiasa meningkatkan etos kerja sebagaiamana dalam beberapa sabdanya di bawah ini: ” Yang sangat menakutkan atas umatku adalah banyak makan, lama tidur serta malas. Pengangguran hanya akan menjadikan seorang manusia menjuadi keras hati.”(HR. Al-Syihab)
“Sesungghnya Allah mencintai hamba yang berkarya. Dan barang siapa yang bekerja keras untuk keluarganya maka ia seperti pejuang di jalan Allah azza wajalla.”(HR. Ahmad)
“Tidaklah seseorang makan makanan yang lebih baik daripada hasil keterampilan tangannya sendiri.”(HR. Bukhari)
Untuk tercapai kebahagiaan dunia dan akhirat kita diperintahkan untuk banyak berzikir dan berdo’a agar sukses dalam meraih cita-cita, ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.
Selain itu Para fukaha (ahli fikih) menjadikan ayat dalam Surah al-Jumuah ini sebagai dalil tentang hukum melaksanakan salat Jumat. Salat Jumat hukumnya adalah wajib bagi setiap muslim sehingga ketika seseorang sedang berjual beli, dianjurkan untuk meninggalkan sejenak dan segera menunaikan salat Jumat. Jika Surah al-Jumu’ah [62] ayat 9–10 dikaitkan dengan prinsip ekonomi islam,dalam contoh bekerja penjelasannya sebagai berikut,
a.       Perlunya Keseimbangan antara Urusan Dunia dan Akhirat
Pada saat kita menyelesaikan pekerjaan jenis apa pun yang menyangkut urusan duniawi, tetap diharuskan meninggalkannya jika mendengar panggilan azan. Perintah ini menunjukkan pentingnya menyeimbangkan urusan duniawi dan ukhrawi. Kita dibolehkan mengejar kehidupan duniawi, tetapi tidak boleh terlena sehingga lupa pada kehidupan akhirat. Hal ini karena kerja kita telah diniatkan untuk mencari rida Allah sehingga jika ada panggilan untuk ibadah kepada-Nya, tidak boleh enggan mengerjakan. Jika salat telah dikerjakan, kita pun diperbolehkan untuk kembali melanjutkan aktivitas.
Ada juga pesan yang sangat populer dari Abdullah bin Umar r.a. yang Artinya: ”Bekerjalah untuk kepentingan duniamu seolah-olah kamu akan hidup selamanya dan bekerjalah untuk kepentingan akhiratmu seolah-olah kamu akan mati besok.” (H.R. Baihaqi) Bekerja dengan sungguh-sungguh dan profesional dalam ajaran Islam sangat diutamakan. Demikian juga khusyuk dalam ibadah sangat penting agar dapat membekas pada amaliah sehari-hari, termasuk dalam bekerja. (prinsip tauhid/ilahiah)
b.      Bekerja Harus Selalu Ingat Allah
Dalam bekerja kita, harus mengingat Allah sehingga tidak akan terperosok untuk melakukan perbuatan yang tidak diridai oleh-Nya. Kita dibolehkan mencari karunia Allah sebanyak mungkin, asal dilakukan dengan cara yang benar. Dengan demikian, Allah pun akan meluaskan rezeki kepada kita dan memberikan keberuntungan yang berlipat ganda.(prinsip tauhid,adil ma’ad)
c.       Meningkatkan Produktivitas Kerja
Setelah mengerjakan salat Jumat, kita diperbolehkan untuk melanjutkan aktivitas kerja lainnya. Melakukan ibadah tidak berarti menghambat produktivitas kerja. Guna mendukung produktivitas kerja, ada hal-hal tertentu yang penting untuk diperhatikan.
1.      Bersikap rajin, ulet, dan tidak mudah putus asa.(prinsip ma’ad)
2.      Meningkatkan inovasi dan kreativitas.
3.      Mau belajar dari pengalaman sehingga dapat berbuat lebih baik pada masa datang.(prinsip keadilan social)
4.      Memaksimalkan kemampuan diri yang ada dan selalu optimis.
5.      Berdoa dan bertawakal kepada Allah.( Freedom to Act (kebebasan untuk bergerak/usaha)


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat kami ambil pada makalah ini yaitu,
Secara umum prinsip-prinsip ekonomi menjadi 2 kelompok besar. Masing-masing kelompok besar ini membentuk suatu bangunan yang akan menjadi prinsip ekonomi islam.
Bagian pertama (nilai universal) yang menjadi teori dari ekonomi islam dan menjadi landasan ekonomi islam yaitu:
·      Tauhid (keesaan Tuhan
·      ‘Adl (keadilan)
·      Nubuwwah (kenabian
·      khilafah (pemerintahan).
·      Ma’ad (hasil)
Dengan prinsip-prinsip utama di atas maka sistem ekonomi islam dapat dibangun dengan sangat kokoh.Bagian kedua (prinsip-prinsip derivative) ini merupakan prinsip-prinsip sistem ekonomi islam yang juga menjadi tiang ekonomi islam yaitu:
·      Multitype Ownership
·      Freedom to act (Kebebasan bertindak atau berusaha)
·      Social Justice (Keadilan Sosial)
Kita sebagai manusia kita harus mempriolitaskan hak hak kita sebagai hamba kepada sang khalik dan ketika perkara masalah ibadah kita telah selesai maka di situlah kita menjalankan hubungan dengan sesama manusia untuk mencari rezeki sebanyak mungkin, dengan cara yang halal, dan senang tiasa memiliki rasa disiplin, menghargai waktu dam etos kerja yang tinggi, dan setelah kita mendapatkan rezeki janganlah lupa untuk kembali bersyukur dan mengingat Allah karena sungguh rezeki yang diperoleh itu semua datangnya dari Allah SWT.
B.     Saran
Dalam makalah kami ini, masih banyak hal yang harus diperbaiki dan dikoreksi, materi-materi yang disajikan pun masih belum lengkap. Untuk itu kami sangat mengharapkan kontribusi positif untuk kemajuan kita bersama, karena kami tidak menunggu sempurna untuk melakukan sesuatu, tapi kami melakukan sesuatu untuk menuju kesempurnaan.


BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Mujahidin, Akhmad. 2007. Ekonomi Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Supadie, Didiek Ahmad.2013. Ekonomi Syari’ah. Semarang: PT Pustaka Rizki Putra
Antonio Muhammad Syafi’I.Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani.2001.
 Dr. Yusuf Qhardawi, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam











[1] Prof. Dr. Ahmad Muhammad ‘Assal & Prof.Dr. Fathi Ahmad Abdul Karim, An-Nizham al-Iqtishadi fil Islam, Cairo, 1977, hlm.17-18.
[2] Mabahits fil Iqtishad al-Islamiy, hlm. 54.
[3] Prof. Dr. Ahmad Muhammad ‘Assal & Prof.Dr. Fathi Ahmad Abdul Karim, An-Nizham al-Iqtishadi fil Islam, Cairo, 1977, hlm.17
[4] Muhammad Rawwas Qal’ah, Mabahits fil Iqtishad al-Islamiy, Kuwait Darun Nafas, 2000, hlm.55)
[5] Akhmad Mujahidin, Ekonomi Islam, hlm. 12-13
[6] Didiek Ahmad Supadie, Ekonomi Syari’ah, hlm. 50-51
[7] Akhmad Mujahidin, Ekonomi Islam, hlm. 25-27

Post Top Ad

Your Ad Spot