Makalah Sejarah Ilmu Akhlak di Dunia - Knowledge Is Free

Hot

Sponsor

Sabtu, 19 September 2015

Makalah Sejarah Ilmu Akhlak di Dunia




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sejarah Ringkas Pembahasan Akhlak
Menurut pesan hadis, Rasulullah diutus ke dunia untuk menyempurnakan budi pekerti manusia. Dalam menyempurnakan akhlak bangsa Arab, Rasulullah mengajak kaumnya untuk percaya kepada Allah. Rasulullah juga mengajarkan pokok-pokok akhlak dalam Islam. Menurut Rasulullah, Allah menjanjikan kebahagiaan di dunia dan akhirat bagi setiap manusia yang taat pada peraturan-Nya, yaitu orang-orang yang beriman dan rajin beramal saleh.

Allah Swt berfirman dalam surah Al-Nahl (16) ayat 97:
Barang siapa yang beramal saleh, laki-laki maupun perempuan dan dia beriman, maka Allah akan memberikan kehidupan yang baik, dan pasti Allah akan membalas dengan pahala yang lebih baik daripada yang mereka kerjakan.[1]

Melacak sejarah pertumbuhan dan perkembangan akhlak (etika) dalam pendekatan bahasa sebenanrnya sudah dikenal manusia di muka bumi ini. Yaitu, yang dikenal dengan istilah adat istiadat (al-adah/tradisi) yang sangat dihormati oleh setiap individu, keluarga dan masyarakat.[2]
Ilmu Akhlak sebagai disebutkan pada bagian terdahulu membahas tentang tingkah laku manusia untuk dinilai apakah perbuatan tersebut tergolong baik, mulia, terpuji atau sebaliknya, yakni buruk, hina dan tercela. Selain itu dalam ilmu ini dibahas pula ukuran kebahagiaan, keutamaan, kebijaksanaan, keindahan dan keadilan.[3]
Akhlak sebagai suatu ilmu sebenarnya sudah dibahas cukup lama. Ahmad amin merupakan cendekiawan Muslim pertama yang menerbitkan buku tentang wacana akhlak dengan judul Al-Akhlaq dengan menggunakan pendekatan kebangsaan, religi, dan periodesasi. Ahmad Amin membagi pertumbuhan dan perkembangan akhlak pada bangsa Yunani, abad pertengahan, bangsa Arab, agama Islam, dan zaman baru.



B.     Ilmu Akhlak di Luar Agama Islam
1.      Akhlak pada Bangsa Yunani
Mempelajari sejarah akhlak bisa dimulai dari keberadaan bangsa Yunani. Semula bangsa Yunani hanya menyelidiki keadaan alam, namun setelah datang Shopisticians (500-459 SM) yang menyiapkan angkatan muda bangsa Yunani agar menjadi nasionalis yang baik lagi merdeka dan mengetahui kewajiban mereka, muncullah pandangan mengenai pokok-pokok etika. Sedangkan sebelum itu di kalangan bangsa Yunani tidak dijumpai pembicaraan mengenai akhlak, karena pada masa itu perhatian mereka tercurah pada penyelidikannya mengenai alam.[4]
Dasar yang digunakan para pemikir Yunani dalam membangun Ilmu Akhlak adalah pemikiran filsafat tentang manusia, atau pemikiran tentang manusia. Ini menunujukkan bahwa Ilmu Akhlak yang mereka bangun lebih bersifat filosofis, yaitu filsafat yang bertumpu pada kajian secara mendalam terhadap potensi kejiwaan yang terdapat dalam diri manusia atau bersifat anthroposentris, dan mengesankan bahwa masalah akhlak adalah sesuatu yang fitri, yang akan ada dengan adanya manusia sendiri, dan hasil yang didapatnya adalah Ilmu Akhlak yang berdasar pada logika murni.[5]
Saat itu terdapat kaum Sufsata, yaitu segolongan ahli filsafat yang tersebar di seluruh negeri untuk mengajar, dan walaupun mereka berlainan pendapat, namun mereka terikat dengan suatu maksud yang sama, yaitu menyiapkan para pemuda Yunani untuk menjadi patriot-patriot yang berakhlak. Mereka diajar tentang hal-hal yang wajib mereka lakukan untuk tanah air mereka. Pikiran mereka mengenai kewajiban-kewajiban ini telah mendorong mereka untuk memikirkan pokok dan asal usul akhlak. Hal itu diikuti dengan celaan terhadap sebagian perilaku yang hanya ikut-ikutan saja kepada orang-orang yang terdahulu serta ajarannya, sehingga menyebabkan timbulnya kemaraha  golongan yang kukuh memegang ajaran dan adat istiadat kuno itu.[6]
Kemudian datanglah Socrates (469-399 SM) yang berkonsentrasi pada penyelidikan akhlak, yaitu tentang etika, moralitas, dan tingkah laku manusia. Socrates mencoba menurunkan filsafat dari “langit” ke “bumi”.[7]
Socrates dianggap seorang yang telah menaruh dasar-dasar ilmu etika, karena dianggapnya dia adalah seorang yang berusaha sungguh-sungguh untuk menaruh perilaku manusia di atas dasar keilmuan. Dia berpendapat bahwa akhlak (etika) dan perilaku manusia itu tidak akan benar, kecuali kalau diberi dasar ilmu, hingga Socrates mempunyai paham “keutamaan itu adalah ilmu”.
Pengaruh Socrates ini juga menimbulkan berbagai aliran ilmu akhlak (etika) yang bermacam-macam dan terus berlangsung sampai sekarang. Golongan atau aliran yang terpenting ialah aliran Cynics dan aliran Cyrenics yang kesemuanya adalah para pengikut Socrates.
Golongan Cynics itu adalah pengikut ajaran Sutiscanes (444-370 SM). Sebagian dari ajarannya ialah Tuhan itu bersih dari kebutuhan, yakni tidak membutuhkan apa-apa dan sebaik-baiknya orang itu adalah orang yang sama akhlaknya dengan akhlak Tuhan.
Adapun golongan Cyrenics, tokohnya ialah Aristbus, kelahiran Korena di Afrika Selatan. Pendapat golongan ini adalah sebaliknya dari pendapat golongan Cynics. Mereka berpendapat bahwa mencari kesenangan dan menjauhi penderitaan itu adalah tujuan hidup yang benar dan satu-satunya, dan bahwa sesuatu perbuatan itu dinamakan keutamaan bilamana menimbulkan kesenangan yang lebih besar daripada penderitaannya.[8]
Kedua golongan tersebut di atas, sama-sama bicara tentang perbuatan yang baik, utama dan mulia. Namun ukuran yang mereka gunakan berbeda. Golongan pertama, Cynics bersikap memusat pada Tuhan (teo-centris) dengan cara manusia berupaya mengidentifikasi sifat Tuhan dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari yang wujudnya tampil sebagai seorang zahid. Sedangkan golongan kedua Cyrenics bersikap memusat pada manusia (anthropocentris) dengan cara manusia mengoptimalkan perjuangan dirinya dan memenuhi kelezatan hidupnya. Namun terlepas aliran mana yang akan diikuti, kedua aliran tersebut telah berbicara tentang akhlak yang mulia.[9]
Lalu muncul Plato (427-347 SM), seorang ahli filsafat dari Athena yang juga murid Socrates. Dalam bukunya yang termasyhur Republic (adonan antara wacana akhlak/etika dan filsafat), Plato berpendapat bahwa di belakang alam “lahir” ini ada alam lain, yaitu alam ruhani.
Pendapatnya ini dipergunakannya di dalam soal akhlak (etika). Katanya : “Di antara gambar-gambar itu ada gambar dari kebaikan, yaitu arti yang mutlak yang azali dan abadi serta mencapai puncak kesempurnaan. Manakala perilaku manusia itu telah dekat dari gambaran itu dan cahaya gambaran ini telah menyaingi perilaku manusia, perilaku itu lebih dekat kepada kesempurnaan. Untuk mengerti gambaran ini orang perlu melatih jiwa dan mensucikan akal dan pikiran. Karena itu tidak akan ada orang yang mendapatkan kesempurnaan dalam bentuknya yang terbaik kecuali seorang filosof”.
Sejalan dengan itu, Plato berpendapat bahwa di dalam jiwa manusai terdapat kekuatan yang bermacam-macam, dan perbuatan yang utama timbul dari kemampuan membuat perimbangan dalam mendayagunakan potensi kejiwaan itu kepada hukum akal. Berdasar pada teorinya ini, ia berpendapat bahwa pokok-pokok keutamaan ada empat, yaitu hikmah (kebijaksanaan). Keberanian, keperwiraan dan keadilan.[10]
Sesudah Plato, kemudian muncul Aristoteles (394-322 SM), seorang filosof yang juga murid Plato. Aristoteles membangun suatu paham yang khas, dan pengikutnya disebut Paripatetis. Aristoteles memberikan pelajaran sambil berjalan atau di tempat yang teduh. Dia berpendapat bahwa tujuan akhir yang ingin diraih manusia adalah kebahagiaan. Akan tetapi, pengertian kebahagiaan itu lebih luas dan lebih tinggi daripada paham Utilitarisme di zaman baru sekarang. Aristoteles seringkali melontarkan ide serba “tengah”. Yaitu, bahwa tiap-tiap keutamaan berada di tengah-tengah atau di antara dua keburukan, seperti “dermawan” adalah pertengahan antara “kikir” dan “boros”.
Selanjutnya pemikir akhlak dari kalangan pemikir Yunani ini adalah Stoics dan Epicurus. Keduanya berbeda pendapat dalam hal mengemukakan pandangannya tentang kebaikan. Stoics berpendirian sebagaimana paham Cynics yang pandangannya telah dikemukakan di atas. pendapatnya ini banyak diikuti oleh banyak ahli filsafat di Yunani dan Romawi, dan pengikut-pengikutnya yang termasyhur pada permulaan kerajaan Roma ialah Seneca (6-65 SM), Epictetus (60-140 M) dan Kaisar Macus Orleus (121-180 M).
Adapun Epicurus mendasarkan pemikirannya pada paham Cyrenics sebagaimana telah dikemukakan di atas. paham mereka banyak diikuti di zaman baru ini, seperti Gassendi, seseorang ahli filsafat Peerancis (1592-1656).
Keseluruhan ajaran akhlak yang dikemukakan para pemikir Yunani tersebut tampak bersifat rasionalistik. Penentuan baik dan buruk didasarkan pada pendapat akal pikiran yang sehat dari manusia. Karenanya tidak salah kalau dikatakan bahwa ajaran akhlak yang dikemukakan pada pemikir Yunani ini bersifat anthropocentris (memusat pada manusia). Pendapat akal yang demikian itu dapat saja diikuti sepanjang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, atau sepanjang pemikiran akal tersebut sejalan dengan kedua sumber ajaran Islam  tersebut.[11]
2.      Akhlak Pada Agama Nasrani
Pada akhir abad ketiga Masehi tersiarlah agama Nasrani di Eropa. Agama ini telah berhasil mempengaruhi pemikiran manusia dan membawa pokok-pokok ajaran akhlak yang tersebut dalam kitab Taurat dan Injil. Menurut agama ini bahwa Tuhan adalah sumber akhlak. Tuhanlah yang menentukan dan membentuk patokan-patokan akhlak yang harus dipelihara dan dilaksanakan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Tuhanlah yang menjelaskan arti baik dan buruk. Menurut agama ini bahwa yang disebut baik ialah perbuatan yang disukai Tuhan serta berusaha melaksanakannya dengan sebaik-baiknya.
Dengan demikian ajaran akhlak pada agama Nasrani ini tampak bersifat teo-centri (memusat pada Tuhan) dan sufistik (bercorak batin). Karena itu tidaklah mengherankan jika ajaran akhlak agama Nasrani yang dibawa oleh para pendeta berdasarkan ajaran Taurat ini sejalan dengan ajaran ahli-ahli filsafat Yunani dari aliran Stoics, sebagaimana telah dikemukakan di atas. kedua kelompok ini sama-sama mendorong manusia agar memiliki akhlak yang mulia. Namun keduanya berbeda dalam hal sumber yang mendorong orang berbuat baik itu.
Menurut ahli-ahli filsafat Yunani bahwa pendorong buat melakukan perbuatan baik ialah pengetahuan dan kebijaksanaan, sedangkan menurut agama Nasrani bahwa pendorong berbuat kebaikan adalah cinta dan iman kepada Tuhan berdasarkan petunjuk kitab Taurat.


3.      Akhlak pada Bangsa Romawi
Kehidupan masyarakat Eropa di abad pertengahan dikuasai oleh gereja. Pada waktu itu gereja berusaha memerangi filsafat Yunani serta menentang penyiaran ilmu dan kebudayaan kuno. Gereja berkeyakinan bahwa kenyataan “hakikat” telah diterima dari wahyu. Apa yang diperintah oleh wahyu tentu benar adanya. Oleh karena itu tidak ada artinya lagi penggunaan akal pikiran untuk kegiatan penelitian. Mempergunakan filsafat boleh saja asalkan tidak bertentangan dengan doktrin yang dikeluarkan oleh gereja, atau memiliki persamaan dan menguatkan pendapat gereja.
4.      Akhlak pada Bangsa Arab
Bangsa Arab pada zaman jahiliyah tidak mempunyai ahli-ahli filsafat yang mengajak kepada aliran paham tertentu. Hal yang demikian sebagai akibat dari tidak berkembangnya kegiatan ilmiah di kalangan masyarakat Arab. Pada masa itu bangsa Arab hanya mempunyai ahli-ahli hikmah dan ahli syair. Di dalam kata-kata hikmah dan syair tersebut dapat dijumpai ajaran yang memerintahkan agar berbuat baik dan menjauhi keburukan, mendorong pada perbuatan yang tercela dan hina.[12]
C.    Ilmu Akhlak di Dalam Agama Islam
Setelah periode di atas, kemudian datanglah agama Islam yang mengajak manusia untuk percaya kepada Allah, Sang Pencipta alam semesta. Allahlah yang menjadi sumber dari segala sesuatu dan atas kekuasaan-Nyalah ala mini berdiri dan berjalan secara teratur. Allah menetapkan beberapa keutamaan seperti kebenaran dan keadilan, dan menjanjikan kebahagiaan di dunia dan akhirat sebagai pahala bagi orang yang mentaati-nya. Allah memerintah umat manusia untuk menjauhi keburukan dan kejahatan (lawan dari keutamaan) seperti dusta, zalim, zina, mabuk, mencuri, membunuh, berjudi, mengonsumsi minuman keras, dan sebagainya. Barang siapa sering melakukan keburukan dan kejahatn, maka dia akan sengsara di dunia dan akhirat, sebagaimana dipesankan Allah dalam untaian firman-Nya.
Di saat Islam datang yang dibawa oleh Muhammad Saw., Islam tidak menolak setiap kebiasaan yang terpuji yang terdapat pada bangsa Arab, bahkan mengakui apa-apa yang dipandangnya tepat untuk membina umat serta menolak apa-apa yang dianggapnya jelek (menurut petunjuk wahyu, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah). Islam datang kepada mereka membawa akhlak yang mulia yang menjadi dasar kebaikan hidup seseorang, keluarga, umat manusia serta alam seluruhnya. Setelah Al-Qur’an turun maka lingkaran pikiran bangsa Arab dalam segi akhlak yang pada awalnya sempit menjadi luas dan berkembang, jelas arah dan sasarannya.
Dalam ajaran Islam, manusia diperintahkan untuk berbuat baik di dunia, menyiapkan diri untuk kembali ke kampung akhirat, tetapi tidak meninggalkan kesenangan dunia sama sekali.
Allah Swt berfirman dalam surah Al-Qashash [28] ayat 77 :

Carilah rizki yang diberikan Allah kepadamu untuk kebahagiaan akhirat, dan jangan lupa bagianmu dari kehidupan dunia. Berbuatlah kebaikan sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. Janganlah kamu berbuat bencana di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.[13]

Di kalangan bangsa Arab, meski mereka telah maju dalam lapangan pengetahuan, sedikit sekali orang yang mempelajari akhlak secara ilmiah. Hal itu karena mereka merasa cukup mengambil ajaran akhlak dari agama, mereka tidak merasa butuh dengan pembahasan ilmiah mengenal asas baik dan buruk. Karena itu, agama menjadi motif kebanyakan mereka yang menulis tentang akhlak, sebagaimana kita lihat kitab Adabuddunya waddin oleh Mawardy.
Pembahas akhlak yang terbesar di kalangan bangsa Arab adalah Ibnu Miskawaih, wafat pada tahun 421 H. Beliau telah menulis sebuah kitab yang masyhur tentang akhlak yang dinamakan Tadzibul Akhlak wa-Tathhirul ‘Araq. Kitab ini berisi pembahasan ilmiah tentang akhlak, terdiri dari campuran ajaran-ajaran Plato, Aristo, Galinus dan ajaran-ajaran Islam. Ajaran-ajaran Aristo sangat diutamakannya, banyak soalnya yang beliau ikuti secara pasti dalam kitabnya itu, dan beliau kutip banyak uraiannya tentang jiwa.
Namun tidak banyak ulama-ulama Arab yang mengikuti ajaran-ajaran Ibnu Miskawaih ini. Padahal, alangkah baiknya kalau mereka memperluas pandangan dan mengisi kekurangan serta mengganti kesalahan-kesalahan orang terdahulu dengan ilmu pengetahuan modern.
Bahkan Abdah Ibnu Thiby, yang telah memeluk Islam, telah memadukan antara takwa kepada Allah dengan bakti kepada kedua orang tua. Ia mempertegas dan mengajarkannya : “Aku pesankan padamu agar engkau bertakwa kepada Allah, sebab Dia memberi dan menolak kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya; dan berbaktilah kepada orang tuamu serta taati perintahnya. Sesungguhnya anak yang paling berbakti adalah yang paling taat.” Hanya saja dalam tuntunan wahyu ada koreksinya, yaitu nabi melarang orang tunduk kepada makhluk sesamanya dalam hal-hal yang mengandung maksiat. Begitu pula Al-Qur’an tidak membolehkan anak taat kepada orang tuanya, jika diajak kepada mensekutukan Allah dengan hasil ciptaan-Nya. Lebih dari itu, Allah telah mendidik nabi kita yang merupakan pendidikan buat kita juga dengan sebagus-bagusnya akhlak.
Sesudah Rasulullah Saw. wafat lalu tampillah sahabat-sahabat melanjutkan penerapan akhlak karimah yang tertuang dalam Al-Qur’an dan telah diaplikasikannya oleh Rasulullah Saw. dalam bentuk yang disebut As-Sunnah, Sunnah Rasul di sini dapat dilakukan dengan kontrol yang sangat ketat oleh Khualafaur Rasyidin. Kemudian secara estafet diteruskan oleh tabi’in dan tabiit tabi’in.[14]
Perhatian Islam terhadap pembinaan akhlak lebih lanjut dapat dijelaskan dengan menunjukkan universalitas Al-Qur’an mengenai jalan yang harus ditempuh manusia. Hasil penelitian Thabathabi terhadap kandungan Al-Qur’an mengenai jalan yang harus ditempuh manusia itu ada tiga macam, dengan uraiannya secara singkat sebagai berikut.
Pertama,  menurut petunjuk Al-Qur’an, dalam hidupnya manusia hanya menuju kepada kebahagiaan, ketenangan dan pencapaian cita-citanya.
Kedua, perbuatan-perbuatan yang dilakukan manusia senantiasa berada dalam suatu kerangka peraturan dan hukum tertentu.
Dengan demikian, manusia dalam melakukan perbuatan sosial dan individualnya harus mempunyai tujuan tertentu. Untuk mencapai tujuan yang diidam-idamkan itu, ia harus melakukan perbuatan menurut hukum dan tata cara tertentu yang ditetapkan oleh agama dan masyarakat, atau yang lainnya. Teori ini dinyatakan dalam ayat yang berbunyi :
Tiap-tiap umat memiliki kiblatnya sendiri yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah dalam kebaikan. (QS. Al-Baqarah, 2:148)

Ketiga, jalan hidup terbaik dan terkuat manusia adalah jalan hidup berdasarkan fitrah, bukan berdasarkan emosi dan dorongan hawa nafsu.[15]
D.    Ilmu Akhlak pada Zaman Modern
Pembahasan akhlak pada zaman ini dimulai dengan bangkitnya ilmu pengetahuan, teknologi, dan filsafat di Eropa pada abad ke-15. Para pemikir menggeser kehidupan manusia yang semula terikat pada dogma kristiani, khayal, dan mitos, menuju peran akal pikiran yang lebih besar. Mereka akhirnya menerapkan pola bertindak dan berpikir secara liberal, termasuk dalam persoalan akhlak (etika). Kedermawanan yang pada abad pertengahan dianggap mempunyai nilai yang tinggi dan luhur, kini tidak dianggap lagi. masyarakat terobesesi pada kemandirian yang individualistic dan inovatif. Di antara tokoh yang lahir pada abad ini adalah Rene Descartes, Shafebury, Hatshon, Bentham, John Stuart Mill, Immanuel Kant, dan Bertrand Russel.[16]
Yang jelas bahwa sejak abad pertengahan, singkatnya, sejak zaman John Stuart Mill (1806-1873) yang memindahkan paham Epicurus ke paham Utilitarisme. Pahamnya tersebar di Eropa dan mempunyai pengaruh besar di sana. Utilitarisme adalah paham yang memandang bahwa ukuran baik buruknya sesuatu ditentukan oleh kegunaannya.
Herbert Spencer (1820-1903) mengemukakan paham pertumbuhan secara bertahap (evolusi) dalam akhlak manusia. Bahkan sampai sekarang, penyelidikan akhlak itu hampir seluruhnya bersumberkan pendapat-pendapat lama. Dengan perkataan lain, sejak zaman tersebut tidak muncul pendapat baru. Namun para filosof itu berusaha memperluas paham tentang pendapat-pendapat lama tadi dan menyesuaikan pada tingkat praktik.
Descartes (1596-1650) seorang ahli piker Perancis yang menjadi pembangun mazhab rasionalisme. Segala persangkaan yang berasal dari adat kebiasaan harus ditolak. Untuk menerima sesuatu hal, akal harus tampil melakukan pemeriksaan. Sejak awal akal merupakan pangkal untuk mengetahui dan mengukur segala sesuatu;
Yang terpenting dari pemikiran Descartes ialah:
1.      Tidak mengakui sesuatu selama belum diuji dengan kekuatan akal dan keadaan apa adanya. Jadi sesuatu yang hanya berdasarkan dugaan dan kira-kira dan hanya bersumber kepada adat kebiasaan saja, wajib ditolak.
2.      Kita wajib memulai penyelidikan dengan hal-hal yang terluas dan termudah, kemudian berangsur-angsur dengan hal-hal yang lebih ruwet dan mendalam, sehingga sampailah kepada tujuan.
3.      Tidak boleh mengesahkan sesuatu masalah, sebelum ternyata jelas benarnya dengan percobaan.[17]
Selanjutnya  Shafesbury dan Hatshon yang identitasnya belum dapat dijelaskan dalam uraian ini, adalah kedua tokoh yang memiliki pandangan akhlak yang bersifat anthropocentris (mendasarkan diri pada kemampuan manusia). Kedua tokoh tersebut berkata bahwa di dalam diri manusia terdapat indera insting yang dapat mengetahui dengan sendirinya terhadap sesuatu yang baik atau jahat, indah dan buruk.
Dalam pada itu Bentham (1748-1832) dan John Stuart Mill (1906-1873) keduanya termasuk tokoh yang banyak terpengaruh oleh pemikiran Epicurus dengan cara mengubahnya menjadi paham utilitarianism, yaitu paham yang semula didasarkan pada kebahagiaan yang bersifat individualistic kepada kebahagiaan yang bersifat universalistik. Paham dari kedua tokoh ini banyak tersebar di Eropa, dan mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan hukum dan politik, sebagaimana terlihat dalam gaya dan pola hidup yang banyak mengutamakan kesenangan syahwat, dengan munculnya berbagai sarana hiburan, tempat-tempat bersenang-senang dan lain sebagainya.
Pemikiran tentang akhlak ini selanjutnya dapat dijumpai pada Immanuel Kant. Ia adalah seorang filosof Jerman yang terkemuka. Di kalangan para filosof Barat, dia memiliki kedudukan tinggi sebagaimana kedudukan Syaikh Anshari di kalangan para ahli ilmu ushul kontemporer. Sebagaimana halnya Descartes dan para pemikir Barat lainnya, pemikiran akhlak yang dikemukakan Immanuel Kant juga bersifat anthropocentris (memusat pada kemampuan dan potensi manusia). Kant berpendapat bahwa kriteria perbuatan akhlak adalah perasaan kewajiban intuitif. Namun dalam penjelasannya pemikiran akhlak yang dikemukakan Kant lebih mendekati pada pemikiran Muktazilah sebagaimana telah disebutkan di atas, dan dekat pada pandangan Islam.
Berbeda dengan Kant, Russel menolak adanya intuisi akhlak dan keindahan esensial suatu perbuatan. Menurut Russel manusia tidak mampu memahami keindahan dan keburukan pada perbuatan. Dia juga menolak keindahan dan keburukan roh. Menurutnya manusia sama sekali tidak mempunyai akal atau roh murni.
Selanjutnya Russel berpendapat bahwa akal berada di bawah kendali naluri fisik. Akal adalah lentera bagi manusia, dan ia berada pada kendali pemiliknya. Ke mana pun dia hendak pergi, lampu itu akan setia mengikutinya, serta menerangi jalan yang akan ditempuhnya itu. manusia menjadikan akalnya sebagai pelayan keuntungannya. Akal berkhidmat pada keuntungan dan kepentingan manusia, yakni kepada kehendak materialistic yang diikuti manusia.[18]
Dari bahasan di atas dapat dipahami bahwa pada era modern itu bermunculan berbagai mazhab etika antara lain sebagai berikut :
1.      Ada yang tetap mempertahankan corak paham lama.
2.      Ada yang secara radikal melakukan revolusi pemikiran.
3.      Tidak sedikit yang masih tetap konsisten mempertahankan etika teologis, yaitu ajaran akhlak yang berdasarkan ketuhanan (agama).[19]




[1] M. Solihin dan M. Rosyid Anwar, Ahklak Tasawuf, (Bandung: Nuansa, 2005). Hal. 92
[2] Zainuddin AR dan Hasanuddin Sinaga, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004). Hal. 19
[3] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003). Hal. 57
[4] M. Solihin dan M. Rosyid Anwar, Akhlak Tasawuf, . . . Hal. 93
[5] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, . . . Hal. 58-59
[6] Zainuddin AR dan Hasanuddin Sinaga, Pengantar Studi Akhlak, . . . Hal. 19-20
[7] M. Solihin dan M. Rosyid Anwar, Akhlak Tasawuf, . . . Hal. 93
[8] Zainuddin AR dan Hasanuddin Sinaga, Pengantar Studi Akhlak, . . . Hal. 20-22
[9] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, . . . Hal. 61-62
[10] Ibid.,  Hal. 63
[11] Ibid., Hal. 64
[12] Ibid., Hal. 65-67
[13] M. Solihin dan M. Rosyid Anwar, Akhlak Tasawuf, . . . Hal. 94-95
[14] Zainuddin AR dan Hasanuddin Sinaga, Pengantar Studi Akhlak, . . . Hal. 29-32
[15] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, . . . Hal. 72-73
[16] M. Solihin dan M. Rosyid Anwar, Akhlak Tasawuf, . . . Hal. 95
[17] Zainuddin AR dan Hasanuddin Sinaga, Pengantar Studi Akhlak, . . . Hal. 35-36
[18] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, . . . Hal. 83-87
[19] Zainuddin AR dan Hasanuddin Sinaga, Pengantar Studi Akhlak, . . . Hal. 36



Tonton Penjelasan Ilmu Akhlak Disini


Post Top Ad

Your Ad Spot