Makalah Landasan Historis, filosofis, sosiologis, serta yuridis berlakunya syariat islam di Aceh - Studi Syariat Islam di Aceh (doc) - Knowledge Is Free

Hot

Sponsor

Minggu, 31 Januari 2021

Makalah Landasan Historis, filosofis, sosiologis, serta yuridis berlakunya syariat islam di Aceh - Studi Syariat Islam di Aceh (doc)




Landasan Historis Syariat Islam di Aceh

Syariat Islam di Aceh mengalami pasang surut mulai dari pemerintahan Bandar Khalifah (Kerajaan Aceh) hingga sekarng. Pada zaman kekhalifahan kerajaan Aceh banyak sudah tercapainya syariat Islam. Namun, tidak pernah juga terlaksana dengan sempurna, meski Aeh pada saat itu telah dakui oleh kerajaan Islam lainnya didunia.
Setelah datangnya Belanda dan seiiring runtuhnya kerajaan Aceh. Syariat Islam mengalami kemunduran, baik karena pengaruh dari budaya asing maupun kesulitan para Ulama dan Umara dalam menjalankannya. Karena ditekan oleh pemeritahan Hindia Belanda. Pada saat itu rakyat Aceh lebih memperhatinkan tentang perang sabil atau perang dijalan Allah untuk mengusir para penjajah.
Setelah Indonesia merdeka. Aceh tidak juga mendapatkan kewenangan untuk menjalankan syariat Islam secara kaffah. Sehingga banyak menimbulkan konflik antara DI/TI yang dipimpin oleh Daud Berue’euh. Kemudian juga berdirinya GAM. Namun, pada tahun 2004 terjadinya kesepakatan antara kedua belah pihak yang lebih dikenal dengan MOU Helsingki.

Termasuk didalam butir-butir MOU adalah memperbolehkan kepada pemerintahan Aceh untuk melaksanakan syariat Islam. Sayangnya sampai sekarang pelaksanaan syariat Islam masih mempunyai perdebatan baik dalam penetapan qanun-qanun maupun penentang keras terhadap pelaksanaan syariat Islam di Aceh.
Syariat islam memang merupakan tuntutan masyarakat, dikarenakan penduduk Aceh mayoritas muslim dan orang Aceh 100% muslim. Seorang antropolog belanda B.J. Boland, setelah melakukan penelitian  di Aceh mengatakan “being an Acehnese is equivalent to being a muslim” (menjadi orang Aceh identik dengan menjadi Muslim).[1] Sejak zaman kesultanan, abad ke-17, Nanggroe Aceh telah menjadikan syariat islam sebagai landasan bagi undang-undang yang diterapkan untuk masyarakatnya. Undang-undang itu disusun oleh ulam atas perintah atau kerja sama dengan umara[2].
Lahirlah karya-karya besar berupa kitab-kitab yang menjadi rujukan para hakim dan semua aparat penegak hukum di Aceh pada waktu itu. Di antara para ulama yang berkiprah pada waktu itu adalah Nuruddin Ar-Raniry (w. 1685 M) Syamsuddin al-Sumatrani (w.1661 M) dan Abdurrauf al-Singkili (1615-1691 M). sebuah karya yang lebih akhir adalah safinat al-hukam yang ditulis oleh Jalal Al-din Al-Tarusani. Kitab ini ditulis secara khusus atas perintah Sultan Alaidin Johansyah (1735-1760 M / 1147-1175 H) dan isi kitab ini adalah aturan-aturan hukum perdata dan pidana serta berbagai penjelasan tentang ihwal penyelesaian perkara dan pokok-pokok hukum acara dalam sebuah peradilan, sasaran utama buku ini sangat jelas yaitu untuk menjadi pegangan para hakim[3].
Judul lengkap kitab tersebut adalah safinat al-hukum fi takhlish al-khashshan, (bahtera para hakim dalam menyelesaikan perkara segala orang yang bertikai). Di samping itu, terkenal pula Qanun Al-asyi (Adat Meukuta Alam) yang mengandung hukum-hukum dusturiyat dan ‘Alaqah Dauliyah yang ditulis dalam huruf jawi yang menjadi Undang-undang kerajaan.
Semua karya tersebut menjadi saksi atas keberadaban dan peran yang dimainkan Syariat isam di Aceh sejak zaman silam dan betapa hal tersebut telah mampu mengantarkan masyarakat negri ini dalam membangun peradabannya hingga diperhitungkan secara internasional sebagai sebuah kerajaan yang kuat dan makmur.

Landasan Filosofis Syariat Islam di Aceh

Dasar filosofis merupakan landasan filsafat atau pandangan yang menjadi dasar cita-cita sewaktu menuangkan suatu masalah ke dalam peraturan perundang-undangan. Dasar filosofis sangat penting untuk menghindari pertentangan peraturan perundang-undangan yang disusun dengan nilai-nilai yang hakiki dan luhur ditengah-tengah masyarakat, misalnya nilai etika, adat, agama dan lainnya.
filosofi eksistensi syariah juga adalah sebagai penyeimbang di antara unsur yang baik dan yang tidak baik yang terdapat dalam diri manusia, dan juga untuk mendidik manusia menjadi suci lahir dan batin.
Dalam konteks ini, keberadaan syariah bagi kehidupan manusia adalah sesuatu yang substansial dan karena itu pula ketika dicoba untuk ditransformasikan kedalam nilai-nilai kehidupan akan mendapat  tantangan yang disebabkan oleh keragaman pemikiran dan luasnya wawasan pemaknaan dasar dari syariat itu sendiri. Disinilah, ketika tataran aplikasi syariah telah memunculkan pro dan kontra sehingga acapkali mendapat gugatan dari apa yang terjadi, misalnya, komunitas di aceh merasakan bahwa penerapan syariat masih jauh dari harapan. Meskipun untuk memenuhi harapan pemberlakuan syariat secara kaffah bukanlah sesuatu yang mudah apalagi kecenderungan era glolalisasi yang menuntut kearifan, toleransi dan kebersamaan untuk menuju kemaslahatan.

Landasan Sosiologis Syariat Islam di Aceh

Konsep gradualisme yang diaplikasikan terhadap pengharaman khamar dan praktek riba, menggambarkan bahwa Al-Qur’an memperhatikan kondisi sosial dan tradisi kebudayaan yang telah berakar dalam masyarakat. Al-Qur’an tidak mengharamkan secara langsung suatu praktek yang telah menmbudaya, tetapi ia sangat akomodatif terhadap praktek tersebut.
Secara umum manusia ini membutuhkan syariat Islam. Al-Qur’an pada mulanya menjelaskan sisi positif dan sisi negatif terhadap praktek riba dan meminum khamar, agar masyrakat memahami kemudharatan dari suatu larangan tersebut. Bila masyarakat benar-benar telah merasakan praktek tersebut membawa kemudharatan yang akan mengancam eksistensi manusia di dunia, maka pada saat itu lah Al-Qur’an menyatakan secara tegas haramnya praktek riba dan meminum khamar. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hakikat adanya kewajiban dan pengharaman sesuatu ditentukan oleh tingkat kemaslahatan yang dirasakan oleh manusia.
Nilai sosiologis yang melekat pada hukum-hukum yang termuat dalam Al-Qur’an sudah semestinya dipahami secara mendalam, sehingga ketika dilakukan penerapan tidak akan kehilangan ruh sosiologis yang mendasarinya. Oleh karena itu, asbab an-nuzul dan asbab al-wurud memegang peranan penting dalam mengungkapkan realitas dan kondisi sosial ketika aturan itu disyariatkan. Peran yang dimainkan oleh teori asbab an-nuzul dan asbab al-wurud tidak hanya mengungkapkan realitas sosial yang terekam dalam satu ayat atau hadits, tetapi dapat menjelaskan berbagai realitas secara integral dalam suatu tema tertentu. Oleh karena itu prinsip analisis sosiologis berkaitan erat dengan pendekatan tematis.
Melalui dua pendekatan ini diharapkan akan mampu dibumikan ajaran Tuhan yang bersifat normatif-sakralitas. Dalam konteks kehidupan masa kini, dalam bahasa lugas, dapat dikatakan bahwa analisis sosiologis menjadikan realitas sosial sebagai pertimbangan utama dalam merumuskan berbagai aturan hukum Islam. Atau dapat pula diartikan bahwa selain dari keberadaan UU No. 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh dan UU no. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagai legitimasi yuridis, maka diperlukan pendekatan sosiologis yang akan mengkaji sosio-kultural, latar belakang sejarah dari masyarakat Aceh.
Namun bukan berarti mengabaikan satu kesatuan hukum nasional, tetapi juga dengan tetap memperhatikan nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang berlaku dalam masyarakat dalam rangka mencapai tujuan negara yang dicita-citakan (ius contituendum), sebab hukum sebagai kaidah atau norma sosial tidak terlepas dari norma nilai-nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat, bahkan dapat dikatakan bahwa hukum itu merupakan pencerminan dan konkretisasi dari nilai-nilai yang pada suatu saat berlaku dalam masyarakat.
Beberapa kasus kekerasan yang telah diuraikan sebelumnya merupakan contoh bagaimana ketengangan-ketegangan terjadi dalam kehidupan masyarakat Aceh terkait pelaksanaan Syariat Islam, padahal nilai esensial dan tujuan luhur pemberlakuan Syariat Islam adalah rahmatan lil alamin. Untuk menghindari konflik berkepanjangan dalam rangka penerapam Syariat Islam ini, kita memerlukan metode interpretasi nilai lokal.
Metode ini menggunakan kerangka sosiologis dalam pemahaman dan penafsiran teks baik Al-Qur’an maupun Al-Hadits. Paradigma dasar metode ini adalah bahwa setiap teks Al-Qur’an dan Al-Hadits tidak dapat dilepas dari suasana sosial masyarakat ketika teks-teks itu muncul, karena pemberlakuan nilai-nilai Al-Qur’an dan Al-Hadits sasarannya adalah masyarakat. Metode ini semestinya juga dapat diterapkan dalam kerangka pelaksanaan Syariat Islam di Aceh.
Di sini nilai-nilai lokal masyarakat Aceh dapat diadopsi oleh berbagai Qanun sebagai bentuk kongkrit penerjemahan Syariat Islam di Aceh. Pendekatan interpretasi nilai lokal akan melahirkan bangunan pelaksanaan Syariat Islam yang khas secara kontekstual dan melalui pendekatan semacam ini diharapkan konflik-konflik Hukum Islam pada tatanan pelaksanaan akan terakomodir dalam suatu bingkai yang terbuka dan demokratis.[4]

Landasan Yuridis Syariat Islam di Aceh

Landasan yuridis adalah landasan yang berdasarkan kepada hukum yang dinyatakan di dalam Undang-undang yang telah diresmikan oleh badan yang berwenang, seperti yang kita ketahui, aceh telah mendapatkan wewenang untuk secara leluasa melaksanakan syariat islam secara kaffah di daerahnya. Sesuai dengan UU Nomor 44 Tahun 1999 yang berbunyi:
Isi keputusan perdana menteri Republik Indonesia Nomor I/Missi/1959 tentang keistimewaan Provinsi Aceh yang meliputi agama, peradatan dan pendidikan, yang selanjutnya diperkuat dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, bahkan disertai dengan penambahan peran ulama dalam menentukan kebijakan Daerah, untuk menindak lanjuti ketentuan-ketentuan mengenai keistimewaan Aceh tersebut dipandang perlu untuk menyusun penyelenggaraan keistimewaan Aceh tersebut dalam suatu nndang-undang
Undang-undang yang mengatur mengenai penyeenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh ini dimaksud untuk memberikan landasan bagi provinsi Daerah Istimewa Aceh dalam mengatur urusan-urusan yang telah menjadi keistimewaannya melalui kebijakan Daerah. Undang-undang ini mengatur hal-hal pokok untuk selanjutnya memberikan kebebasan kepada Daeah dalam mengatur pelaksanaannya sehingga kebijakan daerah lebih akomodatif terhadap aspirasi masyarakat. [5]
Dari isi Undang-undang di atas kita dapat mengetahui secara umum bahwa:
1.      Pada awalnya pemerintah mengakui bahwa keistimewaan yang diberikan kepada Aceh di bidang pendidikan, agama dan peradatan pada taun 1959 dahulu tidak mempunyai peraturan pelaksanaan yang memungkinkannya dijalankan ditengah masyarakat. ketiadaan peraturan pelaksanaan ini yang ingin diatasi, yaitu dengan mengeluarkan Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999, lebih kurang setelah keistimewaan atau kewenangan itu diberikan.
2.      Syariat Islam telah didefinisikan secara relatif lengkap, yaitu mencakup seluruh ajaannya. Jadi undang-undang ini telah memberikan pemahamam yang kaffah kepada Syariat Islam, mencakup ibadat, mu’amalat, jinayat, munakahat bahkan lebih dari itu, Syariat Islam juga mencakup aqidah serta akhlak dan semua ajaran dan tuntunan di berbagai bidang lainnya.
3.      Umat Islam di Aceh memporoleh izin untuk melaksanakan atau menjalankan syariat islam di dalam keidupannya.
Seperti yang telah disinggung di atas, adanya aturan tentang penyelenggaraan keistimewaan dalam bidang pendidikan, kehidupan dan adat semakin memudahkan dan mengukuhkan pelaksanaan Syariat Islam dalam keidupan masyarakat Aceh.[6]

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Sejarah syariat islam di Aceh begitu mearik perhatian karena ceritanya yang sangat berguna untuk kita sebagai masyarakat yang hidup di masa keterpurukan islam. Karena, dengan membaca sejarah kegemilangan syariat islam pada masa lalu di Aceh dapat menumbuhkan kembali semangat kita untuk kembali menegakkan syariat yang kaffah. Selain sejarah, ada berbagai macam landasan yang mengkokohkan syariat islam untuk ditegakkan di Aceh.
Sesuai dengan firman Allah SWT yang berarti “Tidak ada kekerasan dalam beragama”, membuat agama islam dengan mudah masuk dan berkembang didalam masayarakat Aceh diwaktu itu.
Selain itu landasan yuridis juga membantu untuk memperkuat syariat islam yang ditegakkan di Aceh. Dengan disahkannya Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 meyakinkan masyarakat aceh untuk menjalankan syariat islam dengan penuh ketenangan dan kesejahteraan.

Saran-saran

Saran kami selaku penulis adalah, jangan tinggalkan syariat islam. Karena dengan mengikuti syariat islam maka kita akan semakin dekat Surga yang telah Allah SWT telah sediakan kepada calon penghuninya. Dan semoga kita menjadi salah satu dari calon penghuni tersebut. Amin


Daftar Pustaka
Ali Muhammad Rusydi, Revitalisasi Syariat Islam di Aceh, (Aceh: Ar-Ranirry Pres, 2003).
Abu Bakar Al-Yasa’, Syariat Islam di Provinsi Aceh Darussalam, (Banda Aceh: Dinas Syariat Islam, 2005).
http://satryaleonardo.blogspot.com/2010/07/pelaksanaan-syariat-islam-di-aceh.html


[1] Ali Muhammad Rusydi, Revitalisasi Syariat Islam di Aceh,  (Ar-Ranirry Pres, Aceh, 2003), hlm 48
[2] Penguasa atau sultan
[3] Ali Muhammad Rusydi, …., hlm 48-49
[4] http://satryaleonardo.blogspot.com/2010/07/pelaksanaan-syariat-islam-di-aceh.html
[5] Abu Bakar Al-Yasa’,  Syariat Islam di Provinsi Aceh Darussalam, (Banda Aceh,  2005, Dinas Syariat Islam) hlm 41
[6] Abu Bakar Al-Yasa’, (Syariat Islam di Provinsi Aceh Darussalam, Banda Aceh,  2005, Dinas Syariat Islam) hlm 43-44

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad

Your Ad Spot